Bicara Lima Jam, Menlu AS-China Sepakat Bersaing Penuh Tanggung Jawab
Pertemuan bilateral Amerika Serikat dan China di Bali, Sabtu (9/7/2022), berlangsung lima jam. Ada banyak perbedaan. Namun, kedua pihak berkomitmen mengelola hubungan kompetitif dengan tanggung jawab lewat diplomasi.
Oleh
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
·3 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS — Pertemuan bilateral Amerika Serikat dengan China di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Sabtu (9/7/2022), berlangsung selama lima jam, dari pagi hingga siang. Berbagai isu dibicarakan dan sejumlah perhatian disampaikan dalam sesi yang sepenuhnya tertutup untuk media massa tersebut.
”Hubungan Amerika Serikat (AS) dan China memiliki konsekuensi yang besar bagi kedua negara sekaligus bagi dunia. Kami berkomitmen untuk mengelola hubungan yang kompetitif secara bertanggung jawab melalui diplomasi, sebagaimana dunia harapkan dari kami,” kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dalam keterangan pers setelah pertemuan.
AS dan China, menurut Blinken, berdiskusi tentang bagaimana pemerintah masing-masing melihat posisi hubungan bilateral kedua negara. AS dalam kesempatan itu juga secara langsung menyampaikan pendekatannya terhadap hubungannya dengan China.
Ke depan, AS berharap saluran-saluran komunikasi dengan Beijing dapat terus terbuka.
”Kami berbicara tentang isu-isu mutakhir dan global. Kami juga bicara tentang perang di Ukraina dan program nuklir Korea Utara. Kami berdiskusi tentang kerja sama bagi kedua negara yang masih mungkin dilakukan, termasuk krisis iklim, keamanan pangan, kesehatan global. Ini semua adalah tantangan global yang menuntut partisipasi setiap negara di dunia,” kata Blinken.
Namun, Blinken juga mengakui, ada sejumlah hal di mana kedua negara tidak bersepakat, misalnya soal Taiwan, Hong Kong, Tibet, dan Xinjiang. ”Tak satu pun dari topik ini mudah. Namun, AS selalu berusaha konsisten menjadi suara hak asasi manusia, kebebasan mendasar. Ini tidak untuk melawan China atau negara mana pun, tetapi untuk membantu mempertahankan perdamaian, keamanan, dan martabat manusia,” kata Blinken.
Terlepas dari kompleksitas hubungan AS-China, Blinken menekankan, pertemuan memberikan manfaat dan konstruktif. ”Ke depan, AS berharap saluran-saluran komunikasi dengan Beijing dapat terus terbuka. Dan, seperti biasanya, kami berkomitmen untuk menjaga dan mengembangkan kepentingan masyarakat Amerika dan nilai-nilai Amerika dalam semua hubungan kami dengan Beijing,” katanya.
Reuters memberitakan, Wang dalam pertemuan menyampaikan pandangan China yang mendalam terkait isu Ukraina. Meski demikian, pernyataan dari Kementerian Luar Negeri China ini tidak memberikan elaborasi lebih lanjut.
Wang juga menyampaikan kepada Blinken bahwa arah hubungan AS-China dalam bahaya menuju kesesatan lebih jauh karena persepsi AS terhadap China. ”Banyak orang percaya bahwa AS menderita serangan Sinofobia serius,” kata Wang.
Terkait perang dagang, Wang mengatakan, Washington semestinya membatalkan secepatnya tarif tambahan yang dikenakan terhadap produk-produk impor dari China. Ia juga meminta AS untuk mencabut sanksi unilateral atas perusahaan-perusahaan China.
Diplomat AS untuk Asia Timur pada masa Presiden Barack Obama, Daniel Russel, yang dekat dengan pemerintahan Joe Biden, mengatakan, penting menjajaki kemungkinan pertemuan langsung antara Biden dan Xi Jinping. Pertemuan perdana kedua pemimpin sebagai kepala negara kemungkinan akan terjadi pada pertemuan bilateral di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada November.
Sementara itu, terkait perang Rusia-Ukraina, Blinken dalam pertemuan juga menyampaikan kritiknya terhadap China yang beraliansi dengan Rusia.
”Saya menyampaikan kekhawatiran AS atas China yang bersekutu dengan Rusia. Apa yang Anda dengar dari Beijing adalah bahwa mereka netral. Saya memulainya dengan dalil bahwa sangat sulit untuk menjadi netral ketika terjadi agresi seperti itu,” kata Blinken menjawab pertanyaan wartawan dalam keterangan pers.
Agresornya, Blinken melanjutkan, jelas. Korbannya juga jelas. Tantangan-tantangan yang ditimbulkannya pun jelas, tidak hanya bagi kehidupan rakyat Ukraina, tetapi juga terhadap tata dunia internasional. Oleh sebab itu, sulit untuk menjadi netral dalam konteks perang Rusia-Ukraina.
”Sekalipun kita terima premis itu, saya pikir cara-cara China terlibat tidak menunjukkan netralitas. China mendukung Rusia di PBB. China mengamplifikasi propaganda Rusia,” kata Blinken.
Bahkan, ketika Rusia menggencarkan serangan ke Ukraina, Blinken memberi contoh, Presiden China Xi Jinping memilih untuk mengumumkan kebijakan ”kemitraan tanpa batas” dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada pembicaraan lewat telepon pada 13 Juni.
”Bukankah ini bentuk dukungan terhadap keputusan itu (Moskwa). Sekarang, sudah lebih dari empat bulan (serangan Rusia ke Ukraina). China masih mendukung Rusia,” kata Blinken.