Bank Dunia Tawarkan Kiat Siasati Resesi Global
Dunia berisiko jatuh ke jurang resesi global. Sejumlah indikator mengarah ke sana.
Bank Dunia telah menyusun tiga skenario pertumbuhan ekonomi global pada 2023 dan 2024. Dari skenario moderat hingga terburuk, resep untuk menyiasatinya cuma satu, yakni memperbaiki pasokan energi, mobilitas tenaga kerja, dan perdagangan internasional.
Skenario pertama, akan terjadi penurunan kecil pertumbuhan global pada 2023 dan pulih pada 2024. Skenario kedua, terjadi penurunan tajam pertumbuhan global pada 2023 dan pulih lebih lemah pada 2024. Skenario ketiga terjadi kontraksi perekonomian global pada 2023 dan pulih jauh lebih lemah lagi pada 2024.
“Namun jika resesi-resesi global dalam 50 tahun terakhir menjadi acuan, ada dua alasan yang menunjukkan risiko resesi global bisa terjadi dalam waktu dekat,” demikian disebutkan dalam laporan Bank Dunia berjudul “Is a Global Recession Imminent”, diluncurkan di Washington, Kamis, 15 September oleh Presiden Bank Dunia David Malpass.
Di tengah pelemahan pertumbuhan global, kejutan kecil saja akan mudah mendorong dunia memasuki resesi.
Dua alasan yang dimaksudkan adalah, pertama, di tengah pelemahan pertumbuhan global, kejutan kecil saja akan mudah mendorong dunia memasuki resesi. Istilah resesi global dalam konteks ini, merujuk pada kontraksi perekonomian global dari tahun ke tahun.
Kejutan kecil terbukti pernah mendorong dunia memasuki resesi dalam 50 tahun terakhir. Contohnya adalah AS pernah terlambat menekan inflasi lalu secara drastis menaikkan suku bunga dan membuat dunia terjerembab ke dalam resesi pada 1980-an.
Alasan kedua adalah sejarah menunjukkan pola bahwa dunia akan memasuki resesi. Sejarah perekonomian sejak 1970-an menunjukkan setiap resesi global selalu diawali dengan penurunan pertumbuhan pada tahun-tahun sebelum resesi terwujud.
Pola ini terjadi sekarang. Perekonomian di beberapa negara maju sedang menunjukkan penurunan pertumbuhan.
Akibat resesi global 1982 misalnya, negara-negara Amerika Latin dan Karibia kehilangan pertumbuhan selama satu dekade dan utang-utang tidak terbayar.
“Pertumbuhan global melambat dalam tempo yang cepat. Pelemahan lebih jauh dimungkinkan karena banyak negara telah memasuki resesi. Kekhawatiran terbesar saya adalah trend pelemahan ini berlanjut dengan konsekuensi jangka panjang yang mengharu biru kehidupan warga di negara-negara berkembang,” kata David Malpass.
Akibat resesi global 1982 misalnya, negara-negara Amerika Latin dan Karibia kehilangan pertumbuhan selama satu dekade dan utang-utang tidak terbayar. Hal serupa juga terjadi di Afrika dan Asia.
Kekhawatiran yang berdasar
Kekhawatiran Malpass memiliki dasar yang kuat. Dari tiga skenario yang disusun Bank Dunia, skenario pertama (baseline) menunjukkan perekonomian global yang tumbuh 2,9 persen pada 2022 akan turun menjadi 2,4 persen pada 2023. Ekonomi global akan pulih pada 2024 dengan pertumbuhan 3 persen.
Skenario pertama ini didasarkan pada asumsi bahwa inflasi tidak terlalu mengancam sehingga rata-rata suku bunga global hanya naik dari kisaran 1,6 persen pada 2021 dan menjadi 3,8 persen pada 2023. Asumsi lain pada skenario ini adalah pasokan perdagangan global telah pulih.
Akan tetapi skenario pertama ini sangat moderat dan tidak menggambarkan situasi yang ada sejauh ini. FedEx misalnya, perusahaan logistik global asal AS, memarkirkan pesawat-pesawatnya karena anjloknya angkutan logistik global.
Oleh karena itu Bank Dunia menyusun skenario kedua (skenario penurunan tajam pertumbuhan). Dalam skenario ini perekonomian global tidak memasuki resesi tetapi mengalami penurunan pertumbuhan menjadi 0,8 persen pada 2023, atau turun dari 2,9 persen pada 2022. Lalu pertumbuhan pada 2023 naik menjadi 2,7 persen.
Asumsi pada skenario kedua, inflasi beranjak lebih tinggi ketimbang skenario pertama sehingga suku bunga jangka pendek dinaikkan menjadi 4,8 persen pada 2023. Asumsi lain, terjadi penurunan harga-harga energi dan juga penurunan permintaan agregat sehingga inflasi tidak terlalu mengancam.
