Perdebatan Bakal Panas, Penting bagi RI Mengontrol Agenda Pertemuan Menlu G20
Pertemuan para menlu G20 di Bali, 7-8 Juli 2022, diperkirakan bakal menjadi ajang perdebatan panas dalam berbagai isu global, termasuk konflik Rusia-Ukraina.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertemuan menteri luar negeri G20 diperkirakan akan menjadi ajang perdebatan panas mengenai isu-isu global, termasuk isu terkini perang Ukraina-Rusia, dalam pertemuan para menteri luar negeri G20 di Bali, 7-8 Juli 2022. Kemampuan Indonesia selaku tuan rumah dan ketua G20 dalam mengelola jalannya pertemuan bakal menentukan apakah pertemuan itu bakal menghasilkan sesuatu yang produktif atau sebaliknya, kontraproduktif.
Dalam pertemuan tersebut, akan hadir Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, Menlu Rusia Sergey Lavrov, dan Menlu China Wang Yi. Ajang ini akan menandai untuk pertama kalinya Blinken dan Lavrov berada di ruangan yang sama di kota yang sama sejak Januari 2022. Tidak ada indikasi keduanya akan bersua secara bilateral di sela-sela pertemuan.
Peneliti isu hubungan internasional pada Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Andrew Mantong, mengatakan, penting bagi Indonesia untuk mengontrol agenda pertemuan para menlu G20. ”Kita bisa mengontrol agenda, tetapi kita tidak bisa mengontrol pertemuan atau ajang sampingannya,” katanya saat diminta tanggapan mengenai pertemuan tersebut.
”Yang harus dilakukan Indonesia adalah menggalang kekuatan-kekuatan yang punya persepsi serupa dengan Indonesia dalam memandang konfliknya dan mengupayakan solusi yang lebih visible untuk berbagai isu yang sudah ditetapkan oleh negara-negara ini,” jelas Andrew.
Departemen Luar Negeri AS mengatakan, tidak akan ada pertemuan formal antara Blinken dan Lavrov. ”Kami ingin melihat Rusia serius dalam diplomasi. Itu belum kami lihat. Kami ingin agar Rusia memberi kami alasan untuk bertemu secara bilateral dengan mereka, dengan Menteri Luar Negeri Lavrov, tetapi satu-satunya hal yang kami lihat dari Moskwa adalah lebih banyak kebrutalan dan agresi terhadap rakyat dan negara Ukraina,” kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price.
Pemerintahan Biden menyatakan, ”bisnis tidak lagi berjalan seperti biasa” dengan Moskwa selama perang berlanjut. Meski demikian, Price dan pejabat AS lainnya tidak mengesampingkan kemungkinan pertemuan Blinken-Lavrov di Bali. Andai hal itu terjadi, pertemuan tersebut akan menjadi kali pertama bagi keduanya sejak mereka terakhir bertemu di Geneva, Swiss, pada Januari 2022. Price menolak untuk membahas apa yang disebutnya ”koreografi” G20 hingga akhirnya dua pihak bisa bertemu.
Sebaliknya, Blinken disebut akan mengadakan pembicaraan terpisah dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi. Selain bertemu Wang, di Bali Blinken akan menggelar sejumlah pertemuan bilateral dengan negara-negara yang tidak sepandangan dengan Barat mengenai invasi Rusia, terutama India. India sebelumnya telah meningkatkan pembelian minyak ke Rusia, sementara AS dan Eropa berupaya mengisolasi Rusia.
Hampir dapat dipastikan, pertemuan di Bali nanti akan dibayangi oleh perdebatan dan adu pandangan dalam banyak persoalan. Namun, tidak seperti KTT G7 dan NATO yang didominasi kepentingan Barat, pertemuan G20 diharapkan akan memiliki sudut pandang dan kepentingan yang beraneka.
China dan banyak peserta lainnya, termasuk India, Afrika Selatan, dan Brasil, telah menolak mengikuti langkah AS dan Eropa dalam menyikapi invasi Rusia. Beberapa pihak juga menolak mentah-mentah permohonan Barat untuk ikut mengecam keras Rusia dalam konflik tersebut, AS dan sekutunya melihat tindakan Rusia sebagai serangan terhadap tatanan internasional yang telah berlaku sejak akhir Perang Dunia II.
Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan akan ada kesulitan dalam mencapai konsensus G20 tentang bagaimana upaya untuk mengurangi dampak pangan dan energi akibat konflik Rusia-Ukraina. AS ingin G20 menempatkan inisiatif yang didukung PBB dalam upaya membebaskan sekitar 20 juta ton biji-bijian Ukraina untuk ekspor, terutama ke Timur Tengah, Afrika, dan Asia.
”Kami ingin G20 meminta pertanggungjawaban Rusia dan bersikeras bahwa mereka mendukung inisiatif ini,” kata Ramin Toloui, Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Ekonomi dan Bisnis.
Sementara sejumlah negara, termasuk tuan rumah G20 Indonesia, mendorong Rusia untuk mengurangi blokadenya di Laut Hitam guna memungkinkan biji-bijian memasuki pasar global. Perbedaan-perbedaan itu diperkirakan bakal terus mewarnai hingga KTT G20, November mendatang, yang akan dihadiri para pemimpin negara G20.
Pertemuan AS-China
Pertemuan AS dan China juga diperkirakan akan berlangsung sengit di tengah ketegangan hubungan AS-China saat ini. Seperti diketahui, selama ini AS dan China berselisih atas berbagai masalah, mulai dari perdagangan, hak asasi manusia, isu Taiwan, dan sengketa di Laut China Selatan.
Sebelumnya, utusan perdagangan China dengan Washington menyatakan keprihatinannya tentang tarif AS atas impor China melalui Menteri Keuangan AS Janet Yellen via telepon.
Dalam pertemuannya nanti, para pejabat AS mengatakan, Blinken akan mendesak China untuk menjaga jalur komunikasi tetap terbuka. ”Sangat penting bahwa kami memiliki jalur komunikasi terbuka dengan rekan-rekan China kami, terutama di tingkat pejabat senior untuk memastikan bahwa kami mencegah kesalahan perhitungan yang dapat menyebabkan konflik dan konfrontasi secara tidak sengaja,” kata Daniel Kritenbrink, Asisten Menlu AS untuk Urusan Asia Pasifik.
Washington dan Beijing tengah mempersiapkan pertemuan antara Presiden AS Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping. Biden terakhir berbicara melalui telepon dengan Xi pada bulan Maret 2022 untuk membahas Ukraina. AS mengecam keras dukungan Beijing pada Rusia. Selain itu, juga muncul kekhawatiran AS terhadap China pada isu Taiwan. Biden beberapa waktu lalu menyatakan akan membela Taiwan jika China menyerang Taiwan.
Peneliti isu hubungan internasional pada Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Andrew Mantong, mengatakan bahwa sesuai sifatnya, G-20 adalah forum konsultasi ekonomi sehingga sudah seharusnya agenda forum adalah membicarakan persoalan ekonomi yang telah ditentukan. Termasuk salah satunya adalah mengembalikan suplai pangan dari Rusia dan Ukraina masuk kembali ke rantai pasok dunia.
”Dalam koridor mengembalikan rantai pasok pangan Rusia dan Ukraina kembali masuk ke rantai pasok dunia, saya pikir hal ini memang harus dibicarakan terbuka. Ada cost untuk menjadi lebih transparan. Mungkin bisa jadi akan panas asalkan koridornya tetap ekonomi seperti yang direncanakan, maka itu tidak masalah,” kata Andrew.
Bahkan, menurut dia, ada bagusnya dalam kerangka multilateral, hal itu dibicarakan secara terbuka agar semua pihak mempunyai insentif untuk membahas masalah itu secara lebih tansparan. Namun, tidak bisa dihindari jika nanti AS atau negara lain akan menggunakan forum G20 untuk mendesakkan pengaruh dan kepentingan masing-masing.
”Di sana tidak menutup kemungkinan Amerika akan menggunakan forum untuk menggalang dukungan negara lain terhadap upaya mengecam keras Rusia atas tindakannya,” kata Andrew.
”Memang ini harus dikembalikan dengan sifat naturalnya G20. Ini adalah forum konsultasi ekonomi, bukan Dewan Keamanan PBB yang keputusannya mengikat. Jadi, yang akan terjadi di G20 nanti adalah satu sama lain saling mempersuasi. Dengan demikian, setiap pihak bebas menerima atau menolak ajakan itu,” kata Andrew. Yang penting bagi Indonesia, menurut dia, adalah target pertemuan tersampaikan dan tercapai. (AFP/AP/REUTERS)