FBI dan MI5 Tuduh China Mencuri Data Perusahaan Global
Etika bisnis China selalu memancing pertanyaan global. Kali ini, intelijen dua negara adikuasa mengatakan justru Pemerintah China sendiri yang melakukan peretasan data siber.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
LONDON, KAMIS - Intelijen Inggris dan Amerika Serikat mengeluarkan pernyataan gabungan yang mengatakan bahwa Pemerintah China melakukan berbagai spionase korporasi secara global guna mencuri teknologi yang dimiliki negara-negara lain. Barat mewanti-wanti perusahaan yang bekerja sama dengan China ataupun membuka kantor cabang di China berhati-hati atas risiko peretasan.
Direktur Biro Penyelidikan Federal AS (FBI) Christopher Wray dan Direktur Jenderal Badan Intelijen Domestik Inggris (MI5) Ken McCallum mengeluarkan pernyataan bersama itu di London, Inggris, pada hari Rabu (6/7/2022). “Pemerintah China merupakan ancaman bagi ekonomi AS, Eropa, dan negara-negara sahabat kita,” kata Wray.
Ia menjelaskan, biasanya, rahasia perusahaan atau teknologi suatu negara dicuri oleh peretas ataupun perusahaan spionase. FBI, MI5 umumnya bekerja sama dengan negara tempat peretas berdomisili untuk membekuk mereka.
Namun, di China, justru pemerintahnya yang melancarkan serangan siber dalam skala global. Hal ini membuat tindakan China sukar dibendung karena menjadi isu keamanan dan politik internasional. Penegak hukum internasional kesulitan menangkap karena pelaku pelanggarannya adalah pemerintah di negara itu sendiri.
Menurut Wray, intelijen China menerapkan langkah yang bertahap dan lama untuk mendekati sasaran. Setelah memperoleh celah, baru China mengambil informasi sedikit demi sedikit. Ini membuat para korban pencurian data tidak menyadari bahwa mereka telah diincar selama berbulan-bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun.
“Mereka (Pemerintah China) mencuri teknologi yang membuat usaha Anda unik dan berfungsi. Data curian ini dipakai untuk membuat usaha tandingan bagi bisnis-bisnis global. Ini melahirkan persaingan usaha yang tidak sehat,” ujarnya.
McCallum mengatakan, mengatasi persaingan usaha global bukan kewenangan lembaga intelijen suatu negara. FBI dan MI5 hanya membeberkan fakta bahwa terjadi pencurian data besar-besaran. Akan tetapi, keputusan untuk melawan peretasan itu dan pengembangan teknologi perlindungan data pribadi dan perusahaan berada di tangan korporasi.
Masalah kebocoran data di China merupakan momok bagi perusahaan internasional, termasuk yang berasal dari China. Tahun lalu, Pemerintah China mengeluarkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. UU ini bersifat kontradiktif karena di satu sisi bertujuan memastikan data pribadi tidak dimanipulasi oleh korporasi, terutama untuk bombardir iklan. Akan tetapi, ada pasal yang mewajibkan semua perusahaan yang beroperasi di China harus menyerahkan data mereka kepada pemerintah.
Negara akan melihat dan memilah data tersebut untuk mencari apabila ada konten- ataupun pengguna yang dinilai tidak sesuai dengan aturan keamanan setempat. Jika negara menemukannya, pemilik konten maupun perusahaan yang menyimpan data itu bisa dikenakan sanksi. Akibat undang-undang ini, Yahoo, Microsoft, dan LinkedIn memilih angkat kaki dari China. Mereka juga menutup segala jenis layanan internet yang bisa diakses dari China dengan alasan melindungi data para pengguna.
Menanggapi pernyataan FBI dan MI5, Juru Bicara Kedutaan Besar China di Washington, AS, Liu Pengyu mengeluarkan sanggahan. “Tuduhan ini sama sekali tidak benar. Justru, China sangat anti terhadap berbagai serangan siber,” tuturnya.
Surat kabar nasional China, Global Times juga segera menerbitkan tajuk rencana. Dikatakan bahwa Barat terus berusaha mendiskreditkan China karena tidak menyukai pertumbuhan ekonomi yang pesat. Kekuatan ekonomi China telah menyaingi AS dan Eropa sekaligus. Apalagi, China kini menjadi penanam modal nomor satu di berbagai negara berkembang. Hal ini menyaingi pengaruh politik Barat dan sekutunya. (AP)