Polemik Masa Jabatan, PM Thailand Dicopot Sementara
Prayuth Chan-ocha mundur sementara dari kepala pemerintahan Thailand sampai Mahkamah Konstitusi setempat mengeluarkan keputusan tetap soal masa jabatannya.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
BANGKOK, RABU – Mahkamah Konstitusi Thailand mencopot sementara Jenderal Purnawirawan Prayuth Chan-ocha dari jabatannya sebagai perdana menteri negara tersebut. Kepemimpinan Thailand diambil alih oleh sesama mantan jenderal, Prawit Wangsuwan, yang sebelumnya merupakan wakil perdana menteri. Namun, rakyat meminta agar diadakan pemilihan umum secepatnya guna membentuk pemerintahan yang baru.
Keputusan pencopotan itu dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Thailand pada Rabu (24/8/2022). Dalam keterangan resmi tertulis, MK mengatakan bahwa ini bukan keputusan tetap. MK yang terdiri atas lima hakim ini masih berembuk mengenai perdebatan Prayuth telah memenuhi batas maksimal masa jabatan perdana menteri atau belum.
Prayuth diberi waktu 15 hari untuk memberi tanggapan atas pencopotan itu. Namun, beberapa jam setelah pengumuman MK, Juru Bicara Pemerintah Thailand Anuchai Burapachaisri memberi keterangan pers bahwa Prayuth menerima keputusan MK.
Dengan demikian, Wakil PM Prawit Wangsuwan akan mengambil alih kepemimpinan sementara. Perubahan struktur ini tidak akan memberi dampak apa pun dari kegiatan operasional pemerintah. Meskipun begitu, Prayuth tidak sepenuhnya mundur dari pemerintahan. Ia masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan.
”Jenderal Prayuth ikhlas menerima keputusan MK dan bersedia langsung mundur sementara dari kursi perdana menteri sampai ada keputusan tetap. Dalam kepemimpinan Jenderal Prawit, Jenderal Prayuth tetap mengabdi sebagai menteri pertahanan di kabinet,” kata Anuchai, dikutip oleh surat kabar Bangkok Post.
Pencopotan Prayuth ini disebabkan oleh polemik di masyarakat Thailand mengenai lama masa jabatan perdana menteri. Prayuth bisa menduduki tampuk kekuasaan di Thailand karena pada 2014 melakukan kudeta terhadap PM Yingluck Shinawatra. Padahal, Yingluck secara sah memenangi pemilihan umum.
Mantan jenderal itu kemudian menerapkan hukum darurat militer di Thailand sampai dengan 2019. Pada tahun yang sama, Prayuth memenangi pemilu meskipun banyak pihak meragukan keabsahan pesta demokrasi tersebut. Ada dugaan kuat bahwa Prayuth merancang pemilu sedemikan rupa agar bisa memenanginya.
Undang-Undang Dasar (UUD) Thailand menyatakan bahwa seorang perdana menteri hanya bisa menjabat paling lama delapan tahun. Permasalahannya, pada 2017, Prayuth yang saat itu merupakan pemimpin junta militer melakukan amendemen UUD. Akibatnya, muncul perdebatan perhitungan masa jabatan Prayuth.
Jika dihitung sejak mengudeta Yingluck pada 2014 hingga terus bercokol pada tampuk kekuasaan sampai dengan 24 Agustus 2022, Prayuth sudah delapan tahun berkuasa. Namun, jika dihitung sejak amendemen UUD 2017, Prayuth baru lima tahun menjabat. Apabila dihitung sejak 2019, kekuasaannya baru berumur tiga tahun.
”Kekuasaan Prayuth sebagai kepala pemerintahan seharusnya dihitung sejak 2014. Artinya, dia sudah berakhir masa jabatannya,” kata Chonlanan Srikaew yang merupakan salah satu pemimpin partai politik oposisi, Pheu Thai.
Peneliti Institut Kajian Strategis Internasional (IISS), Aaron Connelly, menjelaskan bahwa Prayuth tidak menyangka ada kemungkinan besar dikalahkan oleh sistem politik yang ia buat guna melanggengkan kekuasaannya. Apalagi, ia berkali-kali lolos dari berbagai gugatan hukum dan mosi tidak percaya.
Pada 2020, Prayuth lolos dari gugatan penyalahgunaan properti pemerintah. Ia dan keluarganya masih menempati rumah dinas militer meskipun sudah resmi menjadi purnawirawan pada 2016.
Tahun 2021, ia menggagalkan upaya kudeta oleh seorang menteri muda di kabinetnya. Kemudian, pada Juli 2022, untuk keempat kalinya, Prayuth lolos dari mosi tidak percaya di parlemen.
Sejumlah media lokal menganalisis, apabila keputusan MK ternyata masih berpihak kepada Prayuth, kepopuleran dia sudah menurun drastis.
Unjuk rasa masyarakat sipil menentang Prayuth berjalan sejak 2020. Awalnya, publik tidak puas dengan kinerja Prayuth yang dianggap gagap menangani pandemi Covid-19 sehingga ekonomi terpukul parah. Setelah itu, unjuk rasa bereskalasi dengan keinginan masyarakat mengembalikan pemerintahan yang demokratis.
Sejumlah media lokal menganalisis, apabila keputusan MK ternyata masih berpihak kepada Prayuth, kepopuleran dia sudah menurun drastis. Hasil jajak pendapat oleh Institut Administrasi Pembangunan Nasional Thailand (NIDA) pada awal Agustus lalu menyebutkan bahwa dua pertiga responden menginginkan Prayuth mundur segera. Responden terdiri atas 1.312 warga berumur 18 tahun ke atas.
”Tidak hanya itu. Kami mau parlemen dan kabinet dibubarkan. Adakan pemilu lagi yang transparan,” kata seorang pengunjuk rasa bernama Manee. (AFP/REUTERS/DNE)