Keluar sebagai ”Pahlawan” di Tembok Besar
Juyongguan, salah satu bagian Tembok Besar China, ini bukan hanya tembok pelindung biasa, melainkan sekaligus markas militer kekaisaran. Bagian ini termasuk akses paling rentan karena hanya berjarak 60 km dari Beijing.
不到长城非好汉。
”Bú dào Chángchéng fēi hǎohàn”. Begitu tulisan yang terukir di monumen batu di menara masuk dan keluar dari gerbang Juyongguan, salah satu bagian Tembok Besar China. Rupanya, itu puisi karya Mao Zedong, bapak pendiri Republik Rakyat China, yang artinya kira-kira ’Mereka yang belum sampai ke Tembok Besar bukanlah orang yang hebat atau pahlawan’.
”Maksud dari Chairman Mao ini, jika ingin mencapai tujuan, orang-orang yang hebat harus bisa mengatasi kesulitan apa pun,” kata Hu Jiliang, pemandu perjalanan rombongan wartawan asing yang mengunjungi gerbang Juyongguan, Rabu (27/7/2022) pagi. Batu berukir puisi Mao itu juga ada di bagian lain dari Tembok Besar, seperti bagian Badaling dan Mutianyu.
Jangankan sampai di Tembok Besar, berhasil masuk ke China pun sudah menjadi rekor tersendiri mengingat Pemerintah China yang masih memberlakukan kebijakan sangat ketat gara-gara pandemi Covid-19. Lulus dari karantina yang hampir sebulan lamanya pun rasanya sudah hebat.
Terkait dengan kebijakan nihil Covid-19 dinamis, sebelum masuk ke Tembok Besar, setiap orang harus menunjukkan identitas diri atau paspor dan hasil negatif dari tes swab yang dilakukan maksimal 72 jam sebelumnya. Tanpa ini, tak akan boleh masuk ke kawasan Tembok Besar.
Puisi Mao Zedong itu menjadi benar dan masuk akal jika, misalnya, ada yang menyusuri seluruh Tembok Besar dari ujung ke ujung yang panjangnya sampai 20.000 kilometer. Tak semua bagian masih utuh, ada yang rusak bahkan hancur dan berisiko untuk dilewati. Khusus di bagian Juyongguan, untung saja rutenya ”hanya” sejauh 4.142 meter melingkar.
Setelah sekitar 1,5 jam naik bus carter dari pusat kota Beijing ke Juyongguan, akhirnya Tembok Besar di depan mata. Sepi. ”Orang sini jarang mau hiking ketika musim panas. Biasanya ramai saat musim semi karena udara lebih enak,” kata Hu.
Seluruh bagian Tembok Besar pernah ditutup sekitar dua bulan pada 2020 karena pandemi Covid-19. Setelah dibuka kembali, tempat ini ramai lagi, khususnya oleh kunjungan wisatawan domestik karena China belum membuka pintu bagi wisatawan mancanegara. Di sepanjang rute Juyongguan, rombongan kami beberapa kali berpapasan dengan wisatawan China sekeluarga yang membawa kantong plastik berisi jajanan bekal jalan-jalan, sama saja seperti di Indonesia. Meski ”hanya” 4 kilometer, rute Juyongguan menantang dengan jalan menanjak dan menurun yang curam.
Kondisi curamnya mirip seperti Angkor Wat di Kamboja atau Candi Borobudur di Jawa Tengah. Pengunjung akan lebih aman jika berpegangan pada pegangan besi yang terpasang di tembok. Sudah curam, batuan anak tangganya yang berbentuk kotak pun tak sama tinggi rendahnya. Meleng sedikit, bisa tamat riwayat kita.
Butuh waktu sekitar dua jam berjalan pelan untuk bisa sampai ke menara ke-13, menara yang tertinggi. Untuk turun, perlu sekitar 1,5 jam lagi. Jarak 4 kilometer, jika jalan mendatar, tentu mudah. Akan tetapi, karena rute ini menanjak, cukup membuat jantung berdegup kencang, napas tersengal-sengal, dan keringat bercucuran.
Sesampainya di menara puncak, segala perjuangan terbayar lunas. Hilang lelah dan pegal setelah melihat pemandangan pegunungan yang hijau menyegarkan sejauh mata memandang. ”Tembok-tembok yang kita lewati sekarang ini dibangun pada 1900-an dan tahun-tahun awal abad ke-21,” kata Hu sambil memegang tembok yang terasa adem.
Dari data Kantor Pariwisata Beijing, Juyongguan ini ”dipeluk” dua gunung. Pertama, Gunung Cuiping setinggi 1.500 meter yang ada di sebelah timur dengan tembok setinggi 150 meter di bagian punggungnya. Lalu di sebelah barat terdapat Gunung Jingui yang tingginya 1.200 meter dengan tembok setinggi 351 meter.
Titik terlebar tembok 16,7 meter, sedangkan yang tersempit hanya 1,2 meter. Ada dua gerbang di sini, yakni selatan (Nan Guan) dan utara (Bei Guan). Dua menara pengawas tinggi dibangun di setiap gerbang.
”Ini pengalaman luar biasa seumur hidup saya. Dulu ketika sekolah, saya belajar sejarah China, salah satunya belajar Tembok Besar ini. Dulu hanya bisa lihat foto-fotonya dan bermimpi suatu hari nanti akan ke sini. Saya tidak mau menyerah naik tangga panjang ini sampai puncak. Kata pemandu, kan, hanya mereka yang sampai di puncak yang menjadi pahlawan. Saya senang bisa jadi pahlawan juga karena tuntas perjalanan,” kata Mereleki Nai, wartawan harian Fiji Sun di Kepulauan Fiji.
