AS Perlu Strategi Baru di Asia Tenggara dan Afrika
China merangkul 143 dari hampir 200 negara lewat Inisiatif Sabuk dan Jalan. Rivalitas dengan China adalah prioritas strategis AS. Siapa pun presiden AS, rivalitas itu akan tetap jadi prioritas.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
Sekeras apa pun berusaha disangkal, faktanya Amerika Serikat terlibat perang dingin dengan China. Palagannya tersebar di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Penggunaan strategi perang dingin perlu dipertimbangkan jika Washington mau memenangi perang ini.
Bagi peneliti senior Brookings Institution, Rush Doshi, rivalitas Beijing-Washington saat ini mirip rivalitas AS-Jerman pada awal abad ke-20. Kala itu, Berlin mencoba mengubah tatanan global yang didominasi London-Washington. Ada pencurian teknologi, upaya menata ulang sistem keuangan global, hingga persaingan infrastruktur.
Dulu Berlin menggagas jalur kereta Berlin-Baghdad untuk menyaingi London yang menguasai lautan. Kini, China merangkul 143 dari hampir 200 negara lewat Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI). Jerman juga dituding berusaha mencuri aneka hasil inovasi di Inggris dan AS. China pun berulang kali dikenai tudingan serupa.
Sementara guru besar ilmu hubungan internasional pada Ghent University di Belgia, Sven Biscop, menyebut bahwa rivalitas dengan China adalah prioritas strategis AS. Siapa pun presiden AS, rivalitas itu akan tetap jadi prioritas.
Seperti ditudingkan China, kondisi saat ini mencerminkan perang dingin. Tudingan China, antara lain, didasarkan pada aneka upaya AS mengadang kemajuan China. Mirip dengan berbagai upaya Washington membendung Moskwa selepas Perang Dunia II.
Strategi Pembendungan, demikian nama kebijakan AS terhadap Uni Soviet, digagas oleh George Kennan. Diplomat AS itu mengusulkan agar negaranya memakmurkan Jepang dan Eropa Barat. Lewat pemakmuran itu, Tokyo akan menjadi sekutu yang kuat untuk menghadapi Moskwa di timur. Sementara di barat, Jerman Barat dan sejumlah negara lain di Eropa dimakmurkan dengan tujuan serupa. Perwujudan strategi itu termasuk Marshall Plan untuk Eropa dan pasokan aneka teknologi kepada Jepang. Kini, Jepang dan negara-negara Eropa Barat menjadi sekutu penting AS.
Doshi mengingatkan, pembendungan terhadap China adalah permainan panjang. AS perlu mengalokasikan banyak sumber daya seperti kala membendung Uni Soviet.
Meski tidak persis sama, AS tengah dihadapkan pada kondisi seperti kala berusaha membendung Uni Soviet. Karena itu, tidak salah apabila Washington kembali menggunakan strategi yang sama untuk China. Tentu, dibutuhkan sejumlah modifikasi.
Penyesuaian diperlukan, antara lain, karena pusat persaingan bukan di Eropa. Pusat persaingan ada di Afrika dan Asia Tenggara. Asia Tenggara menjadi pusat karena berbagi perairan dengan China. Bahkan, sejumlah negara Asia Tenggara sedang baku klaim perairan dengan Beijing selama beberapa tahun terakhir.
AS sudah menghabiskan bertahun-tahun untuk membuat China dimusuhi kawasan. Sejumlah pihak yang terlacak mendapat pasokan dana dari Washington gencar mengampanyekan bahaya relasi negara kawasan dengan China. Selain isu kedaulatan, ada isu ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup digaungkan terkait hubungan negara-negara di kawasan dengan China.
Sayangnya, sebagaimana ditemukan Lowy Institute, persepsi kawasan terhadap China relatif tidak banyak berubah. Dari 54 persen pada 2016, tingkat kesukaan kawasan pada China terpangkas menjadi 43 persen. Pemangkasan kesukaan pada AS dan Australia malah lebih tinggi, dari rata-rata 60 persen menjadi rata-rata 40 persen.
Kesalahan
Lembaga kajian pertahanan AS, RAND, termasuk yang menyebut ada kesalahan strategi AS di Asia Tenggara. Washington terlalu fokus pada isu politik dan menggaungkan bahaya China. Sementara kawasan, seperti diungkap jajak pendapat sejumlah lembaga AS dan Asia Tenggara, menganggap isu ekonomi sebagai prioritas.
Lewat Inisiatif Sabuk dan Jalan, China jelas mendekati kawasan lewat isu ekonomi. AS pernah menggunakan isu ekonomi untuk mendekati kawasan. Karena itu, akumulasi investasi Washington di Asia Tenggara lebih tinggi dibandingkan Beijing. Masalahnya, China menanamkan banyak modal baru. Sementara AS sudah lama tidak mengucurkan modal baru dalam jumlah besar ke kawasan.
Negara-negara Asia Tenggara tidak menutup kekecewaan pada inisiatif yang ditawarkan AS kala Presiden AS Joe Biden mengundang pemimpin ASEAN ke Washington. Nilai tawaran Biden amat kecil jika dibandingkan jumlah bantuan AS ke Ukraina.
AS memang mencoba memperbaiki keadaan. Kerangka Kerja Sama Ekonomi Indo-Pasifik (IPEF) adalah awal yang baik meski masih amat jauh jika dibandingkan dengan realisasi kerja sama China-ASEAN. AS perlu memodifikasi IPEF agar membawa manfaat lebih besar bagi kawasan.
Inisiatif infrastruktur yang kembali digaungkan Biden di sela-sela pertemuan G7 juga bisa diapresiasi jika jadi diwujudkan. Negara-negara di kawasan masih membutuhkan banyak proyek infrastruktur. Proyek-proyek itu diharapkan bisa menjadi pengungkit kemakmuran kawasan.
Negara-negara Asia Tenggara dan Afrika tidak mengharapkan Marshall Plan baru. Walakin, kesuksesan strategi itu di Eropa dapat dipertimbangkan AS untuk dimodifikasi, lalu diterapkan di Indo-Pasifik. AS perlu strategi Kennan baru.