Prinsip tak ikut campur kadang membuat ASEAN terkesan tidak tegas. Kini ASEAN membuktikan ketegasan saat menangani isu Myanmar dan menghadapi gangguan keamanan di sekitar kawasan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR, DARI PHNOM PENH, KAMBOJA
·5 menit baca
AP PHOTO/HENG SINITH
Para menteri luar negeri negara-negara ASEAN dan negara mitra dari Jepang, Korea Selatan, dan China, berpose untuk foto grup saat Pertemuan Ke-55 Menteri Luar Negeri ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, 4 Agustus 2022.
Pertemuan para menteri luar negeri Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) atau AMM di Phnom Penh, Kamboja, pada 3-5 Agustus 2022, melahirkan komunike bersama yang bernada kuat. Ini menjadi bukti ketegasan ASEAN menghadapi sejumlah permasalahan, baik di tataran kawasan maupun global.
ASEAN sebagai sebuah lembaga memiliki prinsip untuk tidak berpihak dan juga tidak ikut campur (non-interference). Terkadang, prinsip ini membuat ASEAN terkesan tidak tegas. Terlebih jika dibandingkan dengan pendekatan frontal dan berpihak seperti yang dipakai oleh berbagai aliansi di negara-negara Barat ataupun di kancah persaingan hegemoni antara Barat dan Timur.
Namun, di sisi lain, prinsip tak ikut campur ini pula yang membuat asosiasi beranggotakan 10 negara ini netral. Dalam artian, meskipun tidak memihak, bisa fokus kepada akar suatu permasalahan dan mencari solusinya bersama.
AFP PHOTO / RUSSIAN FOREIGN MINISTRY PRESS SERVICE
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen saat bertemu Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov di Phnom Penh, Kamboja, 4 Agustus 2022.
Sifat ini diuji ketika terjadi kudeta di Myanmar pada 1 Februari 2021. Junta militer Myanmar menggulingkan pemerintah yang telah dipilih melalui pemilihan umum pada November 2020. Ribuan orang yang menyebut diri prodemokrasi ditangkap dan dipenjara. Bahkan, empat pegiat politik akhirnya dieksekusi bulan lalu.
Peristiwa tersebut menjadi titik tolak bagi ASEAN menyadari bahwa organisasi ini harus bertindak tegas. Dunia memang tengah mengalami semakin meruncingnya persaingan politik seperti antara China dan Amerika Serikat serta perang antara Rusia dan Ukraina.
Selama ini, jika ASEAN tidak bisa tegas dalam menangani kasus internal, seperti di Myanmar, sukar bagi dunia untuk melihat ketegasan ASEAN pada tataran yang lebih tinggi.
Setelah kudeta Myanmar terjadi, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen yang memegang keketuaan ASEAN 2022 berkunjung ke Naypyidaw, ibu kota Myanmar. Hal ini membuat geger negara-negara ASEAN karena kunjungan itu bisa disalahartikan bahwa ASEAN mengakui junta sebagai pemerintah sah Myanmar.
Untungnya, Hun Sen tetap datang dengan membawa Lima Poin Konsensus ASEAN dan membujuk Jenderal Senior Min Aung Hlaing untuk menerapkannya. Lima Poin Konsensus disepakati di Jakarta pada April 2021.
Suasana Pertemuan Ke-12 Menteri Luar Negeri Asia Timur di Phnom Penh, Kamboja, 5 Agustus 2022.
Kedekatan kedua tokoh politik itu rupanya tidak cukup ampuh. Jenderal Min hanya berjanji di mulut dan Lima Poin Konsensus tidak diterapkan. Mereka malah membuat peta jalan sendiri dan kekerasan tak kunjung berhenti. Surat Hun Sen meminta penangguhan hukuman mati atas empat tahanan politik juga tidak diacuhkan.
”Kami sudah berusaha, dan harus saya tegaskan bahwa ASEAN tidak meninggalkan Myanmar. Justru Myanmar yang memilih tidak memedulikan kita,” kata Hun Sen dalam pidatonya di AMM.
Tampaknya, pernyataan Hun Sen ini membuka jalan bagi para menteri luar negeri untuk segera merumuskan langkah tegas menghadapi berbagai tantangan situasi di kawasan dan dunia. Komunike bersama sepanjang 119 pasal segera diterbitkan.
