Dipaksa Menipu, Dijual jika Tak Mampu
Sudah ditipu kemudian diperdagangkan seperti komoditas. Simak kisah beberapa korban perdagangan manusia di Kamboja.
Setiap individu menginginkan penghidupan yang layak. Akan tetapi, kebutuhan menafkahi keluarga ini dipakai oleh sindikat perdanganan orang untuk menjebak korban yang kemudian dijadikan pekerja paksa. Selain tidak menerima upah sesuai yang dijanjikan, mereka menjalani jam kerja yang tidak sesuai dengan aturan ketenagakerjaan, dan bahkan ada yang mengalami penganiayaan.
Pada hari Selasa (2/8/2022), Kompas berkesempatan bertemu sejumlah warga negara Indonesia (WNI) korban tindak pidana perdagangan orang di Phnom Penh, Kamboja. Ketika pertama bertemu, jumlah mereka yang kasusnya tengah diproses oleh Kementerian Luar Negeri ada 70 orang. Dalam pertemuan berikutnya, jumlah korban bertambah menjadi 100 dan per hari Senin (8/8/2022) ada 232 orang. Berikut sekelumit kisah mereka dengan seluruh nama disamarkan demi menjamin keselamatan para korban.
Bagi Hengki dari Kepulauan Riau, iklan lowongan pekerjaan di Facebook mengenai posisi sebagai operator layanan konsumen untuk sebuah perusahaan e-dagang di Kamboja itu sangat menarik. Gaji yang ditawarkan 1.000 dollar Amerika Serikat atau Rp 14,8 juta per bulan. Bahkan, iklan itu tidak mengatakan perlu ijazah atau pengalaman kerja di sektor teknologi informatika dan komunikasi untuk melamar.
Hengki adalah tulang punggung keluarga karena menanggung orangtua yang memasuki usia lanjut dan adik-adik. Di Kepri, ia bekerja serabutan. Pernah menjadi massa bayaran untuk politikus, penonton bayaran untuk acara televisi, dan kasir di toko kelontong. Bahkan, dengan banyaknya pekerjaan yang ia jalani sekaligus, jarang pendapatannya bisa mencapai upah minimum rata-rata di Kepri.
“Saya enggak pernah kuliah, tapi hobi utak-atik hape, laptop. Jadi kupikir bisalah melamar lowongan kerja di Kamboja ini. Enggak ada syarat ijazah juga,” katanya.
Baca juga: Tertipu, Pekerja Migran Indonesia di Kamboja Minta Dipulangkan
Menurut dia, informasi lowongan kerja itu ia peroleh dari temannya. Mereka melamar bersama-sama. Keduanya bahkan tidak tahu persis lokasi Kamboja. “Pokoknya di atas Singapura,” demikian jawaban yang mereka terima dari yang orang mengaku sebagai staf sumber daya manusia (SDM) perusahaan e-dagang di Kamboja itu.
Lamaran mereka diterima. Tidak hanya itu, Hengki dalam tiga hari diurus pembuatan paspor dan pembelian tiket pesawat ke Kamboja melalui Singapura. Untuk ke Singapura, Hengki diberi karcis kapal feri. Dia dipesankan oleh staf SDM itu jika ditanya oleh imigrasi tentang tujuan ke Singapura, harus menjawab jalan-jalan selama beberapa hari.
“Aku tak pernah kerja kantoran. Jadinya kupikir memang begitu caranya perusahaan membiayai karyawan supaya datang. Toh waktu chat dengan si admin ini dia kirim foto-foto yang katanya kontrak kerjaku di Kamboja nanti,” tutur Hengki.
Dari Singapura, mereka terbang menuju Phnom Penh. Hengki mengatakan total ada empat orang yang bepergian, termasuk dirinya. Begitu mendarat di Phnom Penh, ada petugas imigrasi yang langsung membawa mereka keluar tanpa melalui konter pemeriksaan paspor. Hengki dan kawan-kawan langsung dibawa naik mobil selama empat jam ke kota yang kemudian mereka ketahui bernama Sihanoukville.
