Kepulauan Pasifik Berusaha Bertahan di Tengah Keretakan
Kepulauan Pasifik menghadapi tantangan terbesar, yaitu krisis iklim. Mereka harus mencari cara tetap kompak meskipun lima negara telah keluar dari forum.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
AFP/POOL/WILLIAM WEST
Perdana Menteri Fiji Frank Bainimarama (kiri), Sekretaris Jenderal Forum Kepulauan Pasifik Henry Puna (tengah), dan Presiden Federasi Negara-negara Mikronesia David Panuelo berswafoto saat Forum Kepulauan Pasifik di Suva, Fiji, 14 Juli 2022.
SUVA, MINGGU — Negara-negara di Kepulauan Pasifik berupaya mempertahankan kekompakan di tengah goncangan yang menerpa. Pekan lalu, Kiribati mengeluarkan diri dari Forum Kepulauan Pasifik atau PIF. Meskipun demikian, masih ada sejumlah isu yang bisa merekatkan keretakan, misalnya mitigasi perubahan iklim.
”Persoalan krisis iklim, terutama pemanasan global, ini nyata dan jauh lebih terasa dibandingkan berbagai konflik kepentingan politik. Ini tetap bisa menjadi jembatan kerja sama seluruh negara di Kepulauan Pasifik,” kata Sarina Theys, dosen hubungan internasional di Universitas Pasifik Selatan (USP) di Suva, Fiji, kepada BBC, Sabtu (16/7/2022).
Kepulauan Pasifik terdiri dari negara-negara kepulauan kecil. Mereka menghadapi langsung dampak pemanasan global seperti banjir rob, angin puting beliung, dan semakin banyak pulau yang tenggelam akibat naiknya permukaan air laut. Fiji, misalnya, dihantam angin topan parah di tahun 2016. Kerugian yang dialami negara itu setara dengan sepertiga pendapatan domestik bruto tahun tersebut.
Sementara di Kiribati tengah berlangsung kemarau panjang dan serius. Wakil Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kiribati, Nick Chudeau, mengutarakan kepada media Stuff bahwa persediaan air bersih negara itu hanya cukup hingga akhir Agustus. ”Selain semakin berkurangnya sumber-sumber air, sumur-sumur yang ada terkontaminasi air laut dan payau sehingga tidak layak diminum,” ujarnya.
Chudeau menjelaskan, persoalan penanganan dampak perubahan iklim dan mitigasi risiko yang akan datang melebihi persoalan politik mana pun. Kerja sama seluruh 18 negara yang ada di kawasan ini dibutuhkan, terlepas secara politik setiap negara pro-China ataupun pro-Barat.
Para pemimpin negara bersiap untuk foto bersama pada Forum Kepulauan Pasifik (PIF) di Suva, Fiji, 14 Juli 2022.
Kehilangan
PIF dibentuk pada tahun 1971 sebagai asosiasi kerja sama negara dan bangsa di Pasifik. Aslinya, ada 18 negara dan bangsa yang bergabung. Australia dan Selandia Baru adalah anggota terkaya dan paling terkenal di dunia. Selain mereka, anggota lain di antaranya Fiji, Papua Niugini, Kepulauan Solomon, Tuvalu, Vanuatu, Tonga, dan Samoa.
Namun, pergolakan internal entitas ini mengakibatkan PIF kehilangan lima anggota pada kurun 2021-2022. Kawasan Pasifik memiliki tiga kelompok etnik mayoritas, yaitu Mikronesia, Melanesia, dan Polinesia. Dalam pendirian PIF, ada perjanjian tidak tertulis yang menyebutkan, posisi sekretaris jenderal akan dirotasi di antara calon dari setiap kelompok etnis.
Tahun 2021 sejatinya giliran perwakilan dari etnis Mikronesia yang menjabat. Negara-negara dengan mayoritas etnis ini mengajukan jagoan mereka, yakni Duta Besar Kepulauan Marshall untuk Amerika Serikat Gerald Zackios. Akan tetapi, forum tidak menggubris dan mengangkat Henry Puna dari Kepulauan Cook sebagai sekjen. Puna berasal dari etnis Polinesia.
Marah karena merasa diabaikan, negara-negara berpenduduk etnis Mikronesia keluar dari PIF. Pada tahun 2021, yang keluar adalah Nauru, Palau, Kepulauan Marshall, dan Federasi Mikronesia.
Situasi ini membuat PIF terguncang. Apalagi, posisi mereka strategis sehingga menjadi rebutan antara China dan Amerika Serikat beserta sekutunya. China melalui berbagai program kerja sama ekonomi memberi investasi dan pembangunan infrastruktur di negara-negara Kepulauan Pasifik. Mereka turut menawarkan pakta pertahanan, tetapi ditolak oleh mayoritas negara Pasifik, kecuali Kepulauan Solomon.
Penampil dari etnis Aborigin memainkan didgeridoo saat peluncuran Strategi 2050 pada Forum Kepulauan Pasifik di Suva, Fiji, 14 Juli 2022.
Pada 11 Juli, Presiden Kiribati Taneti Maamau mengumumkan negaranya memutuskan keluar dari PIF. Ia mengabarkan tepat sehari sebelum kongres ke-51 PIF di Fiji berlangsung. Praktis, berbagai omongan miring mengenai peristiwa ini terjadi dengan dugaan terkuat Kiribati hendak berpihak kepada China. Bahkan, politikus dalam negeri, termasuk Presiden Kiribati periode 2003-2016 Anote Tong mengutarakan dugaan serupa ketika berbicara dengan Radio New Zealand.
Pemerintah Kiribati panas mendengar komentar-komentar tersebut. Kepada koran nasional China, Global Times, Sekretaris Kementerian Luar Negeri dan Imigrasi Kiribati Michael Foon mengatakan, sejak 2021, Kiribati bermaksud keluar dari PIF bersama empat negara etnis Mikronesia lainnya.
”Jangan pakai narasi Kiribati sebagai negara tidak berdaulat dan tidak mampu mengambil keputusan sendiri. Kiribati sudah lama tidak cocok dengan agenda PIF,” tuturnya.
Perdana Menteri Fiji Voreqe ”Frank” Bainimarama berusaha menenangkan suasana. Dalam wawancara dengan surat kabar The Fiji Times, ia menerangkan PIF menerima dan menghormati keputusan Kiribati. Meskipun begitu, ia menyayangkan negara-negara Mikronesia memilih keluar dari PIF, bukannya berdiskusi lebih lanjut mengenai permasalahan yang mereka alami.
”Walaupun begitu, Kepulauan Pasifik adalah satu keluarga abadi, terlepas ada PIF ataupun tidak. Persaudaraan dan kerja sama pasti terus berjalan,” katanya.