Laporan Dugaan Kejahatan Kemanusiaan di Xinjiang, ”Bom” Terbaru PBB untuk China
Laporan Kantor Komisioner Tinggi HAM PBB menyebut kebijakan kontra-terorisme Pemerintah China telah menyebabkan dugaan kejahatan kemanusiaan terhadap warga minoritas Muslim di Xinjiang. China sekali lagi membantahnya.

Beberapa polisi berdiri di dekat gerbang pusat deradikalisasi nomor 3 di Urumqi, Dabancheng, Xinjiang, 23 April 2021. Kantor Komisioner Tinggi HAM PBB, Rabu (31/8/2022), mengeluarkan laporan tentang dugaan adanya kejahatan kemanusiaan terhadap warga minoritas Muslim Uighur.
GENEVA, JUMAT — Laporan Kantor Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa memperlihatkan adanya bukti dugaan pelanggaran HAM oleh Pemerintah China terhadap warga Uighur dan kelompok minoritas lainnya di negara itu. Laporan tersebut memperkuat sejumlah laporan yang pernah muncul sebelumnya soal dugaan tindak kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Beijing terhadap warga minoritas Muslim di China.
Laporan setebal 46 halaman yang dirilis, Kamis (1/9/2022), itu menyebut beberapa temuan tindakan Pemerintah China, seperti penahanan sewenang-wenang dan diskriminatif, pelanggaran hak reproduksi, pemaksaan mengonsumsi obat yang tidak diketahui kandungan kimianya, hingga larangan untuk beribadah, serta pemaksaan melakukan kegiatan seksual tanpa persetujuan.
”Pelanggaran HAM yang serius telah dilakukan di Wilayah Otonomi Khusus Xinjiang (XUAR) dalam konteks penerapan strategi kontra-terorisme dan kontra-ekstremisme pemerintah,” tulis laporan tersebut. Pelanggaran HAM yang terdokumentasikan dinilai menjadi inti dari sistem hukum antiterorisme yang bermasalah dalam pandangan norma dan standar HAM internasional.
Baca juga: Xinjiang, Neraka atau Surga bagi Minoritas Muslim Uighur
Laporan tersebut dirilis, setelah sekitar satu tahun disusun, di Geneva, Swiss, Rabu (31/8/2022), persis 13 menit sebelum Komisioner Tinggi HAM PBB Michelle Bachelet mengakhiri empat tahun masa jabatannya. Mantan Presiden Chile itu sebelumnya telah bertekad untuk memublikasikan laporan temuan lembaga yang dipimpinnya kendati ada tekanan kuat dari Beijing.
”Saya pernah mengatakan, saya akan memublikasikan (laporan) itu sebelum mandat saya berakhir dan saya sudah melakukannya,” kata Bachelet melalui surat elektronik kepada kantor berita AFP. ”Isu ini serius dan saya menyampaikannya kepada otoritas level tinggi di tingkat nasional dan regional di negara (China).”
Pada Mei 2022, Bachelet berkunjung ke China. Ia dikritik terlalu lunak terhadap China oleh sejumlah kalangan. Laporan yang dirilisnya pekan ini seolah menjadi ”bom” terbaru oleh PBB, yang membuat Pemerintah China meradang.

Foto yang dirilis oleh Yayasan Korban Komunis pada 24 Mei 2022 memperlihatkan sejumlah laki-laki penghuni Tekes County Detention Center di Xinjiang, China, diawasi oleh sejumlah sipir saat mereka bernyanyi.
Pemerintah China membantah isi laporan kantor Komisioner HAM PBB tersebut. Perwakilan Tetap China di kantor PBB Geneva menerbitkan tanggapan setebal 131 halaman.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin menyebut laporan itu sebagai tambal sulam berbagai informasi palsu yang digunakan oleh negara-negara Barat dan digunakan oleh AS dan sekutunya untuk menghantam China. ”Ini sekali lagi menunjukkan bahwa Kantor Hak Asasi Manusia PBB telah dikendalikan dan menjadi kaki tangan AS dan negara-negara Barat lainnya,” katanya.
Temuan PBB
Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa penahanan warga minoritas dilakukan secara serampangan. Warga yang ditahan juga tidak diberi hak untuk didampingi oleh pengacara yang bisa memberikan nasihat atau pandangan hukum kepadanya. Warga itu pun akhirnya dimasukkan dalam Pusat Pendidikan dan Pelatihan Vokasional (VETC) tanpa bisa membela diri di pengadilan.
Laporan tersebut juga menyebutkan, berdasarkan pengakuan sejumlah mantan tahanan bahwa mereka mendapat perlakuan yang tidak pantas, termasuk penyiksaan. Para tahanan dipukuli, disengat menggunakan tongkat listrik, dikurung dalam kamar isolasi dalam waktu yang sangat panjang, hingga wajah mereka disirami air terus-menerus, sebagai cara atau metode interogasi.
Baca juga: Nasib Buruk Anak-anak Uighur, Tidak Tentu Rimbanya
Di dalam laporan itu juga disebutkan bahwa hampir semua orang yang diwawancarai (untuk kepentingan pembuatan laporan) menjelaskan bahwa mereka mendapat suntikan zat tertentu, dipaksa menelan obat yang disebut pil putih secara teratur, serta pengambilan sampel darah selama berada di VETC.
Seorang yang diwawancarai, misalnya, menggambarkan prosesnya sebagai berikut: ”Kami menerima satu tablet sehari. Itu tampak seperti aspirin. Kami berbaris dan seseorang dengan sarung tangan memeriksa mulut kami secara sistematis untuk memastikan kami menelannya”.

