Taiwan Redam Spekulasi Kematian Petinggi Proyek Senjatanya
Wakil Presiden National Chung-Shan Institute of Science & Technology Taiwan Ouyang Li-hsing meninggal dalam kamar hotel di Hengchun, Taiwan, Sabtu (6/8/2022) pagi. Ini terjadi saat China-Taiwan bersitegang,
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
TAIPEI, MINGGU — Taiwan menegaskan, Ouyang Li-hsing meninggal karena sebab alami. Wakil Presiden National Chung-Shan Institute of Science & Technology, lembaga yang bertanggung jawab mengembangkan senjata buatan dalam negeri Taiwan, itu meninggal dalam kamar hotel di Hengchun pada Sabtu (6/8/2022) pagi. Ia meninggal kala Taiwan sedang siaga tinggi di tengah latihan perang China di sekitar Taiwan.
Ouyang ditemukan tidak bernapas oleh ajudannya. Wakil Kepala Polsek Hengchun, Wang Chin-tsung, menyebut tidak ada hal mencurigakan di hotel tempat Ouyang menginap.
Polisi, sebagaimana dilaporkan Taipei Times dan Central News Asia, telah memeriksa kamera pemantau (CCTV) dan kondisi sekitar hotel. Penyidik menyimpulkan tidak ada orang masuk secara paksa ke kamar Ouyang. Di tubuh Ouyang juga tidak ditemukan luka sekecil apa pun.
Ouyang dinyatakan meninggal karena serangan jantung. Riwayat kesehatannya menunjukkan ia pernah dioperasi jantung. Sebelum meninggal, ia dilaporkan menghadiri pesta panen di Kabupaten Pingtung. Hengchun merupakan salah satu daerah yang dibawahkan Pingtung, kabupaten paling selatan Taiwan.
Sebelum ada pernyataan resmi, beredar spekulasi penyebab kematian mantan perwira militer Taiwan itu. Ia adalah pemimpin faktual National Chung-Shan Institute of Science & Technology (NCSIST). Setiap menteri pertahanan Taiwan otomatis menjadi Presiden NCSIST. Adapun operasional harian dikendalikan wakil presiden yang dijabat Ouyang sampai kemarin.
Doktor hidrodinamika lulusan University of Washington itu bertanggung jawab mengembangkan senjata buatan Taiwan. Proyek yang dipimpinnya termasuk rudal buatan domestik. Produk NCSIST, antara lain, artileri pertahanan udara Tien Kung, rudal Tien Chien dan Hsiung Feng.
Berbeda
Kematian Ouyang mengejutkan karena Taiwan sedang siaga tinggi di tengah latihan perang China. Berbeda dengan 1995, kali China lebih leluasa unjuk kekuatan di sekitar Taiwan karena Amerika Serikat bereaksi jauh lebih lunak.
Dulu, AS segera mengerahkan dua gugus tempur laut ke Selat Taiwan. Gugus tempur itu berpusat pada dua kapal induk serta melibatkan banyak kapal perang dan jet tempur. Pengerahan itu menyikapi latihan perang China yang melibatkan, antara lain, penembakan enam rudal. Pamer kekuatan terbesar oleh AS sejak Perang Vietnam berakhir itu membuat China menarik pasukannya.
Kini, kapal induk USS Ronald Reagan malah terpantau bergerak menjauhi Taiwan. Pada 30 Juli 2022, kapal itu berada di tenggara Hengchun. Sementara pada 5 Agustus 2022, kapal itu malah terpantau berada di tenggara Jepang.
Washington juga menjaga dua kapal pendarat besarnya, USS America dan USS Tripoli, jauh dari lokasi latihan perang China. USS America di Jepang, USS Tripoli di dekat USS Ronald Reagan. Total 40 jet tempur F-35B dan empat helikopter angkut Opsrey bisa diangkut dua kapal pendarat besar itu.
Padahal, China sudah menembakkan lebih dari 20 rudal dan roket. Sebagian melintasi Taiwan, sebagian lagi ke perairan yang diklaim sebagai zona ekonomi Eksklusif Jepang.
China juga puluhan kali mengerahkan pesawat dan kapal perangnya melewati garis tengah Selat Taiwan. Garis imajiner itu ditetapkan AS 2,5 dekade lalu dan dianggap sebagai batas terjauh kapal perang dan pesawat militer China boleh mendekati Taiwan.
Beijing melangkah lebih jauh dengan menghentikan semua saluran komunikasi tingkat tinggi dengan Washington. Semua kala komunikasi antara panglima China dan AS dihentikan Beijing sejak Jumat. China juga menghentikan dialog soal perubahan iklim.
Tetap Terbuka
Meski demikian, sejumlah pakar China meyakini tetap ada saluran komunikasi darurat di antara militer kedua negara. ”Di tingkat perwira lapangan dan teknis, masih ada saluran darurat,” kata peneliti Center for International Security and Strategy pada Tsinghua University, Zhou Bo, kepada Global Times.
Direktur International Center for the Law of Military Operations Tian Shichen juga berpendapat senada. ”Penutupan semua saluran komunikasi tinggi tidak berarti sama sekali tidak ada mekanisme pembicaraan di antara militer kedua negara,” ujarnya kepada Global Times.
Tian mengatakan, penjagaan itu bukti Beijing tetap berusaha mencegah salah paham di antara dua negara pemilik senjata nuklir itu. Di sisi lain, penutupan saluran komunikasi tingkat tinggi menunjukkan Beijing tidak mau diremehkan oleh Washington.
China merasa diremehkan setelah Ketua DPR AS Nancy Pelosi bertandang ke Taiwan. Bagi Beijing, lawatan itu menunjukkan kemunafikan Washington. Sejak 1979, AS telah mengakui Prinsip Satu China dengan Republik Rakyat China sebagai satu-satunya pemerintahan China yang diakui.
Di sisi lain, AS terus mempertahankan hubungan dan dukungan ke Taiwan. Dalam 10 tahun terakhir, Washington menjual senjata lebih dari 10 miliar dollar AS ke Taipei. (AFP/REUTERS)