Perekonomian Asia Jauh dari Ancaman Stagflasi
Inflasi bukan semata-mata karena invasi Rusia, isu yang gencar dicuatkan Presiden AS Joe Biden. ”Bukan, inflasi sudah tinggi sebelumnya, sebelum invasi,” kata Gubernur Bank Sentra AS Jerome Powell.
Tema-tema berita ekonomi, seperti kenaikan suku bunga, inflasi, dan resesi, mendominasi dunia sekarang ini. Berita-berita ekonomi suram itu muncul dari perekonomian Amerika Serikat dan Eropa.
Asia jangan terlalu termangu. Sebab, bayang-bayang stagnasi dan inflasi (stagflasi) tampaknya jauh. Asia lebih baik fokus pada reformasi lanjutan perekonomian dan pencegahan ketimpangan distribusi pendapatan.
Perekonomian Asia memiliki potensi besar. Ada potensi pertumbuhan di Asia, dan ini bukan karena rangsangan suku bunga negatif ala zona Euro atau suku bunga nol persen ala Amerika Serikat (AS).
”Di Asia, ada dinamika besar yang mendorong produktivitas melampaui kawasan lain. Ini sebuah tren yang kurang diapresiasi oleh para investor skeptis,” demikian dituliskan Chetan Ahya, ekonom pengamat Asia dari Morgan Stanley di harian The Financial Times, 31 Januari 2022, lewat artikel berjudul ”Asian economic growth to outstrip Americas and Europe”.
Dalam dua tahun mendatang, produksi domestik bruto (PDB) Asia akan tumbuh lebih cepat dan memperkuat posisinya sebagai blok perekonomian terbesar di dunia. Besaran nominal PDB Asia diperkirakan naik dari 33 triliun dollar AS pada 2021 menjadi 39 triliun pada 2023. Besaran ini melampaui PDB kawasan Amerika yang akan mencapai 34 triliun dollar AS dan Eropa sebesar 26 triliun dollar AS pada 2023.
Dinamika Asia terletak pada pertumbuhan ekspor—termasuk perdagangan intra-Asia—pengeluaran modal dan produktivitas. Ini kontras dengan perekonomian lain yang sangat tergantung pada stimulus keuangan dari pemerintah dan kebijakan uang mudah (easy money policy).
Dinamika muncul karena Asia telah kembali bekerja dan menumbuhkan permintaan pada peralatan modal. Lapangan kerja akan meningkat dan selanjutnya mendorong permintaan agregat. Siklus serupa terjadi sepanjang 2003-2007, di mana produktivitas memiliki peran lebih besar sebagai pendorong pertumbuhan di Asia.
Societe Generale (SocGen) juga melihat pertumbuhan di Asia umumnya solid, kecuali China (MT Newswires, 7 Juni 2022). ”Banyak negara ’hidup dengan Covid’, yang mendorong pemilihan sektor jasa. Pertumbuhan ekspor tergolong moderat, tetapi solid dan disrupsi karena penguncian wilayah di China tampaknya ringan dan bersifat sementara,” demikian pandangan SocGen. Pada semester kedua 2022 pertumbuhan di Asia lebih menggeliat lagi karena aktivitas di sektor infrastruktur.
ASEAN solid
Asia tenggara juga tampaknya akan terlepas dari bayang-bayang stagflasi. Empat negara Asia tenggara, yakni Indonesia, Vietnam, Malaysia, dan Filipina, akan tumbuh lebih cepat, berdasarkan data resmi sejumlah pemerintahan, demikian The Financial Times edisi 21 Juni 2022 dalam artikel berjudul ”South-east Asia bucks global stagflation trend as tourism and exports climb”.
Turisme telah bangkit di Vietnam dan Bali. ”Iklim pertumbuhan ASEAN terlihat sangat kuat,” demikian harian Inggris tersebut mengutip Frederic Neumann, ekonom HSBC. ”Tak banyak tema stagflasi di kawasan ini,” kata Khoon Goh, peneliti Asia dari ANZ Singapura. Prospek cerahnya juga terletak pada pembukaan kembali ekonomi. ”Kita tidak melihat isu kemunduran karena inflasi seperti yang menimpa Eropa dan AS,” kata Goh.