Markas militer
Sambil berjalan pelan, ibu pemandu, Hu, menjelaskan, Juyongguan ini termasuk bagian dari Tembok Besar yang dibangun pertama kali semasa Dinasti Ming (1368-1644) di bawah kepemimpinan Kaisar Zhu Yuangzhang, kaisar pertama Dinasti Ming (1368-1398). Juyongguan dibangun untuk menggagalkan serangan bangsa Mongol yang ingin merebut kembali kerajaannya.
Bagian Juyongguan ini dianggap sebagai bagian dari Tembok Besar yang terpenting karena bukan hanya tembok penahan musuh, melainkan juga pusat atau markas besar pasukan kekaisaran. Ini yang membuatnya berbeda dibandingkan bagian-bagian lain dari Tembok Besar.
Sejumlah pertempuran besar pernah terjadi di wilayah ini, seperti pertempuran melawan Jurchen (suku Tungusik di wilayah Manchuria), bangsa Mongol, dan Jepang. Bahkan, Genghis Khan juga pernah melewati Juyongguan bersama dengan pasukannya. Dibandingkan bagian lain, Juyongguan yang ada di Lembah Guangou termasuk akses di wilayah utara yang paling rentan menuju ke Beijing.
Jarak dari Beijing saja hanya 60 kilometer. Harian China Daily menyebutkan, sejak zaman kuno, Juyongguan secara historis berfungsi sebagai instalasi militer yang penting dan dibangun dengan struktur kuat untuk menampung pasokan logistik.
Selain itu, kompleks ini juga menjadi pusat tata kelola yang dibagi menjadi kubah utara dan selatan, menara gerbang, menara pengawas, gerbang air, kantor keuangan, lumbung, bahkan perpustakaan. Bentang alam yang luas dan ngarai yang dalam dengan sungai yang tertutup menjadi lokasi ideal untuk pertahanan militer.
Pada Dinasti Yuan (1272-1368), Juyongguan berfungsi sebagai arteri lalu lintas utama dari Beijing ke Mongolia Dalam. Kaisar Yuan sering lewat rute ini sehingga dibangun istana kekaisaran sementara, kuil, dan taman. Dari abad ke-14 hingga awal abad ke-20, banyak wihara dan kuil Buddha, Tao, serta Khonghucu yang dibangun di sini.
Dinasti Yuan membangun tiga stupa di atas Teras Awan atau Yuntai yang kemudian hancur karena bencana. Namun, Menara Awan setinggi 9,5 meter dari marmer putih yang dibangun tahun 1342 itu masih utuh. Di menara itu masih terlihat tulisan dalam bahasa Mongolia dan Uighur. Pada masa itu, ukiran di bangunan itu dianggap sebagai mahakarya seni ukir.
Hu menunjukkan dinding melengkung di teras yang terdapat gambar dan kitab Buddha ditulis dalam bahasa Sanskerta, Tibet, aksara Tangut, Uighur, Phags-Pa, dan China. Kesatuan antara Juyongguan dan Teras Awan inilah yang membuat lokasi tersebut pada 1961 ditetapkan sebagai situs warisan budaya yang dilindungi negara. UNESCO kemudian mendaftarkan Juyongguan sebagai salah satu warisan dunia pada 1987.
Bagian kehidupan
Dengan total panjang 20.000-an kilometer, Tembok Besar ini bisa melindungi sampai 15 provinsi di China. Bagi rakyat China, Tembok Besar bukan sekadar tembok pelindung dari musuh, melainkan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari rakyat China.
Hu mencontohkan mata uang kertas yang bergambar Tembok Besar dan lagu-lagu yang bertema Tembok Besar. Padahal, dulu awalnya Tembok Besar ini hanya semacam pagar perbatas yang dibuat untuk melindungi daerah masing-masing. Dinasi Chin yang kemudian menyatukan China dengan menyatukan tembok-tembok perbatasan yang semula terpisah-pisah.
Sekitar 100 tahun kemudian, Dinasti Han memperluas Tembok Besar hingga mendekati Korea Utara. ”Tembok-tembok yang bisa kita lihat sekarang ini sebenarnya banyak yang dibangun semasa Dinasti Ming, 700 tahun lalu,” ujarnya.
Jika diperhatikan, kata Hu sambil menunjuk ke dinding tembok bagian luar, ketinggian dan bentuk temboknya berbeda-beda sesuai dengan kontur tanahnya. Ada yang setinggi 7-8 meter, ada juga yang hanya 4-5 meter. ”Kenapa bisa berbeda?” tanya Hu, yang hanya saya jawab dengan senyuman dan gelengan kepala.
”Untuk menghemat biaya dan agar lebih aman tembok bagian luar dibuat lebih tinggi,” kata Hu. Bagian menara pengawas pun dibuat lebih tinggi untuk memudahkan pengiriman pesan ke gerbang lain. ”Jika ada musuh datang, pesan disampaikan memakai asap di siang hari dan api di malam hari. Kalau jumlah musuhnya banyak, asap dan apinya juga makin pekat dan besar,” lanjut Hu.
Sambil menyimak Hu yang terus bercerita, lamat-lamat teringat adegan pertempuran kolosal di film The Great Wall (2016) yang dibintangi aktor Matt Damon dan Andy Lau. Mungkin kira-kira begitu juga suasananya dulu. Di sela-sela ingatan itu, terusik rasa penasaran berapa banyak orang yang mengerjakan Tembok Besar ini hingga ratusan tahun lamanya.
”Tidak tahu persis berapa. Tetapi, khusus di Juyongguan ini, sesuai namanya, warga sipil dipaksa pindah ke sini untuk menjadi pekerja kasar waktu itu. Mereka itulah pahlawan-pahlawan yang membangun tembok luar biasa ini," ujar Hu.