Jubir Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang menyatakan, kerja sama Iran-China legal dan memiliki legitimasi serta sesuai hukum internasional.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·5 menit baca
AS telah berulang kali mengenakan sanksi untuk menghentikan ekspor minyak Iran. AS juga meminta dunia mematuhi sanksi yang dikeluarkannya. Akan tetapi, sanksi AS itu tidak pernah berhasil menghentikan total aliran minyak Iran ke negara-negara lain meski memang berkurang karena banyak negara takut pada AS. Namun, aliran minyak Iran ke China tetap berlangsung.
China selalu menolak sanksi AS terkait Iran. Alasannya, sanksi AS tidak memiliki yurisdiksi hingga ke negara-negara lain. China menginginkan hukum internasional, bukan hukum, peraturan, ataupun sanksi yang dikeluarkan AS. ”Adalah AS yang melanggar norma-norma PBB dengan mengandalkan kekuatannya sendiri,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri China pada 20 Juni 2022.
Berdasarkan hukum internasional, bukanlah tindakan ilegal untuk membeli minyak Iran, demikian disebut di harian The New York Times edisi 3 Agustus 2019. Atas alasan itulah China terus saja mengimpor minyak dari Iran. ”Beijing telah menerima pengapalan minyak Iran sebanyak 2 juta barel dalam sepekan saja,” demikian The Jerusalem Post pada 22 Juni 2022. Hal serupa juga dituliskan Reuters pada tanggal yang sama.
Ekspor terbaru minyak Iran ke China itu melanggar sanksi yang dikenakan Presiden Donald Trump dan berlaku efektif sejak November 2018 hingga sekarang. Tindakan Trump itu membatalkan secara sepihak pencabutan sanksi yang dilakukan Presiden Barack Obama pada 2015 setelah lahirnya Rencana Aksi Komprehensif Bersama atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Ini sebuah langkah bersama oleh China, Perancis, Rusia, Inggris, AS, plus Jerman sekaligus dengan Uni Eropa dan disetujui Iran untuk mencegah pengembangan uranium menjadi senjata nuklir di Iran.
Setelah itu Iran sempat bisa mengekspor minyak 2,5 juta barel per hari sejak 2015. Trump secara mendadak dan sepihak membawa AS keluar dari JCPOA pada April 2018 yang diikuti pengenaan sanksi ke Iran.
China dan Rusia menolak keras sanksi itu karena tidak memberikan insentif apa pun kepada Iran. Ekspor minyak Iran ke China juga berlanjut. ”Jika orang bertanya-tanya bagaimana Iran mengatasi sanksi AS, jawabannya adalah sekutu kuncinya, China. Ini bukan rahasia lagi,” demikian lanjut The Jerusalem Post.
Hal itu diketahui dari pelacakan jalur-jalur kapal. Salah satu pelacakan memperlihatkan Dorena, kapal kargo bermuatan 260.000 ton milik National Iranian Tanker Corp (NITC), menuju lokasi penyimpanan minyak di Zhanjiang, China. Demikian dikatakan perusahaan spesialis pelacakan kapal, Vortexa Analytics, dan oleh US Advocacy Group United Against Nuclear Iran (UANI). Itu kapal kargo keempat sejak Desember 2021 dengan tujuan Zhanjiang.
Pada awal Juni 2022, UANI juga mengatakan, China telah membayar 22 miliar dollar AS ke Iran sejak Presiden Joe Biden berkuasa. Ekspor minyak Iran ke China tidak surut.
Kantor berita Reuters, 2 Maret 2022, menyebutkan bahwa pembelian minyak Iran oleh China sebanyak 700.000 barel per hari pada Januari 2022. Jumlah ini melampaui puncaknya pada 2017 saat sanksi AS dicabut, yakni sebanyak 630.000 barel per hari. Pembelian minyak Iran oleh China sebesar 7 persen dari total impor minyak China.
Cara mengakali sanksi
Bagaimana aliran minyak itu bisa tetap berlangsung di tengah sanksi? China disebut sangat cerdik sehingga pelacakan terkadang tidak bisa dilakukan. Sejak beberapa tahun lalu, China telah menciptakan banyak perusahaan berskala kecil untuk menggeluti bisnis impor minyak. Nama-nama perusahaan ini sulit dilacak.
Cara kedua, China dan Iran mengembangkan armada yang merupakan kapal-kapal lama dan beroperasi tanpa asuransi. Jika yang digunakan adalah kapal-kapal baru, transponder dimatikan hingga kapal tersebut mencapai jalur pelayaran legal. Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization/IMO) mengatakan, kapal-kapal hanya boleh mematikan transponder jika ingin mengelabui pelacakan perompak, tetapi tidak untuk pelayaran yang aman dan resmi.
Cara ketiga, Iran dan China sangat kreatif. Pembayaran dilakukan dalam denominasi yuan atau bentuk barter untuk menghindari pelacakan lewat sistem keuangan global.
Cara lainnya, pembelian minyak dari Iran diatur seolah-olah berasal dari Malaysia, Oman, Irak, Uni Emirat Arab, dan lainnya. Temuan serupa juga diberitakan harian AS, The New York Times, edisi 3 Agustus 2019. Disebutkan juga cara lain, misalnya, kapal tanker Iran berisi minyak sudah menunggu di Teluk Persia dan kemudian bergerak ketika ada pembeli. Minyak dijual dengan harga diskonto.
The Jerusalem Post menyebutkan, semua metode ini berhasil, termasuk selama periode 2012-2015 saat sanksi berlaku untuk Iran. Ketika sanksi dikenakan lagi pada 2018, China lebih tidak gentar lagi, termasuk dengan mengatasi pelacakan lewat sistem keuangan global.
Taktik ketahuan
Taktik pengelabuan oleh China-Iran ketahuan. Pada 16 Oktober 2019, AS menyatakan prihatin terhadap taktik pengapalan minyak dari Iran ke China, termasuk dengan mematikan transponder. Hal seperti itu terus berlangsung hingga pada 29 September 2021 AS meminta China mengurangi pembelian minyak Iran.
Jawaban China tetap sama seperti pernah disampaikan pada 25 Maret 2021 bahwa China akan terus berupaya mengamankan kesepakatan minyak dengan Iran. Pada 26 September 2021, Jubir Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang menyatakan, kerja sama Iran-China legal dan memiliki legitimasi dan sesuai hukum internasional.
Untuk itu, pada 2 Agustus 2022, diberitakan lagi bahwa AS mengenakan sanksi pada enam perusahaan yang berbasis di Hong Kong, Singapura, dan UEA karena memfasilitasi perdagangan minyak Iran ke China. Namun, sanksi terbaru ini diragukan, apakah bisa menghambat aliran minyak Iran.
”Anda tidak bisa menyampaikan ancaman jika tidak bisa mewujudkannya,” kata Richard Nephew, akademisi dari Columbia University dan mantan pejabat Gedung Putih. Presiden Barack Obama tidak membuat ekspor minyak Iran terhenti sembari memberi tekanan untuk bernegosiasi. ”Tindakan seperti itu tidak akan membuat banyak negara, seperti China dan lainnya, menuruti AS,” kata Nephew.