Uni Eropa Stop Emas Rusia, Kremlin Mainkan Gas
Adu kuat sedang terjadi antara Uni Eropa dan Rusia. Uni Eropa sepakat menjatuhkan sanksi baru bagi Rusia, salah satunya menyasar produk emas Rusia. Sementara, Rusia, memegang kartu truf, yaitu pasokan gas ke Eropa.
Brussels, Jumat – Uni Eropa menjatuhkan paket sanksi ketujuh terhadap Rusia, termasuk larangan impor emas dari negara itu. Sebagai balasan, Kremlin diperkirakan akan memainkan kartu mereka, yaitu pasokan gas ke Eropa. Perang ekonomi ini menyeret mundur ekonomi Eropa secara keseluruhan.
”Kami akan menekan sekuat mungkin selama diperlukan,” kata Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen pada keterangan pers di Brussels, Belgia, Kamis (21/7/2022).
Sanksi terbaru dari Uni Eropa (UE) itu, antara lain, larangan mengimpor emas dari Rusia. Langkah ini sejalan dengan komitmen negara-negara G7 yang sebulan lalu telah berniat melarang Rusia melakukan transaksi dengan menggunakan emas miliknya.
Barat menilai Kremlin menggunakan cadangan emasnya untuk membiayai perekonomian Rusia. Langkah ini untuk menghindari dampak berbagai sanksi yang telah dijatuhkan oleh Barat.
Baca juga : Eropa Berjibaku Mencari Gas
Rusia adalah pengekspor emas terbesar keempat di dunia. Emas menjadi salah satu barang ekspor utama negara itu setelah energi, seperti minyak dan gas. Ekspor logam mulia dari Rusia, dikutip dari laman Euronews, bernilai lebih dari 18,9 miliar dollar AS pada 2020. Sebagian besar emas Rusia dikirim ke Inggris pada tahun tersebut. Sisanya diekspor ke Swiss, Kazakhstan, Turki, dan India.
Sanksi terbaru UE juga melarang ekspor barang-barang berteknologi tinggi ke Rusia. Ada pula larangan ekspor ke Rusia untuk beberapa barang yang dibutuhkan oleh aparat keamanan, di antaranya gas air mata, helm, dan perisai untuk polisi antihuru-hara, hingga water cannon. Sanksi terbaru Uni Eropa juga menyasar 48 individu serta sembilan perusahaan dan entitas bisnis Rusia.
Sebelumnya, UE telah menjatuhkan enam paket sanksi bagi Rusia menyusul serangan Rusia ke Ukraina mulai 24 Februari 2022. Sanksi yang diberlakukan, antara lain, pembekuan aset dan larangan visa pada oligarki dan pejabat Rusia, kontrol ekspor, pembekuan aset bank sentral Rusia, pemotongan bank-bank Rusia dari sistem SWIFT, serta larangan impor batubara dan minyak Rusia
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menilai sanksi baru oleh sekutu-sekutu Baratnya tidak akan cukup ampuh menghentikan keinginan Putin menganeksasi sebagian besar wilayah teritorial Ukraina.
”Saya berkata terus terang kepada kawan-kawan saya (negara anggota UE) bahwa sanksi itu masih belum cukup. Rusia harus merasakan sakit yang sangat dan harus membayar dengan harga yang lebih tinggi atas tindakan mereka menginvasi Ukraina untuk menciptakan perdamaian,” kata Zelenskyy.
Sanksi baru tidak akan berdampak apa pun terhadap Rusia dan tidak akan mengubah kebijakan yang telah diambil.
Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan, sanksi baru tidak akan berdampak apa pun terhadap Rusia dan tidak akan mengubah kebijakan yang telah diambil. ”Sanksi terberat pun tidak akan mengubah posisi yang telah diambil,” katanya.
Sementara itu, Rusia kembali memompakan gas melalui pipa Nord Stream 1 ke Eropa setelah stop 10 hari menyusul perbaikan turbin yang dilakukan di Kanada. Namun, pasokan saat ini di bawah level sebelumnya.
Pasokan berisiko diputus
Presiden Rusia Vladimir Putin belum memutuskan menghentikan secara penuh pasokan gas Rusia ke Eropa. Gazprom sebagai badan usaha milik negara Rusia yang mengelola gas, tetap menjalankan kewajibannya memenuhi pasokan gas ke Eropa sesuai kontrak.
