Berhenti Jalan Kaki di Awal Juli
Di Indonesia, sebagian orang kurang berjalan kaki. Saat berada di Singapura, New York, atau Paris, mereka berjalan kaki lebih banyak. Suhu udara, tata kota, dan kebijakan pemerintah jadi faktor yang memengaruhi.
Memang enak berjalan kaki di trotoar lebar kala suhu 20 derajat celsius. Akan lain ceritanya bila berjalan kaki di trotoar lebar kala suhu di atas 30 derajat celsius. Bahkan, otoritas metrologi Inggris tidak menganjurkan orang beraktivitas di luar ruangan pada musim panas 2022.
Meteorological Office, lembaga semacam BMKG di Inggris, memperingatkan bahwa musim panas kali ini ditandai suhu ekstrem. ”Di negara ini, kita biasanya memanfaatkan musim panas untuk bermain di bawah sinar matahari. Sekarang, cuacanya tidak (mendukung) untuk itu,” kata Kepala Met Office Penny Endersby pada awal Juli 2022.
Rata-rata orang Inggris berjalan hampir 5.500 langkah per hari atau di atas rata-rata global, yakni 5.000 langkah per hari. Sementara rata-rata orang Indonesia berjalan tidak sampai 3.200 langkah per hari.
Pesan itu disiarkan lewat video yang kini tersebar luas. Endersby menyebarkan pesan itu kala sebagian Eropa dilanda suhu panas ekstrem. Di Spanyol hingga Italia, orang- orang berlindung dari panas matahari. Alih-alih berjalan di trotoar, orang-orang memilih berteduh di teras, di bawah pohon, atau sekalian berdiam di dalam ruangan.
Padahal, sejumlah penelitian menunjukkan orang-orang Eropa paling banyak berjalan kaki. Bahkan, Inggris menempati peringkat teratas daftar negara yang penduduknya paling rajin berjalan kaki. Rata-rata orang Inggris berjalan hampir 5.500 langkah per hari atau di atas rata-rata global, yakni 5.000 langkah per hari. Sementara rata-rata orang Indonesia berjalan tidak sampai 3.200 langkah per hari.
Imbauan Endersby menunjukkan hubungan erat cuaca dengan kebiasaan berjalan kaki. Pada Desember 2019, Xavier Delclos-Alio dan rekan-rekannya juga menyiarkan hasil penelitian kaitan cuaca dengan kebiasaan berjalan kaki di Barcelona, Spanyol. Mereka menemukan, orang-orang cenderung kurang berjalan jika suhu terlalu dingin atau terlalu panas.
Orang-orang, menurut riset Delclos-Alio dan rekan, banyak berjalan apabila suhu antara 10 derajat celsius dan 20 derajat celsius. Bagi banyak orang Eropa, suhu di atas 25 derajat celsius sudah tergolong panas. Di Indonesia, suhu rata-rata musim kemarau bisa di atas 32 derajat celsius. Tidak hanya panas, udara di Indonesia juga lembab.
Kota tua
Berjalan kaki hingga 4 kilometer (km) di Kota Tua Krakow, Polandia, pada tengah hari di awal Juli 2022 tidak membuat badan berkeringat. Sebaliknya, berjalan kaki 2 km saja di Kota Tua Semarang, Jawa Tengah, pada tengah hari di awal Juli akan membuat baju basah kuyup oleh keringat.
Kota Tua Krakow dan Kota Tua Semarang sama-sama punya trotoar lebar dan sisi jalannya banyak bangunan berusia lebih dari 100 tahun. ”Suhu tahun ini tergolong rendah dibanding tahun sebelumnya,” kata Malciej, warga Krakow yang ditemui, 14 Juli 2022.
Kota Tua Krakow dan Kota Tua Semarang sama-sama punya trotoar lebar dan sisi jalannya banyak bangunan berusia lebih dari 100 tahun.
Pada 9-14 Juli 2022, suhu tertinggi di Krakow tidak sampai 24 derajat celsius. Sering hujan pada siang hingga sore hari membuat suhu bisa turun sampai 12 derajat celsius pada pukul 16.00. Padahal, matahari sore di Krakow pada musim panas mirip matahari pada pukul 13.00 di Surabaya.
Selama musim panas di Krakow dan banyak kota di Eropa, matahari terbit sebelum pukul 04.00 dan terbenam selepas pukul 21.00. ”Orang- orang sengaja berjemur agar tak kedinginan,” kata Malciej.
Penelitian Tim Althoff dan rekan-rekan dari Universitas Stanford menemukan, fasilitas dan kondisi lingkungan juga berpengaruh pada kebiasaan berjalan. Mereka menemukan, penduduk kurang berjalan di kota yang trotoarnya tidak tertata. Orang yang sama bisa lebih banyak berjalan jika trotoarnya tertata.
Kesimpulan Althoff dan rekan antara lain tecermin pada sebagian orang Indonesia. Selama di Indonesia, sebagian orang kurang berjalan kaki. Saat berada di Singapura, New York, atau Paris, mereka berjalan kaki lebih banyak.
Baca juga Pejalan Kaki Tewas Tertabrak Mobil yang Sopirnya Main Ponsel Seusai Minum ”Soju”
Riset Timothy Shortell tentang kebiasaan berjalan warga di sejumlah kota di Eropa menemukan, tata kota-kota di Eropa mendukung kebiasaan warga berjalan. Sebaliknya, daerah di Amerika Serikat dan Kanada kurang mendukung.
