Selat Taiwan menjadi tempat paling berbahaya di Bumi lantaran menjadi arena pertarungan dua kekuatan raksasa dunia, AS dan China. Dengan perbedaan yang ada, kedua negara memiliki nilai yang sama: mewujudkan kemakmuran.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·2 menit baca
Majalah The Economist menyodorkan argumentasi saat menyebut Taiwan sebagai ”tempat paling berbahaya di Bumi” dalam laporan utama edisi 1 Maret 2021. Alasan besarnya, wilayah itu menjadi arena rivalitas dua kekuatan raksasa dunia, AS dan China, dengan benturan yang makin keras. Bahaya itu bisa meletus kapan saja dan baru saja tersaji di depan mata, sepekan terakhir.
Kunjungan kontroversial Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taiwan, 2-3 Agustus 2022, memperlihatkan betapa rentan dan rapuh situasi di Selat Taiwan. Merespons kunjungan itu, selama empat hari, militer China menggelar latihan besar-besaran, termasuk dengan menembakkan rudal balistik, beberapa di antaranya dilaporkan meluncur di atas Taiwan, beberapa jatuh di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Jepang.
Banyak kalangan, termasuk di AS sendiri, menyesalkan kunjungan Pelosi ke Taiwan. Editorial dua koran AS terkemuka, The New York Times (NYT) dan The Washington Post, menyebut kunjungan itu ”provokatif”, ”tidak tepat waktu”, dan ”tidak bijaksana”. Stabilitas dan kemakmuran dunia, salah satu buah dari hubungan AS-China—terlepas banyak kekurangan—terlalu berharga untuk dikorbankan.
Beijing mengklaim Taiwan sebagai bagian dari teritorialnya. Wilayah pulau itu memerintah secara mandiri sejak 1949 setelah pemimpin komunis Mao Zedong menguasai Beijing dengan mengalahkan pemimpin Kuomintang (KMT) Chiang Kai-shek yang menyingkir dan mendirikan Pemerintah Taiwan.
Penyatuan kembali Taiwan ke China daratan menjadi impian lama pemimpin China dari generasi ke generasi. Presiden China Xi Jinping memasukkan unifikasi Taiwan dalam agenda national rejuvenation-nya. Namun, tegas Menlu Taiwan Joseph Wu, ”Kami ingin mempertahankan status quo, di mana Taiwan tidak punya yurisdiksi atas China daratan dan Republik Rakyat China (CCP) tidak punya yurisdiksi atas Taiwan. Itu realitas.”
Melihat kecenderungan yang ada, ke depan ketegangan itu bisa makin sering terjadi. Kepercayaan di pihak AS dan China terhadap satu sama lain terus tergerus. Ada persepsi di Washington, China semakin tak sabar untuk segera menyatukan Taiwan dengan China daratan, termasuk dengan kekuatan militer. Melihat pengembangan militer China dalam 25 tahun terakhir, (mantan) Kepala Komando Indo-Pasifik AS Laksamana Phil Davidson di depan Kongres menyebut kemungkinan China menyerang Taiwan tahun 2027.
Cara pandang AS terkait Taiwan, yang kerap diistilahkan dengan ”ambiguitas strategis”, perlahan-lahan juga mulai ditanggalkan. Selama empat dekade lebih, cara pandang itu ikut berkontribusi pada perdamaian AS-China di Taiwan. AS tetap mengakui kebijakan ”Satu China”, tetapi secara terang-terangan juga menjalin hubungan spesial dengan Taiwan, termasuk memasok persenjataan ke wilayah berjarak 160 kilometer dari pantai China itu.
Namun, Beijing memandang AS semakin menjauh dari prinsip ”Satu China” yang ditancapkan saat kedua negara menormalisasi hubungan. Ditandai kunjungan bersejarah Presiden AS Richard Nixon ke China tahun 1972, normalisasi itu diformalkan melalui hubungan diplomatik tahun 1979. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir tampak perubahan-perubahan dalam diplomasi AS terkait Taiwan.
Pada pemerintahan Donald Trump, Menlu Mike Pompeo memberi ucapan selamat atas pelantikan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen tahun 2020. Pemerintahan Trump, berlanjut hingga pada masa Joe Biden, kerap menjamu diplomat Taiwan di kantor Departemen Luar Negeri atau kantor-kantor pemerintahan federal. Saat Biden dilantik jadi presiden, AS mengundang perwakilan Taiwan di AS. Menlu Antony Blinken juga pernah menyebut Taiwan sebagai ”negara”. (David Sacks, Foreign Affairs, 29 Juli 2022)
”Antara kata dan tindakan AS tidak klop,” cibir Hua Chunying, jubir Kemenlu China. ”Kami ingin mengeluarkan peringatan kepada AS: Jangan bertindak gegabah, jangan buat krisis lebih besar,” kata Wang Yi, Menlu China.
Saran menarik dilontarkan editorial NYT. Diakui ada beberapa perbedaan antara AS dan China. Namun, memperlakukan China sebagai kekuatan musuh adalah penyederhanaan masalah yang kontraproduktif. Mereka bisa tidak sepakat tentang demokrasi atau HAM, tetapi mereka punya beberapa nilai yang sama, nilai yang terpenting adalah mewujudkan kemakmuran.