Serba Masa Depan di Negeri Masa Lalu
Provinsi Shandong di China menyajikan tawaran menarik bagi para pengunjung. Perpaduan wajah China kuno dan modern menjanjikan pengalaman yang tak terlupakan.
”Persiapkan diri, minggu depan kita ke Provinsi Shandong. Kita akan ke sana naik kereta cepat,” begitu pesan yang diterima di dalam grup Wechat delegasi wartawan Asia-Pasifik dan Afrika dari Pusat Komunikasi Pers Internasional China, akhir Juli lalu.
Begitu membaca pesan itu, rasanya girang bukan kepalang. Akhirnya, setelah hampir dua bulan berkutat di dalam dan sekitar kota Beijing saja, kami bisa jalan-jalan menengok provinsi lain di China.
Bepergian ke daerah lain di China tidak mudah sejak pandemi Covid-19 melanda karena masih ada daerah yang dinilai berisiko Covid-19 sehingga tak semua daerah boleh didatangi. Setiap kali masuk ke daerah lain pun, kami harus mengisi health kit atau data kesehatan yang berbeda dari Beijing.
Baca juga: Keluar sebagai ”Pahlawan” di Tembok Besar
Akan tetapi, demi jalan-jalan naik kereta cepat, pemeriksaan kesehatan apa pun rela dijalani. Apalagi ini kereta cepat seperti yang akan segera beroperasi di Indonesia untuk rute Jakarta-Bandung.
Dengan kereta cepat, kota tujuan, yakni Yantai di Shandong, yang berjarak sekitar 732 kilometer dari Beijing bisa ditempuh hanya dalam waktu 5,5-6,5 jam, tergantung jenis kereta cepatnya. Ada tipe G yang kecepatan maksimalnya 350 kilometer per jam, ada tipe D dengan kecepatan maksimal 250 kilometer per jam, dan tipe C yang hanya bisa paling kencang 200 kilometer per jam.
China memiliki jaringan kereta cepat terpanjang di dunia. Pada akhir 2018, total panjang jaringan kereta cepatnya sampai 29.000 kilometer atau dua pertiga dari jalur kereta cepat dunia.
Setiap hari ada empat kereta cepat dari Beijing ke Yantai. Harga tiket untuk kelas 1 sebesar 600 renminbi (sekitar Rp 1,3 juta) dan kelas 2 sebesar 350 renminbi (Rp 761.000). Kereta cepat yang kami tumpangi, G1084, kecepatan maksimalnya secara teori sampai 350 kilometer per jam. Namun, sepanjang perjalanan, kecepatan maksimal yang tertulis di dalam gerbong kereta rata-rata hanya sampai 300 kilometer per jam. Itu pun selalu mampir di setiap stasiun yang totalnya ada 13 stasiun.
Berbeda dengan kereta cepat Jepang atau Perancis, kereta cepat China masih terasa sedikit goyang. Jika haus atau lapar, tak perlu khawatir, ada pramugari yang sering mondar-mandir menawarkan makanan dan minuman. Mereka juga rajin mengingatkan penumpang agar mengenakan masker sepanjang waktu.
Pesisir
Setelah 6,5 jam, rombongan kami sampai juga di Yantai. Suasana Provinsi Shandong langsung terasa berbeda dengan Beijing karena terletak di pesisir. Pemandangan pantai dan laut menyambut.
Baca juga: Ekonomi Digital, Pintu Menuju Masa Depan
Jika menyebut Shandong, kita teringat akan makanan laut seperti sup timun laut yang coklat dan rasanya kenyal. Shandong juga dikenal karena di sinilah tempat lahirnya Konfusius.
Shandong yang memiliki luas wilayah daratan 158.000 kilometer persegi dan lautan 159.000 kilometer persegi juga tempat lahirnya peradaban China. Sejak 400.000-500.000 tahun lalu, sudah ada manusia yang hidup di sini. Bagian dari Tembok Besar yang tertua juga terdapat di sini. Itulah yang membuat perpaduan unik Shandong, kota kuno dan modern.
”Shandong ini kekuatan ekonomi utama di China. Pendapatan domestik bruto Shandong tumbuh 8,3 persen menjadi 8,3 triliun renminbi tahun 2021 dan peringkat ketiga di China. Dengan penduduk 100,5 juta jiwa, daerah ini punya potensi pasar yang besar,” kata Wakil Direktur Jenderal Urusan Shandong pada Kementerian Luar Negeri China Lin Haibin, yang mendampingi sepanjang perjalanan.