Di dalamnya disebutkan, Myanmar diberi tenggat hingga November 2022 ketika diselenggarakan pertemuan para kepala negara ASEAN. Apabila dalam tiga bulan ini Lima Poin Konsensus tidak juga dijalankan, para kepala negara, kecuali dari Myanmar, bisa berembuk untuk memutuskan langkah berikutnya.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memegang suvenir boneka kanguru saat pertemuan Menlu ASEAN-Australia, bagian dari Pertemuan Ke-55 Menteri Luar Negeri ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, 4 Agustus 2022.
Tampaknya, pernyataan Hun Sen ini membuka jalan bagi para menteri luar negeri untuk segera merumuskan langkah tegas menghadapi berbagai tantangan situasi di kawasan dan dunia. Komunike bersama sepanjang 119 pasal segera diterbitkan.
Di dalamnya, dikatakan bahwa Myanmar diberi tenggat hingga November 2020 ketika pertemuan para kepala negara ASEAN dihelat. Apabila dalam tiga bulan ini Lima Poin Konsensus tidak juga dijalankan, para kepala negara, kecuali dari Myanmar, bisa berembuk untuk memutuskan langkah berikutnya.
Saat ini, ada beberapa anggota ASEAN yang menginginkan langkah tegas dari lembaga. Malaysia, misalnya, terang-terang mengusulkan agar Myanmar didepak dari ASEAN jika tidak juga tunduk kepada aturan.
Dari sisi Indonesia, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjelaskan bahwa bagaimanapun ASEAN adalah satu keluarga. Konflik di antara anggota keluarga pasti ada, tetapi keluarga tidak akan pernah mengusir anggotanya. ASEAN tegas kepada Myanmar tanpa perlu mengisolasi mereka karena rakyat tidak boleh menjadi korban.
Demikian pula dalam pertemuan ASEAN bersama 18 negara mitra, di antaranya Amerika Serikat, China, Rusia, Jepang, Korea Selatan, dan India. ASEAN melalui komunike mengingatkan, segala akar persoalan yang berisiko memicu konflik terbuka sudah ada di kawasan.
Misalnya, sengketa Laut China Selatan, persaingan hegemoni Barat dan Timur, dan pembuatan blok-blok pertahanan. ASEAN mengingatkan para mitra wicara mengenai sentralitas ASEAN. Apabila mereka ingin dipandang sebagai mitra yang dipercaya, buktikan dulu mereka mematuhi prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai saling menghormati kedaulatan negara dan menyelesaikan semua konflik di meja perundingan.
Dalam penyelenggaraan AMM tahun ini sempat muncul beberapa ketegangan. Menteri Luar Negeri China Wang Yi membatalkan semua agenda bilateral dengan Jepang.
Penyebabnya, Jepang sebagai anggota G7 memprotes operasi militer China di Selat Taiwan gara-gara kedatangan Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi ke Taiwan pada 2-3 Agustus. China menuduh AS sengaja bermain api dan menyinggung kedaulatan mereka.
Dalam forum regional ASEAN, semua negara mitra ikut duduk bersama, termasuk Menlu Wang Yi, Menlu AS Antony Blinken, dan Menlu Rusia Sergei Lavrov. Acara itu berlangsung lebih lama dari yang dijadwalkan. Kabarnya, ketiga menlu itu menyampaikan pidato yang merupakan pembenaran dari tindakan setiap negara.
Akan tetapi, ASEAN bukan ASEAN jika tidak bisa menyindir tanpa perlu menyebutkan nama. Komunike itu menyebutkan, segala masalah di kawasan harus diselesaikan di atas meja dan terbuka. Ini tampaknya menyindir China karena dalam menyelesaikan sengketa Laut China Selatan mereka cenderung mendekati langsung negara-negara terkait.
AFP/HECTOR RETAMAL
Helikopter militer China melintasi Pulau Pingtan, titik terdekat China dari Taiwan di Provinsi Fujian, 4 Agustus 2022, saat latihan militer di sekitar Taiwan sebagai respons atas kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taiwan.
ASEAN menekankan kewajiban setiap negara menghormati Piagam PBB mengenai batas geografis kedaulatan suatu negara. Ini jelas mencubit AS, China, dan Rusia sekaligus. Rusia mengenai invasi mereka ke Ukraina, China mengenai sengketa Laut China Selatan, dan AS mengenai hubungan mereka dengan Taiwan walaupun mengaku memercayai prinsip Satu China.
”Bagaimanapun dalam sebuah keluarga besar lebih baik kita keluarkan semua kekesalan dan kita selesaikan bersama-sama di dalam forum. Jangan dilampiaskan di luar forum yang nanti memicu konflik,” kata Retno.