Orang-orang super kaya di Asia menghindari jenis-jenis investasi berisiko dan memilih aset-aset yang relatif kebal terhadap gejolak.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·3 menit baca
AFP/SAM PANTHAKY
Arsip foto pada 23 Desember 2010 memperlihatkan pemimpin Adani Group, Gautam Adani, berbicara dalam konferensi pers di Ahmedabad, India. Miliarder yang dekat dengan Perdana Menteri India Narendra Modi ini tercatat sebagai orang ketiga paling kaya di dunia menurut Bloomberg Billionaire Index 2022.
Ancaman krisis ekonomi global membuat para warga super kaya Asia bergegas mengamankan kekayaan. Kelompok ini sangat khawatir akan efek pertarungan geopolitik yang bisa mengacaukan perekonomian. Untuk itu, mereka menghindari jenis-jenis investasi berisiko dan memilih aset-aset yang relatif kebal terhadap gejolak.
Warga super kaya Asia Pasifik (APAC) kategori high-net-worth individuals (HNWI), pemilik kekayaan bersih di atas satu juta dollar AS, memfavoritkan aset yang lebih aman ketimbang saham dan kripto. Hal itu terungkap dari studi Lombard Odier, bank privat Swiss, terhadap 450 investor HNWI APAC (Bloomberg, 7 September 2022). Lombard Odier, pengelola kekayaan 363 miliar dollar AS, menyurvei HNWI Singapura, Hong Kong, Jepang, Thailand, Filipina, Indonesia, Taiwan, dan Australia periode Mei-Juni 2022.
HNWI APAC sedang menghindari aset digital, seperti mata uang kripto, yang terbukti volatil dan beralih ke aset-aset lebih aman, seperti uang tunai dan emas. ”Alokasi dana investasi untuk aset digital sangat rendah,” kata Vincent Magnenat, Kepala Divisi Asia Lombard Odier. Situasi ini kontras dengan posisi dua tahun lalu.
Kaum ini sangat khawatir akan kenaikan inflasi dan gejolak pasar. Saham dan obligasi relatif dihindari. Kelompok ini juga lebih fokus para perusahaan-perusahaan mereka. ”Investor APAC kini lebih konservatif dalam merancang investasi portofolio serta melakukan diversifikasi investasi hingga di luar pasar lokal,” kata Magnenat. ”Di atas itu semua pemikiran tentang risiko dan pengelolaan kekayaan menjadi prioritas.”
Kemerosotan saham teknologi dan inflasi yang melonjak diikuti kenaikan suku bunga telah menurunkan 1,4 triliun dollar AS kekayaan 500 orang terkaya di dunia pada semester pertama 2022, menurut Bloomberg Billionaires Index. Hal ini menjadi perhatian para HNWI APAC.
AFP/ROSLAN RAHMAN
Foto tanggal 15 Oktober 2019 ini memperlihatkan salah satu pendiri dan mantan Pemimpin Eksekutif Alibaba Group, Jack Ma, saat berbicara pada Konferensi CEO Global Forbes di Singapura.
Ray Dalio, pendiri hedge fund terbesar dunia, Bridgewater Associates, berargumentasi, penyimpanan kekayaan dalam bentuk uang tunai adalah ”trash” sehubungan dengan naiknya inflasi. Hal itu memerosotkan nilai uang. Maka dari itu, ketika bicara tentang simpanan dalam bentuk uang tunai, para ekonom Credit Agricole CIB Research melihat dollar AS adalah pilihan pertama, diikuti frank Swiss, lalu yen Jepang.
”Dollar AS pilihan pertama dan frank Swiss urutan kedua karena kedekatan geografis dengan Eropa, yang sedang membutuhkan safe havens, dan mata uang menawarkan keuntungan positif jangka pendek,” demikian Credit Agricole.
Mark Haefele, pemimpin investasi UBS Global Wealth Management, juga mengatakan, frank Swiss menjadi safe haven. Swiss terkena efek lebih rendah dari kenaikan harga energi ketimbang Eropa umumnya. Kurs frank Swiss, kini 0,96 per satu dollar AS, juga didukung Bank Sentral Swiss yang bisa mengantisipasi inflasi lebih cepat.
Emas juga menempati urutan tertinggi dibanding aset-aset lain; saham dan obligasi. ”Emas sebagai aset berkelas telah memberi keuntungan di tengah gejolak,” demikian pernyataan Axis Securities (The Economic Times, 9 September 2022).
AFP/JOE RAEDLE
Pendiri Spacex, Elon Musk, bersuka cita atas keberhasilan peluncuran roket SpaceX Falcon 9 dengan pesawat luar angkasa dengan awak, Crew Draon, di Kennedy Space Center, Cape Canaveral, Florida, AS, 30 Mei 2020. Ia termasuk salah satu orang terkaya di dunia.
Goldman Sachs tetap memberi pandangan tentang saham. Ahli strategi saham Goldman Sachs, David J Kostin, mengatakan, pilihannya adalah saham yang punya nilai (value stocks) atau saham perusahaan dengan pertumbuhan (growth stocks), seperti dituliskan Fortune, 8 September 2022.
Value stocks adalah saham yang memiliki harga relatif lebih rendah dari fundamental perusahaan seperti penerimaan, pendapatan bersih, cash flows, dan lainnya) dibandingkan dengan saham publik pada umumnya. Sementara itu, growth stocks merupakan saham yang memiliki harga lebih tinggi dari valuasi karena tingkat pertumbuhan perusahaan secara signifikan lebih tinggi dari rata-rata pasar.
Memilih dua hal itu tetap cukup pelik. Akan tetapi, di era Great Financial Crisis, menurut Goldman, growth stocks menyaksikan kinerja dipimpin saham teknologi yang terbang tinggi. Akan tetapi, di tengah kenaikan suku bunga, potensi resesi dan inflasi meninggi, yang dikatakan sebagai awal resesi, posisi value stocks memiliki masa keemasannya. (REUTERS/AP/AFP)