Bumi Semakin Panas, Wilayah yang Tak Pernah Kering Pun Dilanda Kebakaran
Pemanasan global harus segera ditangani. Kini, wilayah-wilayah yang tidak pernah kering sekalipun mengalami kebakaran.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
ANCHORAGE, SELASA — Cuaca panas ekstrem akibat kenaikan suhu global membuat musim panas kali ini semakin terik dan kering. Wilayah-wilayah yang selama ini hampir tidak pernah dilanda kebakaran hutan dan lahan, seperti Negara Bagian Alaska di Amerika Serikat, kini menghadapi ratusan titik api. Hal ini menambah kebakaran hutan dan lahan yang selama beberapa pekan terakhir belum bisa dipadamkan di berbagai penjuru dunia.
Biro Pertanian dan Kehutanan Alaska mencatat, hingga kini ada 12.140 kilometer persegi lahan yang terbakar. Data mengungkapkan bahwa 98 persen lahan kebakaran itu diakibatkan oleh sambaran petir. Badan Meteorologi Amerika Serikat menyebutkan, ada 145.000 sambaran petir di negara bagian terbesar AS ini sejak musim panas dimulai pada bulan Juni.
Bahkan, sebanyak 42 persen sambaran petir terjadi pada periode 5-11 Juli yang memantik 50 kebakaran. Padahal, letak Alaska jauh di utara dan telah masuk ke dalam Lingkar Arktik. ”Cuaca Alaska bisa dibilang luar biasa panas jika dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Dalam 50 tahun terakhir, suhu di wilayah ini naik dua kali lipat,” kata Rick Toman, pakar iklim dari Pusat Penelitian Internasional Arktik Universitas Alaska, di Anchorage, Senin (25/7/2022).
Ia menjelaskan, salju-salju di puncak gunung dan tundra meleleh pada awal Juni. Ini terlalu cepat karena semestinya salju meleleh pada akhir Juli atau awal Agustus. Akibatnya, padang-padang tundra kering. Ketika hendak hujan dan biasanya diawali dengan petir, tidak ada salju yang memadamkan sambaran di tanah.
Data Pemerintah Negara Bagian Alaska menyebutkan, tidak ada penduduk yang dievakuasi karena kebakaran terjadi di alam liar. Meski demikian, warga diminta waspada karena angin kencang meniup kan asap ke wilayah permukiman sehingga mengganggu pernapasan.
Ada satu korban jiwa, yaitu seorang pilot helikopter, yang tewas ketika bertugas mengangkut alat-alat pemadam kebakaran.
Greenland meleleh
Lumernya salju dan katup-katup es secara intens juga terjadi di Greenland, pulau terbesar di dunia yang semestinya mayoritas tertutup es. Seperti dilansir CNN, Pusat Data Salju dan Es Nasional AS (NSIDC) mencatat, pada periode 15-17 Juli 2022 saja es yang meleleh mencapai 6 miliar ton per hari.
Sebagai gambaran, volume air ini bisa mengisi 7,2 juta kolam renang ukuran Olimpiade. Kecepatan lelehan ini tidak normal. Setara dengan kecepatan es meleleh dalam 30-40 tahun jika dibandingkan dengan abad lalu.
”Kami berharap tahun ini tidak separah musim panas tahun 2019 karena dampaknya bisa serius sekali,” kata Kutalmis Saylam, peneliti iklim dari Universitas Texas yang berbasis di Greenland, Denmark.
Pada tahun 2019, musim panas yang intens mengakibatkan 532 miliar ton es Greenland meleleh dan permukaan air laut naik 1,5 milimeter. Apabila seluruh es Greenland meleleh, permukaan air laut Bumi akan naik 7,5 meter. Ini berbahaya bagi negara-negara kepulauan, termasuk Indonesia. Di Pasifik, Tuvalu saja sudah menyerukan pentingnya menghentikan pemanasan global karena bangsa dan negara mereka bisa terancam tenggelam.
Peneliti NSIDC, Ted Scambo, kepada surat kabar USA Today menjelaskan bahwa suhu di Greenland naik 10 derajat celsius dari periode 1990-an. Semestinya, suhu rata-rata wilayah ini adalah 0 derajat celsius atau di titik beku. Suhu maksimal pada musim panas adalah 5 derajat celsius. Ini perubahan parah yang terdata sejak tahun 2010.
”Kami memperkirakan tahun ini ada 100 miliar ton es yang akan meleleh,” ujar Scambo.
Biasanya, Greenland membentuk 600 gigaton es dan setiap musim panas sebanyak 300 gigaton es meleleh. Akan tetapi, dengan kenaikan suhu Bumi, kecepatan pembentukan es baru jauh tertinggal dibandingkan dengan kecepatan lelehan. Hal ini mengkhawatirkan karena suatu saat nanti bisa saja tidak ada lagi es yang tersisa.
Reboisasi
Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah AS adalah reboisasi. Presiden AS Joe Biden mengeluarkan mandat untuk menanam 1,2 miliar pohon guna membuat hutan-hutan di negara tersebut tahan menghadapi cuaca panas. Penambahan hutan juga berarti peningkatan kapasitas lahan menyerap dan menahan air serta menjaga kelembaban udara agar tidak mudah terjadi kebakaran.
Menteri Pertanian AS Tom Vilsack menerangkan, kebakaran hutan dan lahan adalah siklus alami. Dulu, benih-benih akan tumbuh dengan sendirinya setelah kebakaran selesai.
Permasalahannya, intensitas kebakaran kali ini sangat tinggi, baik dari besar api maupun frekuensi. Akibatnya, semua nutrisi di tanah hangus. Jika diserahkan pada siklus alami, butuh puluhan tahun lahan dan hutan ini pulih.
”Kita harus menambah dan mengintesifkan reboisasi. Tidak hanya pertanian dan perhutanan yang bergantung dari penghijauan lahan, nasib umat manusia juga,” ujar Vilsack. (AP)