Uni Eropa dan AS Tidak Sinkron Menghadapi Krisis Ukraina
AS dan UE tampak bersatu di permukaan dalam menyikapi krisis Ukraina, tetapi tidak sepenuhnya demikian dalam kenyataan. Salah satu dasar utama perbedaan itu adalah akar krisis Ukraina. Perang ini ciptaan siapa?

Foto yang diambil pada 14 Juni 2021 memperlihatkan Presiden Perancis Emmanuel Macron (kiri) berbincang dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden saat keduanya mengikuti KTT NATO di markas NATO di Brussels, Belgia.
Secara umum, warga Uni Eropa dan AS mendukung kedaulatan Ukraina dan menyalahkan invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022. Akan tetapi, bentuk dukungan itu tetap mengambang setelah enam bulan invasi Rusia. Sejak awal ada kegamangan di Uni Eropa tentang bagaimana harus bersikap. Juga ada kebingungan dari sisi Uni Eropa bagaimana mengikuti tarian geopolitik AS versus Rusia.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy berkukuh menginginkan Uni Eropa (UE) ikut berperang atau setidaknya mengirimkan senjata. AS, pendukung paling kuat Ukraina, kukuh menyemangati Ukraina dan menjanjikan peran AS dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
”Jika Putin (Presiden Rusia Vladimir Putin) menyerang, sanksi Barat akan diterapkan dengan cepat dan tanpa ampun… aliansi akan melengkapi Ukraina dengan persenjataan,” demikian pernyataan Menlu AS Antony Blinken kepada Menlu Rusia Sergey Lavrov dalam pertemuan pada 21 Januari 2022 di Geneva, Swiss.
AS melakukan fait accompli tentang peran UE dan NATO menjelang invasi. Meski demikian, harapan Zelenskyy tetap dalam bentuk harapan, tak banyak yang terwujud. Bahkan, harapan itu tampak memudar seiring dengan berjalannya waktu. Semangat tinggi Ukraina, dipadu dukungan kuat AS, tidak bergaung dalam di Eropa.
Baca Juga: Perang Rusia-Ukraina Paksa Eropa Keluarkan Dana Triliunan Euro
Kepada The Washington Post, 16 Agustus 2022, Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan pada Oktober 2021 mengatakan bahwa ia sudah membagikan informasi intelijen tentang rencana invasi Rusia ke Ukraina. Akan tetapi, Sullivan menemukan keengganan Jerman dan Perancis untuk berhadapan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Di balik keengganan
Hal itu tidak mengherankan. Terlalu riskan memprovokasi konflik langsung NATO dengan Rusia yang berkekuatan nuklir. Tujuh puluh lima tahun lebih setelah Perang Dunia (PD) II, Eropa Barat terbiasa dengan situasi aman. Eropa melaju dengan kemakmuran, tetapi secara keamanan ada di bawah naungan AS lewat NATO.
Jerman, pemimpin de facto UE, sejak PD II enggan terlibat konflik militer (CNN, 31 Januari 2022). Pemerintahan Kanselir Olaf Scholz menegaskan bahwa mempersenjatai Ukraina hanya akan membuat ketegangan meningkat. Jerman dengan akar eks Jerman Timur melaju dengan persahabatan Rusia, yang terbentuk lewat persahabatan Rusia-Uni Soviet. Eks warga Jerman Timur tidak pernah menginginkan kembalinya Jerman Timur, tetapi memiliki nostalgia kuat dengan Rusia (Deutsche Welle, 27 Mei 2022).

Tentara Jerman mempersiapkan prasarana untuk latihan militer internasional, Defender-Europe 20, di Bergen Hohne, Jerman, 12 Februari 2020.
Presiden Perancis Emmanuel Macron pada Juni 2022 sudah menyampaikan pesan agar Rusia tidak dipermalukan. Macron beserta pemimpin Jerman memilih dialog dan tidak yakin Rusia akan melakukan serang kolosal ke Ukraina. Ini senada dengan keterangan Putin tentang ”operasi militer khusus”. Akan tetapi, tidak semua bisa menerima operasi khusus itu karena kesengsaraan luar biasa telah didalami warga Ukraina.