Akan tetapi, Putin mengingatkan, penghentian pengiriman gas berisiko terjadi jika Gazprom belum menerima dokumentasi perbaikan turbin. Akibat kualitas perbaikan yang dipertanyakan oleh Putin, terbuka kemungkinan Gazprom akan melakukan perbaikan kembali jaringan pipanya dalam beberapa waktu mendatang. Ini bisa mengakibatkan pengurangan kembali atau penghentian total pasokan gas ke Eropa.
Baca juga : Hemat Energi, Uni Eropa Pangkas Konsumsi Gas
Mengantisipasi risiko itu, UE meminta negara-negara anggotanya untuk memangkas penggunaan gas di masing-masing negara sebanyak 15 persen hingga Maret tahun depan sebagai tindakan darurat sekaligus untuk mengamankan stok untuk musim dingin. Seiring dengan itu, UE akan mencari alternatif baru pemasok gas bagi UE.
Namun rencana ini ditentang oleh negara-negara anggota UE yang berada di Eropa selatan. Portugal, Spanyol, dan Yunani menolak rencana tersebut. Alasannya, hal itu menekan perekonomian dan kehidupan masyarakat.
Peter McNally, analis pada lembaga Third Bridge menilai, meski aliran gas melalui jaringan Nord Stream 1 kembali ke level 100 persen, Eropa akan tetap mengalami krisis energi. Eropa mungkin hanya bisa mencapai kapasitas penyimpangan maksimal 70 persen, defisit 10 persen dari batas yang ditetapkan, yaitu 80 persen.
Kemunduran Eropa
Direktur Departemen Eropa Dana Moneter Intenrasional, Alfred Krammer, pada laman IMF, mengatakan, perang telah membawa kemunduran pada ekonomi Eropa yang belum pulih sepenuhnya dari dampak pandemi Covid-19.
“Perang membuat konsumsi dan investasi swasta jauh di bawah perkirakaan sebelum pra-Covid. Lonjakan harga energi dan pangan sekarang sangat mengurangi konsumsi rumah tangga dan ketidakpastian situasi ekonomi akan menghalangi investasi,” kata Krammer.
Baca juga : Pemandangan Kontras Eropa dan Rusia di Tengah Cekikan Krisis Energi
Dampak perang dan ketidakpastian telah terasa di Eropa dan AS. Di Italia, misalnya, semakin banyak warga yang harus mendatangi bank-bank makanan untuk mendapatkan bahan kebutuhan pokok yang semakin tidak terjangkau harganya. Situasi yang sama juga terjadi di Amerika Serikat akibat kenaikan harga bahan bakar minyak yang tak terkendali.
Para pelaku bisnis di Eropa juga menilai perekonomian di Eropa mengarah pada situasi krisis. Stefan Hartung, CEO Bosch – perusahaan teknologi terkemuka Jerman, dikutip dari laman CNBC, menilai, perekomian dunia tengah mengarah pada resesi besar.
Inflasi yang tinggi karena meroketnya harga bahan bakar minyak dan harga bahan pangan telah membuat konsumen berpikir ulang untuk menggunakan dana yang dimilikinya. Lonjakan yang terjadi karena perang di Ukraina juga terjadi bersama-sama dengan guncangan pasokan yang timbul akibat kebijakan nol-Covid di China.
Kepala Tim Ekonomi Bank Berenberg-Jerman, Holger Schmieding mengatakan, memburuknya situasi di China dan konsumen yang menahan pengeluarannya sebagai reaksi atas harga energi dan pangan yang tinggi telah menyebabkan kontraksi yang tinggi. “Embargo langsung pada impor gas dari Rusia dapat mengubahnya menjadi resesi yang lebih serius,” katanya.
Baca juga : Dewa-dewa Perang dan Rakyat yang Modar
Mark Branson, Presiden Regulator Keuangan Jerman BaFin, mengatakan,setiap eskalasi militer di Ukraina atau gangguan pasokan energi lebih lanjut dapat menimbulkan risiko serius terhadap pertumbuhan ekonomi terbesar Eropa. Sektor industri adalah yang paling rentan terkena dampaknya.
“Kami sudah melihat bahwa pertumbuhan turun menjadi sekitar nol di banyak yurisdiksi (wilayah/negara), termasuk di sini (Jerman). Dan itu adalah hal yang sangat rentan,” ujarnya. (AP/AFP/REUTERS)