Sejumlah anak bermain sepak bola di depan sebuah gerbang dengan mural musisi Uighur di International Grand Bazaar, Urumqi, Xinjiang, China, 21 April 2021.
Beberapa orang yang pernah berada di VETC, menurut laporan itu, juga berbicara tentang berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk beberapa kasus pemerkosaan. Kasus ini terutama menimpa perempuan. Kasus kekerasan seksual lainnya berupa perilaku penyimpangan seksual lain dalam interogasi dan berbagai bentuk penghinaan seksual, termasuk pemaksaan untuk melepas pakaian di depan banyak orang (petugas) dalam pemeriksaan intensif.
Temuan dalam laporan itu merupakan hasil wawancara dengan sejumlah warga minoritas yang pernah berada di delapan lokasi di dalam VETC.
”Penahanan sewenang-wenang dan diskriminatif terhadap anggota Uighur dan kelompok minoritas Muslim lainnya, dalam konteks pembatasan dan perampasan hak-hak fundamental secara lebih umum, dapat merupakan kejahatan internasional, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan,” sebut laporan tersebut.
Beijing dilaporkan telah menutup sejumlah bangunan di lokasi tersebut. Akan tetapi, ratusan ribu orang terus mendekam di penjara, banyak di antaranya dengan tuduhan yang tidak jelas dan rahasia. Laporan PBB itu sendiri tidak berhasil memverifikasi klaim laporan-laporan sebelumnya yang menyebut bahwa jumlah warga minoritas yang ditahan mencapai satu juta orang atau lebih.
Baca juga: China Harus Bertanggung Jawab atas Perlakuan pada Uighur
Kelompok pegiat hak asasi manusia menuduh Beijing melakukan pelanggaran terhadap Uighur, minoritas etnis Muslim yang berjumlah sekitar 10 juta di Xinjiang, wilayah China bagian barat, termasuk penggunaan massal kerja paksa di kamp-kamp interniran. Amerika Serikat menuduh China melakukan genosida.
Pelanggaran serius
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres percaya bahwa penilaian itu dengan jelas mengidentifikasi pelanggaran HAM yang serius telah terjadi di Xinjiang. Juru Bicara Sekjen PBB Stephane Dujarric menyebut bahwa Guterres berharap China akan mengikuti rekomendasi dalam penilaian tersebut.
Rahima Mahmut, Direktur Kongres Uighur Dunia Inggris, mengatakan bahwa dia lega laporan itu akhirnya keluar dan bisa dibaca publik. Akan tetapi, dia tidak yakin laporan itu mengubah perilaku Pemerintah China. Untuk itu, dia meminta masyarakat internasional untuk mengirim sinyal ke Beijing bahwa ”bisnis tidak dapat berjalan seperti biasanya”.