Akan tetapi, dalam pandangan Macron, Ukraina sebaiknya menjaga netralitas negaranya di tengah pertarungan AS versus Rusia, seperti dinyatakan Gerhard Mangott, pakar kebijakan luar negeri Austria dan profesor di University of Innsbruck (Deutsche Welle, 8 Februari 2022).
Italia memiliki kubu kanan yang memiliki tradisi kedekatan dengan Rusia. Italia juga sangat tergantung pada migas Rusia (The National Interest, 21 Juli 2022).
Baca Juga: Ukraina, Pelanduk di Bumi Eropa
Hongaria adalah sahabat Rusia, termasuk karena faktor wilayahnya Transcarpathia dengan akar Rusia. Gas Hongaria datang dari Rusia dan listrik Hongaria dihasilkan teknologi nuklir Rusia. Terbentuk persepsi bahwa Hongaria adalah sahabat Rusia, seperti dituliskan Hungary Today, 21 Juli 2022, mengutip Zsolt Nemeth, Ketua Komisi Kebijakan Luar Negeri Parlemen Hongaria.
Itulah antara lain yang membuat Eropa kadang mendua sikap tentang Rusia. Namun, sikap negara-negara raksasa UE dan kelompok kecil itu bertentangan dengan keinginan AS, Inggris, dan negara-negara Baltik (Agence France Presse, 21 Januari 2022). Polandia yang dipersepsikan sebagai sahabat AS juga muncul dengan serangan keras (Agence France Presse, 16 Agustus 2022).
Perdana Menteri Polandia Mateusz Morawiecki menuduh Perancis dan Jerman menjalankan UE sebagai de facto oligarki, mengabaikan suara Polandia yang telah lama memperingatkan ekspansionisme Rusia. ”Banyak pemimpin Eropa yang membiarkan diri mereka termakan bujuk rayu Putin. Mereka kini terkaget-kaget,” demikian Morawiecki menuliskan artikel di harian Perancis, Le Monde.
”Eropa sekarang menemukan situasi terbaru, bukan karena kurang terintegrasi, melainkan karena takut menerima kenyataan,” kata Morawiecki, yang menginginkan UE bersikap keras tanpa keraguan sedikit menghadapi Rusia.
Akar krisis
Dengan demikian, meski AS dan UE tampak bersatu di permukaan, tidak sepenuhnya demikian dalam kenyataan, kata Mangott. Akan tetapi, salah satu dasar utama perbedaan adalah akar krisis Ukraina. Perang ini ciptaan siapa? Ini adalah resultante persaingan lama geopolitik AS dengan Rusia, yang tidak ditangani dengan baik. Peluasan NATO yang mendekat ke perbatasan Rusia menjadi akar utama.
Wakil Menteri Luar Negeri AS Wendy Sherman bertemu mitranya Sergei Ryabkov di Geneva, Januari 2022. Dalam pertemuan itu, Ryabkov kepada Sherman menekankan kembali posisi Moskwa yang disampaikan pada Desember 2021. NATO harus menghentikan perluasan dan menghentikan kegiatan di negara-negara yang bergabung dengan NATO sejak 1997, termasuk Polandia, Romania, Bulgaria, dan negara-negara Baltik.
Baca Juga: Permusuhan Abadi NATO-Rusia
Sikap Rusia ini terlalu liar, tidak masuk akal dalam pandangan AS. Akan tetapi, krisis geopolitik adalah warisan waktu. Pada 1991, Menlu AS James Baker kepada Rusia telah berjanji tidak akan memperluas keanggotaan NATO ke eastern flank. Harian The New York Times, 9 Januari, mempersoalkan kesahihan janji itu lewat artikel berjudul ”In Ukraine Conflict, Putin Relies on a Promise That Ultimately Wasn’t”. Di sisi lain, banyak pengamat tetap mengingat janji itu.