Skenario resesi global
Akan tetapi sepanjang 2022, ada tekanan kuat inflasi yang membuat AS dan Eropa serta banyak negara terdorong menaikkan lagi suku bunga dengan tempo lebih cepat. Suku bunga jangka pendek dunia akan naik dari 1,6 persen pada 2021 menjadi 5,8 persen pada 2023.
Dalam skenario ketiga (skenario resesi global), diasumsikan ada sinkroninasi kenaikan suku bunga yang melibatkan banyak negara. Dalam skenario resesi ini juga, ada dorongan untuk menurunkan stimulus fiskal agar inflasi terdorong turun lebih cepat. Sinkronisasi pengetatan moneter disertai penurunan stimulus fiskal akan memaksa semua negara memasuki resesi global.
Diasumsikan sinkronisasi kebijakan pengetatan ini memicu kekacauan pada sektor keuangan di tengah perekonomian yang justru sedang rapuh. Kekacauan juga terjadi pada kurs valuta negara berkembang. Kenaikan suku bunga menaikkan beban utang luar negeri negara-negara berkembang. Depresiasi kurs mata uang negara berkembang tidak akan mendorong kenaikan ekspor karena dunia sama-sama berada resesi global.
Sinkronisasi pengetatan moneter disertai penurunan stimulus fiskal akan memaksa semua negara memasuki resesi global.
Oleh sebab itu dalam skenario ini Bank Dunia menurunkan pertumbuhan ekonomi global menjadi hanya 0,5 persen pada 2023 dan tumbuh hanya satu persen pada 2024.
Bank Dunia juga menyebutkan faktor penurunan keyakinan konsumen dan pebisnis di dalam skenario ketiga. Kekhawatiran warga kaya akan berefek pada investasi dan konsumsi, yang turut menurunan pertumbuhan global.
Seiring dengan itu, pebisnis dan warga terkaya dunia asal Asia Pasifik termasuk yang paling khawatir akan efek geopolitik. Survei yang dilakukan Lombard Odier, sebuah bank asal Swiss, menunjukkan warga terkaya Hong Kong sangat khawatir akan ketegangan geopolitik, demikian juga warga super kaya Filipina, Singapura. Sebanyak 65 persen warga super kaya Asia Pasifik sangat khawatir akan efek geopolitik (Bloomberg, 7 September).
Solusi yang tidak mudah
Meski demikian Bank Dunia menyarankan program ekonomi dari sisi pasokan (supply-side measures). Para pembuat kebijakan harus memperbaiki pasokan energi, mobilitas tenaga kerja dan perdagangan internasional. Sisi ini akan turut menolong penurunan inflasi dan membantu kenaikan produktivitas global dalam jangka Panjang.
“Langkah ini sangat krusial dalam konteks sekarang,” demikian Bank Dunia. Mobilitas pekerja tidak hanya di dalam satu negara tetapi lintas negara. Ini akan menyebabkan kenaikan partisipasi tenaga kerja lintas negara, menurunkan tekanan upah dan menciptakan pendapatan bagi pekerja. Jepang yang semakin kelangkaan sumber daya manusia sedang mencoba kiat ini (NHK, 6 September).
Koordinasi global dapat melancarkan pasokan komoditas serta mengurangi hambatan pada perdagangan global. “Satu hal yang menjadi prioritas dalam konteks ini adalah perlunya dukungan pada tatanan perdagangan internasional untuk mencegah proteksionisme dan fragmentasi yang justru akan menganggu jaringan perdagangan,” lajut Bank Dunia.
Reformasi perekonomian serupa juga, berlaku bagi setiap negara untuk melancarkan produksi.
Faktor China
Ada optimisme lain di balik skenario terburuk yang ada. Menurut Bank Dunia, bukti empiris memperlihatkan anjloknya perekonomian AS, Eropa, dan China dengan porsi lebih dari 50 persen terhadap perekonomian dunia, akan mudah membuat dunia memasuki resesi global. Resesi di Asia pada 1998 misalnya, tidak berefek pada resesi global karena perannya dalam perekonomian dunia relatif kecil.
Bank Dunia menyerukan agar dunia kembali memanfaatkan tatanan perdagangan internasional.
Bank Dunia menyebutkan AS, Uni Eropa, dan China kini sama-sama sedang berada dalam kondisi penurunan pertumbuhan. Akan tetapi data dari China menunjukkan output industri China, sebuah indikator penting, naik 3,6 persen sepanjang 2022 (Xinhua, 16 September).
Akan tetapi ada ancaman baru dari Presiden AS Joe Biden, yang terus menganggu kelancaran perdagangan AS-China, khususnya untuk perusahaan teknologi. Biden banyak menggunakan sanksi ekonomi dalam mengesekusi politik luar negerinya.
Maka dari itu seruan Bank Dunia sangat benar, agar dunia kembali memanfaatkan tatanan perdagangan internasional. (REUTERS/AP/AFP)