Sihanoukville terletak di pinggir Teluk Thailand, sebuah perairan yang merupakan bagian dari Laut China Selatan. Kota ini berpasir putih dan dipenuhi dengan hotel serta kasino. Terdapat pula pembangunan gedung-gedung perkantoran berkat investasi asing yang masuk.
Hengki dibawa ke dalam sebuah kompleks dikelilingi pagar tinggi. Di dalam kompleks itu ada beberapa gedung bertingkat. Ia dan kawan-kawan dibawa ke dalam salah satu gedung dan naik ke lantai atas. Di sana, agen yang menyambut mereka di Phnom Penh mengatakan bahwa gedung itu bukan perusahaan e-dagang ataupun perjudian daring. Gedung itu adalah tempat operasi sindikat penipuan daring dan kini mereka harus bekerja di sana.
Baca juga: Puluhan Pekerja Migran Indonesia Korban Penipuan di Kamboja Dievakuasi
Hanya ada satu pintu keluar menuju lantai dasar dan itu dijaga oleh satpam bersenjatakan pentungan dan alat penyetrum. Selama tiga bulan lebih, Hengki berada di gedung itu dan tidak boleh keluar. Gaji yang diberi jauh dari janji 1.000 dollar AS, yaitu 600 dollar AS. Itu pun dengan berbagai persyaratan yang antara lain apabila pekerja sakit, ia harus membayar denda 200 dollar per hari. Ada pula denda jika tidak memenuhi target.
Jika Hengki ingin keluar dari perusahaan, ia harus membayar ganti rugi 3.000 dollar. Jumlah ini bisa ia peroleh apabila bekerja selama lima bulan dalam kondisi ideal. Akan tetapi kenyataannya tidak begitu dengan banyaknya potongan. Paling apes ialah jika pekerja dijual sebelum menerima gaji.
“Dijual itu artinya pekerja dipindah ke perusahaan lain tanpa dibayar gajinya oleh perusahaan lama. Bos lama menjual pekerja seharga 3.000 dollar. Duitnya untuk diri sendiri. Di perusahaan baru, kalau pekerja mau keluar, dia harus bayar denda lebih besar dari di tempat lama. Bisa sampai 5.000 dollar, ada yang lebih pula,” kata Hengki.
Surya, teman sekantor Hengki, mengalami kasus pemotongan upah. Ia sempat sakit sehingga tidak mampu bekerja. Akhirnya, terpaksa gaji bulanannya dipotong 200 dollar. Keesokan harinya Surya memaksakan diri bekerja karena takut ada pemotongan lebih lanjut sementara ia harus membiayai keluarga di kampung halaman.
Baca juga: Jerat Perdagangan Orang di Media Sosial
Penipuan yang mereka lakukan ialah membuat akun bodong dengan identitas perempuan cantik. Target mereka adalah kalangan cowok gabut, yaitu laki-laki yang ingin mengajak kenalan melalui media sosial. Setelah dekat, target diajak untuk mengikuti berbagai skema cepat mendapat uang, padahal sebenarnya itu adalah berbagai jebakan agar target mentransfer uang.
Hengki memasang foto dan video seorang perempuan cantik yang ia temukan di media sosial. Menurut dia, ada ratusan laki-laki yang mengajaknya berkenalan. Bahkan, ada yang sudah menikah dan mengajak perempuan fiktif ini untuk menjadi selingkuhannya.
“Aku jijik pada diriku. Sudah ditipu, kerjanya menipu orang pula, setiap hari ada yang memaki-maki aku di medsos karena kena tipu. Tapi, ada pula yang mengajak nikah. Paling tidak tahan kalau ada cowok yang kirim foto mesum dirinya,” keluh Hengki.