Pesawat pengebom strategis Angkatan Udara Rusia, Tu-95, bersiap lepas landas dari pangkalan udara di Engels, dekat Sungai Volga, Rusia, Senin (24/1/2022).
Lepas dari itu, secara empiris, Eropa bukan penentu di NATO, tetapi AS-lah penentunya. Dua kubu, AS dan Rusia, itulah yang seharusnya menyelesaikan kemelutnya tanpa menyeret UE. Maka, ketika AS menuntut peran UE dalam perang ini, ada kebingungan UE.
Baca Juga: Warisan Perang Dingin di Ukraina
Lagi masalah lain, bagaimana menuruti AS dengan fakta pendudukan Irak yang kacau balau, diikuti penarikan mundur AS dari Afghanistan yang berbahaya. Tambahan lagi, AS akrab dengan Rusia di era Presiden Donald Trump dan mendadak berubah menjadi musuh Rusia di bawah Presiden Joe Biden.
Di bawah Trump, AS melekat ke Rusia hingga mengabaikan UE dan ”meninggalkan” NATO. Angela Merkel sudah menjawab posisi AS di bawah Trump, yang tiba-tiba meninggalkan pertemuan G7 pada 2017. Eropa tidak bisa lagi tergantung pada sekutunya, kata Merkel.
”Saya sudah mengalami hal ini dalam beberapa hari terakhir. Itulah sebabnya saya hanya bisa mengatakan bahwa Eropa harus mempertaruhkan nasibnya di tangan kami sendiri,” kata Merkel (Reuters, 28 Maret 2017).
Aspek lain, bagaimana Jerman, Perancis dan Italia mau larut dalam sikap hostile Inggris terhadap Rusia di bawah Perdana Menteri Boris Johnson. Fakta lain, Inggris sudah meninggalkan UE dengan Brexit-nya. Bagaimana UE bisa yakin tentang kesatuan UE yang dituntut Johnson?
Ditambah lagi, bagaimana UE yakin kepada AS? Secara empiris, AS dipersepsikan lebih senang berbagi informasi dengan Inggris dan menomorduakan negara anggota UE? Ditambah lagi, informasi intelijen AS pernah memiliki cacat karena berlebihan menganalisis sesuatu, termasuk senjata pemusnah massal Irak yang tidak ditemukan.

Perdana Menteri Inggri Boris Johnson (kiri) memperlihatkan gestur di dekat Presiden AS Joe Biden dan Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg (kanan) dalam Pertemuan Sesi Dewan Atlantik bersama para pemimpin negara-negara anggota NATO di arena IFEMA, Madrid, Spanyol, 30 Juni 2022.
Ketika menggantikan Trump, Biden menyerukan ”America is back”. AS dan UE kembali bersatu, tetapi tidak mudah UE menyikapinya. Mendukung AS yang hawkish ala Biden, Bill Clinton, dan George W Bush, atau menginginkan AS yang pernah memilih strategi pembendungan di era Harry Truman atau politik detente di era Ricard Nixon?
Tidak pernah dalam sanubari UE tertanam benih kuat untuk berelasi penuh dengan Rusia. Hubungan yang ada adalah sarat nada kecurigaan, tetapi relasi tetap dijalani untuk mencegah konflik. Ini kontras dengan Biden yang menohok langsung Putin dengan julukan ”Si Kriminal”.
Baca Juga: Uni Eropa Stop Emas Rusia, Kremlin Mainkan Gas
Atas sikap UE, terutama dengan posisi Jerman itu, muncul tuduhan bahwa Jerman adalah antek-antek Rusia. Dicuatkan isu bahwa Putin sekarang menjadikan Jerman sebagai bulan-bulanan (Judy Dempsey, Carnegie Europe, 19 Juli 2022). Gerhard Schroder, mantan Kanselir Jerman yang berada di balik proyek pipanisasi gas Rusia ke Jerman, dituduh sebagai antek-antek Putin. Jawaban Schroder tentang itu adalah bahwa dia tidak mungkin mengubah sikapnya.