Trinh Nguyen, ekonom dari Natixis, mengatakan, efek pertarungan geopolitik AS-China juga telah menjadikan Asia tenggara sebagai tujuan relokasi produksi dari China. Hanya saja Asia harus memahami pertarungan geopolitik yang semakin panas antara AS dan China.
Mantan Menteri Keuangan Malaysia, Anwar Ibrahim, dalam wawancara dengan kantor berita Turki, Anadolu Agency, 25 Juli 2022, memberi saran. Ia katakan, Malaysia harus menjaga netralitas, tetap bersahabat dengan China, yang bermanfaat secara ekonomi, serta AS untuk tujuan lainnya, seperti sistem pendidikannya bagus. Anwar menyarankan dengan tegas agar jangan berpihak kepada salah satu dari dua blok geopolitik itu.
Kembali ke isu pertumbuhan di Asia, hal serupa terjadi untuk Asia selatan, menurut pengamatan Bank Dunia pada 7 Oktober 2021. India akan tumbuh karena investasi pemerintahan dan aktivitas di sektor manufaktur. Banglades mengalami kenaikan kembali ekspor. Maladewa juga kembali menggeliat dengan pemulihan pariwisata.
Bagaimana dengan inflasi?
Lalu apa kaitan kehebohan isu stagflasi di AS dan Eropa dengan Asia? Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) Jerome Powell di hadapan salah satu komite Senat AS, 22 Juni 2022, menyebutkan, tekanan inflasi yang sudah mencapai 9,1 persen atau rekor sejak 1981 lebih karena keterlambatan The Fed mengetatkan peredaran uang di AS.
Ia katakan, kenaikan harga komoditas global memang turut dipicu invasi Rusia ke Ukraina. Akan tetapi, ia mengakui tekanan inflasi sudah muncul sejak 2021. Inflasi bukan semata-mata karena invasi Rusia, isu yang gencar dicuatkan Presiden AS Joe Biden. ”Bukan, inflasi sudah tinggi sebelumnya, sebelum invasi,” kata Powell.
Menkeu AS Janet Yellen juga mengakui telah salah mengantisipasi ancaman inflasi, dalam wawancara dengan CNN, 1 Juni. Senada dengan pernyataan mantan Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke bahwa ada kesalahan The Fed, yang telah terlambat meredam inflasi. The Fed terlambat menaikkan suku bunga guna meredam inflasi yang telanjur meroket.
Kini, AS dan Eropa fokus pada pengetatan uang beredar, antara lain dengan menaikkan suku bunga. Inflasi harus dikendalikan secepatnya agar tidak menjadi inflasi spiral. Akan tetapi, perekonomian AS dan Eropa yang sekian lama ditopang kebijakan uang mudah justru akan terhantam balik. Inilah letak persoalan ekonomi Eropa dan AS dan memunculkan ancaman stagflasi.
Asia dinilai aman dari ancaman serupa itu, kecuali India dan Australia, yang dalam pandangan Societe Generale dan Dana Moneter Internasional (IMF) juga harus meredam inflasi lewat pengetatan uang beredar. Asia lainnya juga tentu akan terkena efek karena inflasi impor, termasuk karena kenaikan harga komodias global.
”Perkiraan inflasi untuk negara berkembang Asia sekitar 4,2 persen pada 2022 dan 3,5 persen pada 2023. ”Akan tetapi, tekanan inflasi di Asia lebih rendah daripada kawasan lain,” demikian Bank Pembangunan Asia (ADB) lewat laporan yang diluncurkan pada 21 Juli lalu.
SocGen melihat Indonesia, Malaysia juga, jauh lebih solid tentang pengendalian inflasi. Secara umum dorongan pengetatan uang beredar di Asia guna meredam inflasi tidak sekuat di AS dan Eropa.
Inilah salah satu iklim yang bagus bagi kelanjutan pertumbuhan Asia. Sebab, secara teoretis, kenaikan suku bunga menurunkan investasi dan konsumsi. Secara relatif, tekanan ini tidak terjadi di Asia. (AP/AFP/REUTERS)