Penduduk Uni Eropa (UE) rajin berjalan karena mayoritas tinggal di kawasan urban. Aneka fasilitas dan kebijakan mendukung kebiasaan berjalan kaki. Banyak kedai, ruang publik, dan transportasi lebih mudah dijangkau dengan berjalan kaki atau bersepeda dibandingkan dengan mobil.
Tarif parkir mobil di kota-kota UE dan AS-Kanada sebenarnya sama-sama mahal. Masalahnya, banyak penduduk AS-Kanada tinggal di kawasan permukiman yang membatasi bangunan komersial. Bangunan komersial bisa berjarak lebih dari 1 km.
Kondisi itu tidak lepas dari kebiasaan orang Amerika utara untuk tinggal di rumah besar dengan halaman luas. Dengan demikian, mereka harus tinggal di luar kawasan urban sehingga membutuhkan kendaraan untuk bepergian.
Tempat tinggal banyak orang Eropa Barat berjarak tidak sampai 600 meter dari kedai, tempat cukur, hingga stasiun kereta atau halte bus.
Jarak memang menjadi faktor penting dalam berjalan kaki. Untuk ukuran UE yang penduduknya rajin berjalan kaki pun, jarak yang disebut dalam jangkauan berjalan kaki rata-rata hanya 700 meter.
Penelitian David Bassett dan rekan juga menyimpulkan, jarak dekat di antara tujuan menjadi faktor utama penunjang kebiasaan orang Eropa berjalan. Tempat tinggal banyak orang Eropa Barat berjarak tidak sampai 600 meter dari kedai, tempat cukur, hingga stasiun kereta atau halte bus.
Baca juga Milenial Tidak Suka Berjalan Kaki
Pemerintah banyak kota di Eropa juga tidak hanya memberi banyak insentif untuk berjalan kaki. Mereka juga banyak memberikan disinsentif untuk pemilik kendaraan, mulai dari pembatasan kecepatan mobil di kawasan permukiman hingga izin kepemilikan kendaraan yang mahal dan sulit.
Di banyak kota Eropa, pajak kendaraan tidak tinggi. Namun, setiap pemilik kendaraan wajib memiliki asuransi berpremi tinggi. Premi termasuk menanggung risiko ganti rugi yang harus dikeluarkan bila kendaraan terlibat kecelakaan.
Selain fasilitas dan kebijakan, faktor lain yang memengaruhi kebiasaan berjalan kaki ialah sejarah dan kebudayaan. Dalam Wanderlust: A History of Walking, Rebecca Solnit menyebut berjalan kaki di luar kebutuhan pergerakan harian semakin menyusut.
Semakin sedikit orang, termasuk di Eropa sekalipun, berjalan kaki dengan tujuan bepergian jauh atau wisata. Sebab, ada asumsi bahwa berjalan kaki untuk jarak jauh dianggap semakin kuno.
Di sebagian wilayah, berjalan kaki dianggap bentuk keterpaksaan karena tidak ada pilihan lain. Saat kondisi memungkinkan, orang-orang lebih memilih menggunakan kendaraan.
Baca juga : Sudah Jarang Berjalan Kaki, Kenapa?
Solnit juga menemukan, penduduk di sejumlah negara telanjur hidup dalam kebudayaan yang menganggap kepemilikan kendaraan adalah tanda kesuksesan. Hal itu tidak lepas dari sejarah pemilik kereta kuda, lalu mobil pertama beberapa ratus tahun lalu adalah orang-orang penting.
Sementara di AS, pemilihan istilah yang berkaitan dengan berjalan kaki dianggap berkontribusi pada kebiasaan berjalan kaki. Banyak kota memilih istilah pedestrian untuk menyebut jalur pejalan kaki. Kata itu berakar dari bahasa Latin ”pedes” yang berarti ”dengan kaki”. Pedes adalah kebalikan dari equest atau ”dengan kuda”.
Seperti disimpulkan Solnit, sejarah mencatat, pengendara kuda dianggap lebih baik dibandingkan pejalan kaki. Sebab, pengendara kuda dianggap lebih mampu secara finansial atau mempunyai kedudukan sosial lebih tinggi dibandingkan pejalan kaki.
Berbagai penelitian soal pejalan kaki mengandalkan data dari ponsel. Paling tidak, dalam konteks Indonesia, ada dua masalah dalam pengumpulan data dengan cara ini.
Pertama, data hanya terekam di ponsel yang tersambung dengan jaringan seluler. Di sebagian daerah Indonesia, ada jutaan hektar lahan tidak terjangkau layanan data seluler sehingga fungsi-fungsi ponsel, termasuk perekam pergerakan, sulit digunakan. Padahal, orang-orang di wilayah seperti itu kerap berjalan kaki berkilo-kilo meter per hari.
Baca juga Fasilitas Pejalan Kaki di Jakarta Masih Kurang Ramah Pengguna
Masalah kedua, ponsel yang dijadikan sarana pengumpulan data berharga beberapa kali upah minimum. Orang-orang yang berpenghasilan beberapa kali upah minimum, menurut Solnit, cenderung lebih suka bergerak secara nyaman.