”Tentu saya menyalahkan Rusia tentang perang ini, tetapi saya tidak harus berang.... Saya juga menerima banyak surat dari Jerman sendiri bahwa tetap perlu ada jalur komunikasi dengan Rusia dalam konflik sekarang,” katanya kepada majalah Stern, 3 Agustus 2022.
Pukulan balik sanksi
Di tengah polemik itu, pada akhirnya UE juga menuruti AS dengan turut mengenakan sanksi terhadap Rusia. Namun, pada akhirnya adalah soal urusan perut. Sanksi terhadap Rusia telah menyulitkan perdagangan, termasuk terhentinya sebagian aliran gas dari Rusia. Hal itu telah turut menaikkan harga-harga kebutuhan warga dunia dan Eropa.
Rusia tentu telah mengakui efek sanksi AS-UE. ”Untuk jasa keuangan, ada kesulitan teknis dalam kerja sama dengan Anglo-Saxon sekarang ini,” kata Alexey Beloshitskiy, Direktur Eksekutif Big Data Storage and Analysis Center Moscow State University pada 8 Juli 2022. Rusia sebaliknya melakukan balasan, termasuk menghentikan sebagian aliran gas.

Foto yang diambil pada 24 Maret 2022 memperlihatkan salah satu pengontrol pada jaringan pemipaan gas Eropa di Open Grid Europe (OGE), salah satu operator sistem transmisi gas, yang berada di Werne, Jerman.
Warga UE merasakan efek sanksi. Jajak pendapat di UE menunjukkan warga lebih takut dengan risiko kenaikan harga-harga, di atas ketakutan terhadap serangan nulir Rusia. Hingga muncul opini agar opsi damai lebih penting ketimbang mengadili Rusia, berdasarkan jajak pendapat yang diselenggarakan The European Council on Foreign Relations (ECFR) di 10 negara. Sebanyak 33 persen tergolong ”peace camp”, menginginkan perang berakhir segera. Hanya 22 persen responden menginginkan keadilan dijalankan terhadap Putin, menghukum Rusia atas invasi, dan memulihkan teritori Ukraina.
Bahkan, ada opini lebih ekstrem, mengutamakan ekonomi dan meminta Ukraina menyelesaikan persoalan praktisnya. ”Banyak responden di Eropa ingin perang berakhir meski itu berarti Ukraina kehilangan teritori,” demikian dikutip The Guardian, 15 Juni 2022.
Jajak pendapat ECFR juga menunjukkan pemerintahan Eropa terlalu fokus pada perang ketimbang memikirkan persoalan warga. Direktur ECFR mengatakan, ada kesenjangan antara posisi pemerintah dan mood publik.
Baca Juga: Jerman Berharap Rusia Tidak Hentikan Semua Aliran Gas
Dikutip Reuters, 23 Juli, Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban mengatakan bahwa UE membutuhkan strategi baru menghadapi krisis Ukraina karena sanksi tidak berhasil. ”Sebuah strategi yang fokus pada pembicaraan damai dan penyusunan proposal bagus ketimbang menang perang,” kata Orban.
Orban menambahkan, strategi terhadap Rusia yang ada sejauh ini berbasis pada pilar: Ukraina bisa menang perang; sanksi akan melemahkan Rusia dan mendestabilisasi pemerintahan Rusia; sanksi menyengsarakan Rusia lebih berat ketimbang Eropa; dunia mendukung penuh aksi Eropa. Orban menambahkan, strategi ini gagal karena dunia tidak sepenuhnya mendukung sanksi Eropa. Tambahan lagi, pemerintahan Eropa ambruk seperti domino dan harga-harga energi naik.
Inilah persoalan baru Eropa yang entah bagaimana harus menyelesaikannya. Suara keras sebagian Eropa juga tetap sangat kuat terhadap Rusia.