Keketuaan Indonesia untuk G20 menghadapi tantangan kesehatan ataupun geopolitik global. Akan tetapi, Indonesia optimistis di atas semua perbedaan itu, kita semua bisa bekerja sama.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR, KRIS MADA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keketuaan Indonesia di kelompok 20 negara dengan perekonomian terbesar dunia atau G20 memperoleh tantangan yang berat dan mungkin tidak pernah dihadapi oleh ketua-ketua sebelumnya. Dunia masih belum pulih dari pandemi Covid-19, tetapi kemudian dihantam oleh konflik terbuka antara Rusia dan Ukraina yang menambah berat krisis pangan global.
”Belum selesai proses mengusahakan perundingan damai antara Rusia dan Ukraina, sekarang muncul ketegangan di Selat Taiwan yang harus kita semua awasi dan kelola agar tidak bertambah panas,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam wawancara eksklusif di Jakarta, Jumat (12/8/2022). Ia didampingi oleh Co-Sherpa G20 Kemenlu Dian Triansyah Djani.
Namun, di tengah panasnya persaingan global ini, Retno mengungkapkan bahwa G20 tetap menjadi magnet yang kuat bagi dunia sebagai pelantar kerja sama untuk aneka persoalan global. Hal ini terbukti dari banyak negara yang dilibatkan dalam forum itu.
”Keketuaan Indonesia sudah berjalan sembilan bulan. Sampai sekarang, banyak sekali kepala negara yang mengontak Indonesia. Mereka bilang, kalau tidak bisa diajak bergabung menghadiri sidang utama konferensi tingkat tinggi G20 November nanti, minimal dilibatkan di acara-acara sampingan ataupun acara makan malam,” ujar Retno.
Ia menerangkan, G20 memikat negara-negara lain karena forum ini memberi suara kepada negara-negara berkembang. Memang, keanggotaan G20 juga berisi tujuh negara terkaya di dunia (G7). Akan tetapi, pengambilan keputusannya berdasarkan konsensus yang membuktikan bahwa kiprah negara berkembang penting serta diperhitungkan. Kebijakan yang dikeluarkan G20 lebih membumi dan memperhatikan kebutuhan negara-negara berkembang ataupun miskin.
G20 pada dasarnya adalah forum ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Bukan forum politik. Akan tetapi, sektor-sektor ini selalu lekat dan terimbas oleh politik kawasan ataupun global. Di sini, Indonesia ditantang untuk bisa menakhodai organisasi ini agar bisa melewati berbagai hambatan serta memenuhi berbagai target prioritas. Sasaran capaian tetap berupa pemulihan infrastruktur kesehatan global, pengalihan energi ke energi baru dan terbarukan, serta transformasi digital. Isu ketahanan pangan juga menjadi target tambahan mengingat dampak dari perang Rusia-Ukraina.
”Indonesia optimistis bahwa di atas segala perbedaan pandangan politik, kita semua bisa diajak bekerja sama,” kata Retno.
Terbukti, untuk urusan penanganan pandemi Covid-19, negara-negara yang bertolak belakang dari segi ideologi politik tetap bekerja sama. Pengembangan vaksin dan obat-obatan, pembangunan berbagai program riset, dan berbagai upaya pemulihan ekonomi global dikeroyok beramai-ramai.
Salah satu contohnya ialah pertemuan para menteri keuangan dengan gubernur bank sentral. Mereka melahirkan dokumen berisi 14 paragraf. Dua paragraf pertama mencerminkan dinamika politik global dengan berbagai pro dan kontra di antara para anggota G20. Akan tetapi, 12 paragraf sisanya menunjukkan komitmen kepada pemenuhan target kerja. Pertemuan ini turut menghasilkan dana perantara keuangan sebagai persiapan risiko pandemi masa depan (financial intermediary fund) sebesar 1,3 miliar dollar Amerika Serikat.
Triansyah menambahkan, kunci dari kinerja G20 adalah di sektor-sektor turunannya. Y20 di bidang anak-anak muda dan W20 untuk pemberdayaan perempuan, misalnya, telah menghasilkan berbagai kesepakatan yang dipraktikkan. Kerja sama para pelaku digital anggota G20 dengan berbagai negara ataupun organisasi mitra telah berlangsung lama.
”Kita menjahit semua agar komprehensif dan kohesif. Tapi, inti dari G20 adalah di praktik-praktik yang di level masyarakat ini,” tuturnya.
Terkait dengan mengundang Ukraina ke KTT G20, Retno mengatakan, Indonesia membuka ruang dialog sebesar-besarnya. Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia bulan lalu berlangsung lancar karena ia diterima dengan hangat oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Jokowi adalah presiden Asia dan negara berkembang pertama yang datang ke kedua negara setelah konflik pecah.
Ia menerangkan, hal ini karena investasi yang panjang dalam politik luar negeri Indonesia sejak kemerdekaan di tahun 1945. Indonesia selalu menempatkan diri sebagai pemain global, tetapi tidak pernah memihak blok-blok tertentu ataupun memaksa negara lain mengikuti haluan kita. Ini membuat Indonesia cukup dipercaya dan diterima.
Jalan menuju perundingan damai memang masih terjal. Jokowi menyampaikan bahwa ia memahami persoalan kedua belah pihak. Meskipun begitu, Indonesia akan terus mengajak mereka menyegerakan duduk bersama. Pesan perdamaian ini yang melandaskan undangan bagi Ukraina ke KTT G20 dan keputusan untuk tidak mendepak Rusia.
”Hal penting lainnya ialah menyegerakan keluarnya gandum dan pupuk dari Ukraina maupun Rusia karena ini mengancam ketahanan pangan dunia,” kata Retno.
Perserikatan Bangsa-Bangsa menganalisis, negara-negara di Afrika dan Timur Tengah menghadapi krisis pangan karena kelangkaan gandum yang menjadi makanan pokok. Apabila ditambah kelangkaan pupuk, pada 2023 akan ada penurunan panen beras yang berpengaruh langsung terhadap dua miliar penduduk Bumi. Ini merupakan bencana hebat mengingat banyak sekali negara yang sudah terancam gagal panen akibat krisis iklim.