Terancam Penjara Puluhan Tahun, Trump Tetap Bisa ”Nyapres”
Trump diduga melanggar UU Antispionase atau mata-mata, perintangan proses hukum, dan kejahatan dalam pengelolaan berkas dan dokumen negara. Belajar dari kasus pelanggaran lainnya, Trump kemungkinan tetap bisa ”nyapres”.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
WASHINGTON, SABTU — Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dapat dipenjara hingga 20 tahun. Ini bisa terjadi jika ia terbukti melanggar sejumlah peraturan gara-gara menyimpan berkas rahasia dan sensitif di kediaman pribadinya.
Dugaan pelanggaran semakin menguat setelah pengadilan setuju mengungkap surat perintah penggeledahan dan daftar sitaan dari kediaman resminya. Pada Jumat (12/8/2022) sore waktu Washington atau Sabtu dini hari WIB, pengadilan setuju kedua berkas itu dibuka secara terbatas untuk umum.
Dalam berkas yang dibuka secara terbatas itu terungkap pada 5 Agustus 2022 diterbitkan perintah pengadilan untuk menggeledah kediaman resmi Trump di Florida. Perintah itu dijalankan penyelidik pada Biro Penyelidikan Federal (FBI) didampingi kepolisian setempat pada 8 Agustus 2022 malam.
Setelah menggeledah, penyelidik menyita total 11 set berkas dari kediaman Trump. Berkas itu ditandai dengan tulisan ”sangat rahasia”, ”informasi sensitif”, ”rahasia”, dan ”rahasia terbatas”. Ada pula berkas yang ditandi dengan tulisan ”Roger Stone” dan ”Presiden Perancis”.
Mantan staf ahli bidang hukum pada Dewan Keamanan Nasional AS, John Bellinger, menduga berkas bertanda ”Presiden Perancis” itu terkait penyadapan. Berkas itu seharusnya sangat rahasia dan hanya boleh dibaca di tempat tertentu oleh orang dengan izin keamanan tingkat tinggi.
Mantan penasihat hukum Gedung Putih, Neil Eggleston, mengatakan, bisa saja ada pencabutan status rahasia terbatas hingga sangat rahasia pada sejumlah dokumen-dokumen negara. Presiden AS mempunyai kewenangan itu. Namun, ada sejumlah dokumen tidak bisa dicabut status pembatasan aksesnya. Dokumen tersebut di antaranya diatur dalam undang-undang tenaga nuklir.
Berdasarkan informasi yang diperolehnya, Eggleston menyakini tidak ada berkas yang sudah dicabut pembatasan aksesnya. Tidak ada pula berkas yang tidak bisa dicabut pembatasan aksesnya. Meski demikian, ia tetap bingung mengapa Trump membawa semua berkas yang status aksesnya masih dibatasi itu. ”Kenapa Presiden Trump tidak mengembalikan saja berkas-berkas itu?” katanya.
Pelanggaran
Dalam surat perintah penggeledahan disebutkan sejumlah dugaan pelanggaran. Trump diduga melanggar UU Antispionase atau mata-mata, perintangan proses hukum, dan kejahatan dalam pengelolaan berkas dan dokumen negara.
Sejumlah UU terkait masalah itu mengenakan ancaman penjara hingga 20 tahun. Bahkan, ada sanksi larangan menjadi pejabat publik bagi orang yang terbukti melanggar aturan-aturan itu. Aturan-aturan berlaku untuk penyalahgunaan semua status akses berkas. Dengan demikian, penguasaan tanpa izin atas dokumen negara yang bukan rahasia pun bisa berujung pada penjara.
Mantan pengacara Hillary Clinton pada pemilu 2016, Marc Elias, mengatakan bahwa memang ada sanksi larangan menjadi pejabat publik pada aturan-aturan itu. Meski demikian, kalaupun terbukti melanggar, ia tidak yakin Trump bisa dihalangi mencalonkan ulang dalam pemilihan presiden AS pada 2024.
Konstitusi AS hanya menyebutkan syarat calon presiden ialah setiap warga AS tinggal paling kurang 14 tahun berturut-turut di negara itu dan lahir dari orangtua berstatus warga AS. Selain itu, ada keputusan pengadilan yang menetapkan warga bebas menentukan siapa yang akan menjadi pejabat publik. Penentuan melalui pemilu.
Tatanan hukum itu menjadi salah satu tantangan untuk melarang Trump mencalonkan diri lagi. Masalah lain, belum ada pejabat tinggi AS benar-benar dipidana penjara karena kasus pelanggaran terkait dokumen negara.
Mantan Direktur Badan Intelijen Pusat (CIA) David Petraeus hanya dikenai hukuman percobaan dua tahun pada 2012. Sanksi itu dijatuhkan karena Petraeus diduga memberikan sejumlah berkas rahasia kepada selingkuhannya. Selanjutnya, selingkuhan itu menerbitkan sebagian isi berkas yang terkait dengan operasi rahasia CIA dan informasi keamanan AS lainnya tersebut.
Hillary Clinton juga pernah diselidiki karena ceroboh menggunakan layanan surel selama menjadi Menteri Luar Negeri AS. Hillary tidak dikenai dakwaan apa pun.
Pangkal masalah
Penggeledahan terhadap kediaman Trump bermula sejak ia meninggalkan Gedung Putih pada Januari 2021. Badan Arsip Nasional AS (NARA) telah meminta ia dan timnya menyerahkan semua dokumen negara yang dibawa ke luar Gedung Putih. Trump dan timnya menyerahkan beberapa kotak berkas pada Januari 2022.
Dalam pemeriksaan oleh petugas NARA diketahui sejumlah dokumen yang diterbitkan selama masa jabatan Trump belum diserahkan. Setelah beberapa kali bersurat ke Trump, NARA akhirnya menyerahkan persoalan itu kepada penegak hukum.
Didampingi penegak hukum, NARA kembali menagih berkas-berkas itu kepada Trump. Oleh karena berkas tidak kunjung dikembalikan, FBI akhirnya menggeledah kediaman resmi Trump di Florida. (AFP/REUTERS/RAZ)