Rute transportasi utama Sabuk dan Jalan melalui wilayah Xinjiang, China
AS dan sekutunya menyambut baik keluarnya laporan tersebut. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan, laporan itu mempertegas dan memperdalam keprihatinan sejumlah negara soal pelaksanaan HAM di China. ”Kami akan terus bekerja sama dengan mitra kami, masyarakat sipil, dan komunitas internasional untuk mencari keadilan dan akuntabilitas bagi banyak korban,” kata Blinken.
Pemerintah Jepang juga mengeluarkan pernyataan yang senada. ”Jepang sangat prihatin dengan kondisi hak asasi manusia di Xinjiang dan kami percaya bahwa penting bahwa nilai-nilai universal seperti kebebasan, hak asasi manusia, dan supremasi hukum juga dijamin di China,” kata Kepala Sekretaris Kabinet Hirokazu Matsuno.
Kontroversi
Penyusunan dan keluarnya laporan itu sendiri diliputi kontroversi. Michelle Bachelet, Komisioner Tinggi HAM PBB, mendapat kritikan tajam dari sejumlah pihak saat berkunjung ke China dan bertemu sejumlah pejabat pemerintah. Para pihak, terutama para aktivis HAM, menilai kunjungan Bachelet ke Xinjiang tidak akan menemukan bukti otentik dan obyektif karena semuanya diatur oleh Beijing.
Pada saat yang sama, munculnya laporan itu bersamaan waktunya dengan berakhirnya masa jabatan Bachelet di Kantor HAM PBB. Hal itu memicu kegelisahan sejumlah pihak, yang berlomba-lomba mengirimkan surat untuk mempertanyakan keputusan yang dinilai sangat terlambat. Sampai saat ini, tidak ada penjelasan dari Bachelet atau Kantor HAM PBB mengapa laporan tersebut dirilis di hari terakhir Bachelet berkantor.

Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa Michelle Bachelet saat berbicara kepada media untuk terakhir kalinya di Geneva, Swiss, 25 Agustus 2022.
Para pengkritik mengatakan, kegagalan untuk memublikasikan laporan itu akan menjadi tanda hitam mencolok pada masa jabatannya.
”Penundaan yang tidak dapat dimaafkan dalam merilis laporan ini menodai catatan kantor hak asasi manusia PBB,” kata Agnès Callamard, Sekretaris Jenderal Amnesty International, yang juga adalah mantan pelapor khusus HAM PBB. Akan tetapi, dia menilai, waktu keluarnya laporan itu tidak boleh meminggirkan substansi dan signifikansi isi laporan.
Baca juga: Jelang Lengser, Trump-Pompeo Tuding China Lakukan Genosida terhadap Uighur
Human Rights Watch (HRW) mengatakan, laporan itu meletakkan dasar yang kuat bagi PBB untuk mengambil tindakan lebih lanjut sebagai pertanggungjawaban atas pelanggaran tersebut. ”Belum pernah begitu penting bagi sistem PBB untuk berhadapan dengan Beijing dan membela para korban,” kata John Fisher, Wakil Direktur HRW.
Bantahan Beijing
Sebagai tanggapan atas laporan kantor Komisioner Tinggi HAM PBB tersebut, Perwakilan Tetap China di kantor PBB Geneva mengeluarkan dokumen setebal 131 halaman yang berjudul ”Melawan Terorisme dan Ekstremisme di Xinjiang: Kebenaran dan Fakta”. Dalam dokumen tersebut, Perwakilan Tetap China di PBB menyatakan, laporan kantor HAM PBB itu menghancurkan kemajuan penegakan HAM di Xinjiang yang dilakukan oleh pemerintah dan warga setempat.
Perwakilan Tetap China juga menyebut bahwa Bachelet saat berkunjung ke Xinjiang telah mengeluarkan pernyataan resmi di hadapan sejumlah media tentang hasil kunjungannya itu. ”Sangat disesalkan substansi yang tercantum dalam apa yang disebut sebagai laporan berbeda dengan pernyataan resmi Komisioner Tinggi saat berkunjung ke Xinjiang,” tulis bantahan itu.

Foto yang dirilis oleh kantor berita Xinhua, 13 Juli 2021, memperlihatkan Presiden China Xi Jinping berada di tengah-tengah warga Guyuanxiang di Distrik Tianshan, Urumqi, Xinjian, China bagian barat.
Dalam bantahan itu, tertulis bahwa tindakan terorisme dan ekstremisme menimbulkan bahaya tidak hanya bagi pemerintah, tetapi juga bagi warga. Tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah China adalah bagian dari upaya untuk memberikan rasa aman dan kenyamanan bagi warga agar dapat melakukan kegiatan sehari-hari tanpa perlu khawatir.
Baca juga: Derita Uighur di Balik Percepatan Energi Bersih AS
Di dalam bantahan itu, Perwakilan Tetap China untuk PBB di Geneva juga menyebut tindakan kontraterorisme yang dilakukan tidak menyasar kelompok etnis tertentu, termasuk etnis minoritas atau agama tertentu. Kebijakan kontraterorisme yang dilakukan oleh Pemerintah China tidak dimaksudkan untuk menghilangkan penganut agama tertentu atau mempersekusi umat Islam.
Dalam laporan itu juga disebutkan bahwa pengelola VETC menghormati budaya dan religi peserta pelatihan. Beberapa contoh dalam bentuk foto dan narasi disampaikan oleh China dalam laporan bantahan itu yang memperlihatkan situasi dan kondisi pusat deradikalisasi. (AP/AFP/REUTERS)