Darurat Nasional Jelang Pilpres di Parlemen Sri Lanka
Hancurnya ekonomi dan keuangan Sri Lanka menjadi tantangan berat bagi pemimpin baru negara itu. Jika salah urus, negara itu bisa terdorong lebih ke dalam kehancuran.
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·3 menit baca
COLOMBO, SENIN — Penjabat Presiden Sri Lanka Ranil Wickremesinghe kembali memberlakukan keadaan darurat nasional sejak Minggu (17/7/2022) malam. Hal itu dilakukannya demi ”kepentingan keamanan publik” menjelang pemilihan presiden baru oleh parlemen guna menggantikan Gotabaya Rajapaksa yang mengundurkan diri dalam pelarian di Singapura.
Wickremesinghe yang merupakan perdana menteri itu telah mengumumkan keadaan darurat pekan lalu setelah Rajapaksa melarikan diri dari Sri Lanka ke Maladewa dan berlanjut ke Singapura. Langkah itu untuk menghindari kerusuhan rakyat melawan pemerintah Wickremesinghe, tetapi belum diberitahukan ataupun diumumkan resmi.
Politisi kawakan di panggung politik Sri Lanka selama lebih dari empat dekade itu paling diunggulkan menjadi presiden. Tokoh yang sudah enam kali sebagai perdana menteri didukung oleh partai yang berkuasa, partainya, Rajapaksa.
Kandidat utama lainnya adalah Sajith Premadasa, pemimpin oposisi utama Samagi Jana Balawegaya (SJB). Dullas Alahapperuma, seorang anggota senior di parlemen dari partai berkuasa yang menjabat sebagai menteri media massa dan juru bicara kabinet, juga dijagokan untuk menggantikan Rajapaksa.
Aparat polisi dan militer telah meningkatkan keamanan menjelang pemungutan suara di parlemen pada Rabu (20/7/2022). Presiden baru akan memilih perdana menteri baru dan menjalankan sisa jabatan Rajapaksa hingga 2024.
Wickremesinghe muda pernah dipuji (mendiang) Presiden JR Jayawardana, tokoh yang dianggap sebagai salah satu otak politik terbesar dalam sejarah Sri Lanka. Saat itu Jayawardana mengangkatnya sebagai menteri urusan pemuda dan ketenagakerjaan dan jabatan lainnya.
Seandainya terpilih menjadi presiden, Wickremesinghe yang dikenal sebagai ”pemimpin rakyat yang matang dan mumpuni” itu tidak serta-merta akan mudah memimpin Sri Lanka keluar dari krisis. Selain tantangan ekonomi yang berat, ia juga harus mengelola persoalan politik yang tak mudah.
Jika salah arah dan salah strategi, Wickremesinghe bisa tumbang di tengah jalan. Apalagi publik menilainya sebagai bagian dari rezim Rajapaksa. Para pengunjuk rasa telah menyerukan bahwa tidak hanya Rajapaksa, tetapi Wickremesinghe juga harus mundur.
Sri Lanka yang secara politik dikuasai klan Rajapaksa selama dua dekade terakhir sedang dalam kondisi tak berdaya. Ekonomi negara itu sedang mengalami krisis parah. Dengan akumulasi utang luar negeri per April 2022 sebesar 51 miliar dollar AS atau lebih-kurang Rp 762,8 triliun, Sri Lanka gagal membayar utang jatuh tempo.
Bank Dunia mencatat, jumlah warga miskin Sri Lanka meningkat dari 10,9 persen pada April 2021 menjadi 11,7 persen pada April 2022. Total jumlah penduduknya sebanyak 22 juta jiwa. Lonjakan kemiskinan ini akibat ambruknya ekonomi dan nihilnya uang tunai untuk membayar barang pokok impor.
Kini, tiga bulan setelahnya, situasinya lebih buruk lagi. Warga kian menderita akibat kesulitan makanan, bahan bakar, obat-obatan, bahan bangunan, dan listrik. Lembaga keuangan ambruk. Sebagian sekolah dan kantor ditutup demi penghematan biaya operasional.
Sri Lanka tengah mencari dana talangan untuk menyelamatkan perekonomiannya. Salah satu alternatifnya adalah injeksi dari Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, pembicaraannya masih terhenti.
Dengan berbagai persoalan yang telah lama menumpuk, besar kemungkinan gejolak sosial dan politik akan terus melanda Sri Lanka. Besar kemungkinan juga gelombang unjuk-rasa akan terus berlanjut jika pemerintahan baru tak bisa segera memberikan solusi jangka pendek untuk berbagai persoalan konkret yang dialami masyarakat. (AFP/AP/REUTERS)