Organisasi modern malah dipakai untuk melestarikan tradisionalisme dan hal itu berlangsung sampai sekarang. Bangsa-bangsa Arab masih terus berperang di antara sesamanya.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
AP PHOTO/NARIMAN EL-MOFTY
Dua petempur anak-anak yang baru berusia remaja duduk di bebatuan sambil membawa senjata api di sebuah lokasi di Marib, Yaman, 30 Juli 2018. Sudah bertahun-tahun negara itu dilanda perang saudara dan tidak ada tanda akan selesai. Perang Yaman salah satu bukti perpecahan di antara bangsa Arab.
JAKARTA, KOMPAS — Meski sudah lebih dari 100 tahun dikritik, kemunduran bangsa-bangsa Arab tidak kunjung berhenti. Fanatisme pada suku, kolusi, dan keengganan meninggalkan tradisionalisme menjadi faktor utama kemunduran itu. Indonesia perlu mempelajari penyebab keterpurukan itu agar tidak mengalami masalah yang sama.
Jurnalis senior Musthafa Abd Rahman mengatakan, keresahan pada kemunduran bangsa Arab sudah dikemukan antara lain lewat buku terbitan 1883. Kritik serupa terus dilontarkan di masa-masa selanjutnya. ”Buku saya tidak akan menjadi yang terakhir, masih akan ada lagi di masa mendatang,” kata dia dalam bedah bukunya, Mengapa Bangsa Arab Terpuruk, Kamis (25/8/2022), di Jakarta.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra, Guru Besar UIN SH Jakarta Ali Munhanif, Duta Besar RI untuk Spanyol Muhammad Najib, dan jurnalis senior Trias Kuncahyono menjadi pembahas buku itu. ”Buku ini bersumber dari pemikiran tokoh-tokoh terhormat di Timur Tengah,” ujar Musthafa.
Dalam 10 tahun terakhir, para tokoh Arab gelisah karena bangsa itu semakin terpuruk. Dalam satu dekade, kemiskinan naik dari 8,5 juta menjadi 18 juta jiwa. Krisis politik dan peperangan menjadi penyebab utama keterpurukan itu. Potensi generasi muda Arab tersia-siakan karena rangkaian krisis itu. Gara-gara rangkaian krisis itu, cendikiawan Mesir sampai menyebut bangsa Arab sedang sakit.
Najib menyebut, hal yang mengkhawatirkan di kalangan bangsa Arab juga umat Islam di negara lain adalah ketiadaan tradisi introspeksi. Alih-alih mencari penyebab kemunduran secara internal, banyak bangsa Arab dan umat Islam di negara lain malah mencari kambing hitam.
Era bangsa Arab sebagai pemimpin umat Islam sudah selesai berabad lalu. Sayangnya, sampai sekarang masih terus dikenang. Bahkan, bangsa Arab bisa disebut gagal berkembang jika dibandingkan bangsa Jepang. Di abad ke-19, bangsa Arab dan Jepang sama-sama terpuruk. Restorasi Meiji membuat Jepang maju, sementara mayoritas Arab tetap seperti sekarang.
AFP/SALEH AL-OBEIDI
Warga di Lahj, Yaman, pada Martet 2022. Sudah bertahun-tahun negara itu dilanda perang saudara dan tidak ada tanda akan selesai. Perang Yaman salah satu bukti perpecahan di antara bangsa Arab.
Najib juga mengatakan, bangsa Arab sampai sekarang masih terus mencari formula hubungan negara dengan agama. Indonesia sudah menyelesaikan isu itu sejak 1945. Dengan semua dinamikanya, Indonesia yang terdiri dari ratusan suku dan subsuku bisa lebih tenang dibandingkan dunia Arab. Kondisi itu perlu dijaga. ”Bukan tidak mungkin nanti bangsa Arab akan belajar ke Indonesia,” katanya.
Azyumardi mengatakan, Indonesia menjadi negara dengan perekonomian terbesar di antara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI). Setelah Indonesia, baru Turki dan Arab Saudi. ”Indonesia sudah mengekspor imam masjid ke Timur Tengah,” ujarnya.