Pada 2021, Shandong mencatat total volume perdagangan luar negeri 2,93 triliun renminbi atau naik 32,4 persen. Investasi asing yang disetor mencapai 21,52 miliar dollar AS dengan tingkat pertumbuhan 21,9 persen, atau 1,7 persen lebih tinggi daripada rata-rata nasional.
Provinsi ini memegang prinsip ”Seek the Truth from the Fact” dari kitab Han yang kemudian menjadi slogan Mao Zedong dan Partai Komunis China. Untuk ”membuktikan” prinsip sekaligus angka-angka yang disampaikan, rombongan wartawan dibawa ke tiga kota besar di Shandong yang karakternya mirip karena sama-sama pesisir, yakni Yantai, Weihai, dan Qingdao.
Revitalisasi
Dari ketiga kota ini, Qingdao yang terlihat lebih mirip Beijing dengan banyak pusat perbelanjaan dan kemacetan di mana-mana. Sebagai kota tujuan wisata, Qingdao mempunyai segalanya. Pantai, pegunungan, dan sebagian kota lama yang direvitalisasi berbaur dengan bangunan modern kafe-kafe kekinian.
Berbeda dengan Qingdao yang vibran, suasana kota Yantai terasa lebih sepi. Di salah satu tujuan wisata, seperti Pulau Yangma di daerah Muping, banyak toko yang tampak lama ditinggalkan pemiliknya. Lokasi ramai hanya di pantai dengan banyaknya orang dewasa dan anak-anak yang berburu kepiting laut di sela-sela batu karang.
Baca juga: Transformasi Industri Otomotif China
Pantai di Weihai berbeda lagi. Tak banyak yang bermain di pantai karena panas matahari menyengat sampai terasa sakit di kulit. Akan tetapi, pemandangan di sepanjang bibir pantai Weihai lebih cantik karena banyak kincir angin sebagai sumber energi terbarukan.
Di Weihai juga terlihat banyak daerah permukiman di pinggir pantai yang baru dibuka. Permukiman baru itu berdampingan dengan kampung nelayan tradisional yang dilestarikan sebagai salah satu daerah tujuan wisata agar publik bisa mengetahui bentuk kampung nelayan asli. Sayangnya, tak ada warga yang bisa ditemui. ”Mungkin karena cuacanya terlalu panas sehingga mereka tinggal di dalam rumah dengan AC,” kata Enzo, salah satu wartawan dari Namibia.
Suasana Yantai memang tampak lebih sepi, tetapi ternyata kaya akan sumber laut dan perkebunan anggur. Tak heran kota ini menjadi kawasan industri minuman anggur beralkohol kelas internasional.
Pada perjalanan ini, ada kesempatan mencicipi lima gelas anggur putih dan merah dengan kadar alkohol beragam di sebuah perkebunan anggur. Ada yang berkadar alkohol 5,5 persen hingga sekitar 10 persen.
Baca juga: Karantina China Nyaris Bikin Gila
Dengan bibit pohon anggur yang didatangkan dari Perancis, perkebunan anggur China diharapkan akan bisa menghasilkan ”minuman anggur rasa China”. Selain wisata minuman anggur, perjalanan berlanjut ke museum bir Tsingtao di Qingdao.
Pemandangan tak lumrah bisa dilihat di museum ini karena banyak anak-anak yang juga datang. Bahkan, banyak orangtua yang memperbolehkan anak-anaknya mencicipi bir setelah belajar serba-serbi pembuatan bir.
Pengalaman melihat ”pemandangan” baru ini sempat membuat alis naik. Mungkin kebiasaan di sini berbeda dengan kampung halaman. Sayang, tak bisa berlama-lama di museum unik yang menjadi salah satu komoditas andalan perekonomian Qingdao.
Kami harus kembali lagi ke Beijing dengan naik kereta cepat. Perjalanan selama enam hari kali ini terasa terlalu cepat dan terlalu padat karena banyak tempat yang dikunjungi. Rasanya seperti sedang lari maraton. Barangkali memang itu maksudnya supaya kita semua suatu hari nanti kembali ke Shandong dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk liburan.