Liputan keras menjadi karakteristik liputan jurnalistik di kawasan Timur Tengah. Banyak pengalaman liputan lapangan yang sangat tidak mudah dan membutuhkan pengorbanan luar biasa, bahkan kadang mempertaruhkan nyawa.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·5 menit baca
ARSIP BERITA KOMPAS
Tangkapan layar tentang laporan dari Timur Tengah.
Secara geografis dan geopolitik, kawasan Timur Tengah meliputi Suriah, Lebanon, Jordania, Israel, wilayah otoritas Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat, Mesir, Turki, Iran, Irak, Arab Teluk (Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Oman), dan Yaman. Dalam literatur studi hubungan internasional, kawasan Timur Tengah juga disebut dengan Timur Dekat (Near East) atau Asia Barat (Western Asia).
Namun, lantaran persamaan bahasa, etnik, agama, dan sejarah, kawasan Afrika Utara (Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, dan Mauritania) dan sebagian wilayah Afrika Timur (Sudan, Somalia, dan Djibouti), secara politik sering dimasukkan atau minimal dikaitkan dengan kawasan Timur Tengah. Kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, dan sebagian Afrika Timur disatukan dengan etnik, yakni bangsa Arab, dan bahasa, yakni bahasa Arab, serta agama, yakni mayoritas Islam.
Lantaran adanya kesatuan etnik, bahasa, dan agama, tiga kawasan tersebut memiliki latar belakang sejarah yang sama, yaitu sejarah Arab dengan segala pasang surutnya sejak abad ke-7 hingga abad ke-21 saat ini. Negara-negara yang berada di tiga kawasan tersebut kini tergabung dalam Liga Arab yang beranggotakan 22 negara Arab dengan markas besarnya di Kairo, Mesir.
Karena itu, peristiwa apa pun di Timur Tengah membawa dampak atau pengaruh langsung ke kawasan Afrika Utara dan sebagian wilayah Afrika Timur, serta sebaliknya.
KOMPAS/MUSTHAFA ABD RAHMAN
Kehancuran bangunan di Lebanon pada 17 Juni 2006.
Di luar dunia Arab, ada tiga negara besar yang masuk kawasan Timur Tengah, yaitu Israel, Turki, dan Iran. Bahkan, secara geopolitik, kadang Afghanistan juga sering dimasukkan dalam kawasan Timur Tengah meskipun Afghanistan secara geografis ada yang menyebut berada di Asia Tengah.
Tulisan terakhir
Rasa syukur yang tak terhingga, saya mendapat kepercayaan menangani isu-isu Timur Tengah dan ditempatkan di Kairo selama 31 tahun bertugas sebagai wartawan untuk harian Kompas. Kota Kairo hanya sebagai pos penempatan, tetapi tugas peliputan peristiwa meliputi seluruh kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.
Tulisan hari ini adalah tulisan terakhir saya sebagai karyawan Kompas setelah sekitar 31 tahun, atau persisnya sejak awal tahun 1991, bekerja di media ini. Ruang lingkup liputan yang luas di kawasan Timur Tengah merupakan tantangan dan sekaligus anugerah karena menjadi pendorong untuk mempelajari banyak bangsa yang mendiami wilayah luas tersebut dan dalam catatan sejarah terkenal dengan keunggulannya.
Ada bangsa Arab yang pernah menjadi bangsa termaju pada era abad ke-7 hingga abad ke-14. Ada bangsa Turki yang juga pernah menjadi bangsa termaju pada era dinasti Ottoman tahun 1299–1453. Ada bangsa Persia yang memiliki sejarah sangat panjang sejak 3200 sebelum Masehi dan eksis sampai saat ini. Ada pula bangsa Yahudi yang memiliki sejarah panjang dan kini menjadi salah satu bangsa termaju di muka bumi.
KOMPAS/MUSTHAFA ABD RAHMAN
Alun-alun Tahrir, Mesir, terekam pada 21 November 2011.
Bertugas di kawasan Timur Tengah tentu merupakan tantangan tersendiri karena kawasan tersebut dikenal kawasan paling ”panas” dan penuh gejolak tanpa henti. Konflik Timur Tengah dalam sejarah modern bermula dari lahirnya negara Israel tahun 1948 yang meletuskan perang Arab-Israel pertama tahun 1948, dan kemudian perang Arab-Israel tahun 1967 dan 1973.
