Konflik pecah di Nagorno-Karabakh yang direbutkan oleh Azerbaijan dan Armenia.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
YEREVAN, SELASA – Konflik pecah di wilayah Nagorno-Karabakh, Azerbaijan yang dipersengketakan oleh negara tersebut dengan Armenia. Sebanyak 49 orang tewas, termasuk warga sipil. Berbagai pihak di Eropa membujuk pemimpin kedua negara agar menenangkan diri dan mendinginkan suasana guna mencegah pecah lagi konflik di benua Eurasia di tengah berbagai konflik global yang belum selesai hingga sekarang.
“Saya dengan berat hati mengatakan bahwa angka 49 orang itu adalah warga Armenia. Jumlah itu kami duga masih data sementara dan akan ada korban-korban lain,” kata Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan di Yerevan, Selasa (13/9/2022) seperti dikutip oleh surat kabar Washington Post. Dari pihak Azerbaijan belum ada pengumuman jumlah korban tewas.
Kedua negara saling menuduh sebagai penyulut konflik. Baku menuduh Yerevan memprovokasi mereka karena menanam ranjau darat di sepanjang perbatasan. Selain itu, militer Armenia dituduh menembaki posko penjagaan perbatasan Azerbaijan. Yerevan balik menuduh baku melancarkan serangan dengan memakai pesawat nirawak dan rudal, termasuk di sarana umum yang melukai dan juga menewaskan penduduk sipil.
Sejumlah kepala negara sahabat segera turun tangan. Armenia merupakan sekutu Rusia dan meminta pertolongan Rusia sekaligus Organisasi Pakta Keamanan Kolektif (CSTO). Adapun Turki yang merupakan sahabat Azerbaijan segera mendekati Presiden Ilham Aliyev. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menelepon Aliyev dan memintanya menyegerakan gencatan senjata.
PM Pashinyan juga mengontak Perancis dan Amerika Serikat. Kedua negara itu turut menyerukan gencatan senjata dan dialog damai. Presiden Perancis Emmanuel Macron berjanji membawa permasalahan Nagorno-Karabakh ke rapat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Juru Bicara Kremlin, Dmitry Peskov, dalam jumpa pers di Moskwa mengatakan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin meminta Azerbaijan dan Armenia sama-sama menghentikan konflik. Putin memulai dengan mendekati Pashinyan. Hal ini karena Rusia memiliki pangkalan militer di Armenia sejak tahun 2020.
Nagorno-Karabakh adalah wilayah di dataran tinggi seluas 4.400 kilometer persegi dengan jumlah penduduk diperkirakan sebanyak 147.000 jiwa. Baik Armenia maupun Azerbaijan merupakan pecahan dari Uni Soviet. Ketika Soviet bubar, Nagorno-Karabakh secara politik dan geografis masuk ke dalam wilayah Azerbaijan. Akan tetapi, mayoritas penduduknya berdarah dan berbahasa Armenia.
Peneliti Institut Kajian Global, David Rieff, dalam makalahnya yang terbit di jurnal Foreign Policy tahun 1997 menjelaskan, pada tahun 1988, parlemen di Nagorno-Karabakh mengadakan referendum. Hasilnya ialah mayoritas warga menginginkan bergabung dengan Armenia. Akan tetapi, suara itu tidak diterima oleh penduduk yang berdarah Azerbaijan. Walhasil, konflik horisontal dimulai.
Menurut penelitian Rieff, kedua belah pihak sama-sama melakukan intimidasi dan kemudian berujung dengan pengusiran, bahkan pembunuhan antaretnis. Perang terbuka pecah pada tahun 1992. PBB memperkirakan, konflik 1988-1994 ini menelan korban jiwa hingga 38.000 orang. Salah satu akibat dari konflik tersebut ialah munculnya Republik Artsakh di Nagorno-Karabakh yang mengaku sebagai wilayah merdeka dan berafiliasi dengan Armenia.
Konflik terakhir sebelum sekarang pecah pada September 2020 dengan korban jiwa sebanyak 7.000 orang dari kedua belah pihak. Gencatan senjata berhasil dicapai dengan dimotori Rusia. Armenia setuju untuk mengembalikan wilayah yang telah mereka caplok kepada Azerbaijan. Sebagai kompensasi, Rusia membangun pangkalan militer di Armenia untuk menjaga keamanan. (Reuters)