Divisi tempat Hengki bekerja yang beranggotakan 60 orang kemudian sepakat melapor ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Phnom Penh secara diam-diam. Ada satu orang yang dipercaya mengirim pesan dan berhubungan dengan petugas di KBRI. Mereka berpendapat, kinerja KBRI lambat karena butuh waktu sebulan sampai mereka dievakuasi. Itu pun setelah mereka mengunggah foto dan video keadaan mereka ke media sosial hingga akhirnya viral.
Ketika bertemu dengan mereka di KBRI, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjelaskan bahwa untuk kejahatan internasional memang membutuhkan waktu berkoordinasi dengan kepolisian setempat. KBRI bukan seperti petugas polisi di film-film yang bisa datang dan mendobrak markas penjahat.
“Semua harus melalui prosedur. Pastinya, setelah bertemu dengan Menteri Dalam Negeri Kamboja Sar Kheng dan Kepala Polisi Nasional Neth Savoeun, penegakan hukum harus dilakukan di sini dan di Indonesia,” ucapnya.
Dijual teman
Nasib sial juga bisa menimpa WNI yang telah belasan tahun bekerja sah di Kamboja. Hal ini terjadi kepada Vincent. Ia sebelumnya bekerja di perusahaan perjudian daring, sebuah sektor bisnis yang legal di negara ini. Vincent memiliki berkas lengkap, termasuk visa kerja yang beberapa kali ia perpanjang.
Belasan tahun berpengalaman dan berpindah-pindah dari satu perusahaan judi ke lainnya tidak membuat gaji Vincent naik drastis. Setiap kontrak kerja habis dan melamar ke perusahaan baru, gajinya hanya naik 50-100 dollar AS. Di perusahaan terakhir, ia menerima gaji 800 dollar meskipun berpengalaman kerja di atas 12 tahun.
Ketika kontrak kerjanya habis pada Januari 2022, Vincent bermaksud mencari perusahaan judi daring lain. Seorang teman mengatakan, di kota Bavet yang berbatasan dengan Vietnam ada kasino baru dibuka dan mereka mencari teknisi komputer. Gajinya mencapai 1.500 dollar AS. Vincent percaya karena ia yakin dengan kemampuan serta pengalaman kerjanya. Terlebih, tawaran ini disampaikan oleh teman yang juga sudah lama berada di Kamboja.
“Dia bawa saya ke Bavet, ke perkantoran di belakang sebuah kasino. Waktu udah di lantai enam, dia bilang ‘kerjaan lu sekarang nipu orang di Indonesia’. Saya kaget dan bertanya, ‘maksudnya apa nih? Gue enggak mau!’ Tapi waktu balik badan, sekuriti udah menghadang saya,” kata Vincent yang tidak pernah meninggalkan lantai enam gedung itu hingga akhir Juli 2022.
Sama seperti kelompok di Sihanoukville, divisi tempat Vincent bekerja juga mengontak KBRI. Akan tetapi, lamanya proses tanggapan membuat sebagian anggota divisi keburu dijual oleh bos. Mereka yang tersisa, termasuk Vincent, diangkut memakai bus ke kota lain juga untuk dijual.
Bus berhenti di tempat pengisian bensin karena pengemudinya hendak ke kamar kecil. Di situ, Vincent dan beberapa orang nekat kabur. Mereka mencegat taksi dan patungan ke Phnom Penh. Mereka menunggu selama sepekan lebih agar KBRI mau memproses aduan. Ketika itu, Retno Marsudi datang dan akhirnya mereka bisa menjelaskan perkara kepada menteri luar negeri.
Saat ditanya mengenai kemungkinan korban menjadi pelaku penjualan manusia, Vincent memberi konteks yang lebih kompleks. “Saya marah, tapi ngerti di beberapa kasus ada individu yang harus menjual orang lain demi menebus diri sendiri supaya keluar dari perusahaan. Ada juga yang tega dan sengaja jadi perekrut. Tapi, saya percaya selalu ada pembalasan dari Yang Di Atas,” ujarnya.