Karena itu, liputan keras menjadi karakteristik liputan jurnalistik di kawasan Timur Tengah. Liputan perang dan krisis politik merupakan liputan utama dan sekaligus wadah penempaan dalam menimba pengalaman seorang wartawan. Mengingat liputan di wilayah yang sangat luas, tentu harus berkeliling ke satu negara dan negara lain di kawasan ini.
Hampir semua negara Arab yang berjumlah 22 negara telah dikunjungi untuk liputan jurnalistik. Pernah pula meliput ke area di luar wilayah Timur Tengah, seperti saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Senegal, Afrika Barat, pada tahun 2008.
Banyak pengalaman liputan lapangan yang sangat tidak mudah dan membutuhkan pengorbanan luar biasa, bahkan kadang mempertaruhkan nyawa. Sejauh ingatan, pertama kali tugas liputan jurnalistik di luar Mesir adalah ke wilayah Palestina (Tepi Barat dan Jalur Gaza) pada tahun 1993 atau persisnya pasca-Kesepakatan Oslo antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada tahun 1993.
KOMPAS/MUSTHAFA ABD RAHMAN
Sejumlah truk yang membawa bantuan kemanusiaan bagi warga Palestina di Jalur Gaza menunggu di dekat pintu gerbang Rafah, Mesir, Senin (12/1/2009), sebelum diizinkan masuk ke Jalur Gaza. Muatan truk ini nantinya harus dipindahkan ke truk Israel sebelum dibawa ke wilayah Jalur Gaza.
Saat itu saya baru sekitar dua tahun bergabung dengan Kompas dan masih berstatus kontributor. Penunjukan tugas itu sesungguhnya memiliki makna tersendiri, yakni bahwa isu Palestina dan konflik Arab-Israel adalah isu hegemonik di Timur Tengah.
Siapa pun wartawan yang bertugas di Timur Tengah harus menguasai secara detail isu tersebut. Isu Palestina pun menjadi garapan sehari-hari penulis hingga melahirkan buku bertajuk Jejak Juang Palestina, dari Oslo hingga Intifada Al Aqsa pada tahun 2002.
Setelah penugasan ke wilayah Palestina tersebut, kemudian beruntun datang berbagai penugasan jurnalistik di seantero wilayah Timur Tengah hingga saat ini dengan berbagai macam suka dukanya. Misalnya, saat masuk Jalur Gaza pada tahun 2012 kala meletus perang Israel dan Hamas.
Saat itu belum tercapai gencatan senjata antara Israel dan Hamas sehingga taksi yang saya tumpangi dipantau helikopter tempur Apache milik Israel yang terbang rendah di atas taksi tersebut. Rasanya sudah pasrah jika helikopter tempur Apache Israel menembakkan rudalnya ke arah taksi.
Ada lagi pengalaman tak terlupakan ketika nekat masuk Suriah dari Turki secara ilegal pada tahun 2012. Ketika itu, kami harus merayap sejauh beberapa ratus meter untuk bisa melewati bawah pagar berduri di perbatasan Turki dan Suriah dengan rasa pasrah jika kepergok pasukan perbatasan Turki. Beruntung, kami lolos tanpa terpantau oleh mereka.
ARSIP BERITA KOMPAS
Tangkapan layar tentang laporan dari Timur Tengah.
Tentu banyak pengalaman lain yang tidak kalah serunya, seperti ketika masuk kota Tripoli di Libya dari Tunisia dan masuk kota Benghazi di Libya dari Mesir pada masa Musim Semi Arab 2011. Ada pula liku-liku pengalaman masuk Afghanistan pada era kekuasaan Taliban pertama tahun 1997 dan setelah Taliban tumbang pada tahun 2001. Pengalaman itu tertuang dalam buku Afghanistan di Tengah Perubahan tahun 2002.
Akhirnya tidak ada kalimat yang bisa saya ucapkan, kecuali rangkaian kalimat harapan: semoga Kompas semakin berjaya di tangan generasi barunya.