Libya tidak kunjung stabil. Kerusuhan ini berisiko pecah menjadi perang saudara lagi jika tidak segera ditangani.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
TRIPOLI, SENIN — Kerusuhan terjadi di sejumlah wilayah di Libya. Di ibu kota Tripoli, pemerintah mencatat ada 32 korban tewas dan 159 orang luka-luka akibat bentrok antara pendukung pemerintahan sementara Libya dan kubu oposisi. Ini keadaan terburuk sejak tahun 2020 ketika Libya melakukan gencatan senjata setelah perang saudara berkepanjangan yang dimulai ketika pemimpin Libya Moammar Khadafy dilengserkan dan dibunuh pada 2011.
Sejumlah bangunan, termasuk rumah sakit, rusak akibat ditembaki kelompok bersenjata. Warga tampak mulai banyak yang meninggalkan kota Tripoli setelah kerusuhan pecah pada Minggu (28/8/2022).
”Saya masih bertahan di rumah, tetapi ini barang-barang sudah dikemas kalau-kalau kami sekeluarga harus mengungsi,” kata Abdelmanem Salem, warga Tripoli.
Bentrok terjadi antara pendukung Pemerintah Kesepakatan Libya (GNA) yang dipimpin Perdana Menteri Abdel Hamid Dbeibah dan pendukung Fathi Bashagha. Terdapat pula campur tangan beberapa kelompok bersenjata yang bergerak dari timur dan selatan menuju Tripoli.
Perang saudara pasca-lengsernya Khadafy diakhiri dengan gencata senjata pada tahun 2019 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Setelah itu dibentuk Forum Dialog Politik Libya (LPDF) yang terdiri atas 75 anggota. Pada Februari 2021, mereka menetapkan Dbeibah sebagai Pelaksana Tugas Perdana Menteri.
Dbeibah diamanatkan menyiapkan pemilihan umum presiden yang harus dilangsungkan pada Desember 2021. Pada saat yang sama, DPR Libya dan Majelis Tinggi Negara (HCS) harus menyusun kerangka pelaksanaan pemilihan presiden, tetapi keduanya gagal.
Dalam proses penyusunan kerangka itu, Ketua DPR Libya Aguila Saleh mencalonkan diri sebagai presiden. Selain itu, Pemimpin Tentara Nasional Libya (LNA) yang merupakan musuh GNA, Jenderal Khalifa Haftar beserta mantan Menteri Dalam Negeri LNA Fathi Bashagha, turut mencalonkan diri. Para loyalis Khadafy mencalonkan Saif Khadafy, putra Moammar.
Perdebatan sengit berlangsung. Sebagian anggota DPR, HCS, dan LPDF tidak menyetujui Haftar sebagai capres. Hal ini karena LNA dianggap sebagai pemberontak yang melawan GNA. Padahal, GNA adalah pemerintahan Libya yang diakui oleh dunia internasional. Mereka juga tidak menyetujui pencalonan Saif karena berstatus buronan negara.
Selain itu, Haftar juga merupakan tentara aktif dan memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat. Dua aspek ini dilarang sebagai calon kepala negara oleh Undang-Undang Dasar Libya. Sengitnya pedebatan membuat waktu habis sementara waktu pelaksanaan pemilu pada Desember 2021 kian mendekat.
Di tengah situasi ini, Ketua DPR Aguila Saleh pada September 2021 mengeluarkan peraturan baru terkait pemilihan presiden tanpa melalui rapat paripurna DPR. Peraturan yang dibuat secara sepihak ini menyatakan, orang berkewarganegaraan ganda ataupun aktif di militer boleh mencalonkan diri sebagai presiden.
”Sayangnya, misi PBB untuk Libya menyetujui aturan ini dengan alasan setidaknya ada kemajuan ataupun pergerakan dari stagnasi politik,” kata Omar Hammidy, mantan penasihat politik Misi PBB di Libya kepada majalah Foreign Policy.
Mendapat angin, Saleh mengeluarkan peraturan lagi terkait pemilu legislatif. Padahal, aturan-aturan itu tidak sesuai konstitusi, baik konteks, metode perumusan, maupun pengesahannya. Libya semakin terbelah dan akhirnya pemilu Desember 2021 batal.
Berpendapat bahwa masa jabatan sementara PM Dbeibah selesai pada Desember 2021, DPR Libya kemudian menunjuk Fathi Bashagha sebagai perdana menteri yang baru pada Februari 2022. Hal ini ditolak oleh Dbeibah.
”Saya mundur dari kursi perdana menteri hanya setelah ada pilpres yang sah dan demokratis,” ujar Dbeibah. Ia juga menekankan komitmen untuk tidak mencalonkan diri sebagai presiden.
Setelah keputusan DPR itu, Bashagha mengumpulkan kekuatan. Ia yang berbasis di Misurata pada Kamis (25/8/2022) datang ke Tripoli dengan tujuan menggusur Dbeibah dari kepemimpinan negara. Akhirnya, kerusuhan pun pecah.
Pengamat politik Libya dari Institut Kajian Keamanan Internasional (SWP) di Jerman, Wolfram Lacher, mengatakan, kerusuhan ini akhirnya melibatkan kelompok-kelompok bersenjata yang sebelumnya adalah oposisi GNA dan LNA. ”Dinamika mudah sekali berubah. Besok, kita tidak akan tahu siapa berpihak kepada siapa,” ujarnya. (AFP/REUTERS)