Menurut Azyumardi, sudah ratusan tahun bangsa Arab tidak belajar dan terjebak pada masalah yang sama. Sejak dulu bangsa Arab selalu terpecah oleh suku dan kabilah. Kerajaan besar bangsa Arab hancur karena perpecahan itu. Perpecahan itu sudah terjadi sejak masa para sahabat Nabi Muhammad SAW. Saat Nabi Muhammad meninggal, orang Arab sudah ribut karena soal pemimpin pengganti. Setelah itu, ada perang-perang perebutan kepemimpinan. ”Ada perang antara menantu dan mertua,” ujarnya.
Sampai sekarang pun, bangsa-bangsa Arab masih terus berperang di antara sesamanya. Akibatnya, sebagian bangsa Arab miskin. ”Pelajarannya, kalau terpecah, tidak akan bisa maju. Akan dikuasai pihak lain. Indonesia perlu memahami ini,” tuturnya.
Bangsa Arab tersebar dari Maroko hingga Oman. Namun, meski sama-sama Arab, orang-orang di Timur Tengah lebih fanatik kepada kabilah atau subsukunya. Peperangan dan perpecahan sejak dulu terjadi di antara para subsuku itu.
Imam Besar Al Azhar, Syaikh Ahmad Tayeb, menurut Azyumardi, memuji Indonesia karena bisa mengembangkan Islam yang moderat. Mesir sudah lama mencoba mengembangkan itu dan sampai sekarang belum bisa. Padahal, Mesir salah satu pusat pemikiran Islam dan perdebatan soal keagamaan amat bebas di sana.
(BANDAR ALJALOUD/SAUDI ROYAL PALACE VIA AP)
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bertemu Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman di Jeddah, Arab Saudi, pada April 2022. Hubungan Arab Saudi-Turki menegang gara-gara pembunuhan Jamal Khashogi di Istanbul beberapa tahun lalu. Sejumlah pejabat Arab Saudi disebut terkait pembunuhan itu.
Ali mengatakan, sebenarnya ada optimisme pada bangsa-bangsa Arab setengah abad lalu. Kala itu, ada perubahan-perubahan penting dalam struktur masyarakat. Tradisionalisme di Turki, Irak, dan Jordan memudar. Organisasi modern semakin berkembang di kalangan masyarakat. Fenomena itu menawarkan optimisme perubahan pascakolonial.
Sayangnya, empat dekade lalu malah ada pemudaran optimisme atas perubahan bangsa Arab. Ada fenomena demokrasi tanpa demokrat. Organisasi modern malah dipakai untuk melestarikan tradisionalisme dan hal itu berlangsung sampai sekarang.
Hal itu tidak lepas dari tradisi Arab yang mementingkan keluarga dan kabilah. Di organisasi modern sekalipun, pengutamaan keluarga tetap terjadi. Garis keturunan dijadikan pertimbangan dalam memilih sosok di organisasi.
Negara Arab yang menjadi republik sekalipun tetap mementingkan penempatan pejabat berdasarkan kekeluargaan. Seharusnya, fenomena itu hanya terjadi di kerajaan. ”Pola hidup tradisional melekat dalam cara pandang elite dan masyarakat Arab,” ucapnya.
Pola tradisional dijaga dalam institusi modern. Organisasi modern, seperti Ikhwanul Muslimin, pun melakukan hal itu. Karena itu, mereka kehilangan momentum kala sempat berkuasa singkat di Mesir.
Hal yang lebih menyedihkan, tribalisme pun berkembang menjadi lebih dari sekadar kesukuan. Tribalisme Arab berkembang sampai ke tahap satu pemikiran atau tidak. Jika tidak dianggap satu garis pemikiran, orang Arab bersedia melakukan hal-hal yang sulit dipahami. Di Mesir, kelompok liberal malah mendukung penundaan pemilu dan militer mengendalikan kekuasaan.