Gerilya Para Penentang Perang
Tidak semua warga Rusia sepakat dengan keputusan Kremlin menginvasi Ukraina. Memanfaatkan ruang kebebasan yang sempit, mereka menyebarluaskan pesan antiperang meski kemudian menjadi incaran aparat keamanan.
Sejak Rusia memutuskan untuk menginvasi Ukraina pada 24 Februari, Anastasia langsung bergerak. Dia menulis berbagai pesan antiperang. Menurut rencana, pesan-pesan itu akan disebarkan di tempat-tempat publik di kota tempat tinggalnya, Perm, di Pegunungan Ural.
”Jangan percaya propaganda yang Anda lihat di televisi. Baca media independen” adalah salah satu pesan yang ditulis Anastasia. Pesan lainnya berbunyi ”Sudah tiga bulan kekerasan dan kematian terus-menerus bersama kami. Jaga dirimu baik-baik”.
Akan tetapi, rencana tinggal rencana. Pesan-pesan itu akhirnya hanya bisa ditempel guru berusia 31 tahun itu di dinding tak jauh dari pintu masuk blok apartemen tempat tinggalnya.
”Saya tidak bisa melakukan sesuatu yang besar dan (dibaca) langsung oleh masyarakat umum. Tapi, saya ingin membuat orang yang membaca pesan-pesan ini berpikir (tentang perang dan kekejaman serta dampaknya),” kata Anastasia. Dia menambahkan, sesempit apa pun ruang tersedia, tetap harus dicoba untuk dimasuki pesan-pesan antiperang.
Baca juga : Anak-anak Kembali Jadi Korban Perang Ukraina-Rusia
Hal itulah pula yang dilakukan Sasha Skochilenko, seniman dan musisi berusia 31 tahun. Dia menyebarkan pesan antiperang dengan mengganti lima label harga di sebuah supermarket di St Petersburg.
”Anggota wajib militer Rusia sedang dikirim ke Ukraina. Nyawa anak-anak kita adalah harga dari perang ini”, bunyi pesan kecil yang ditempelkannya di salah satu barang di supermarket tersebut.
Terpengaruh
Sophia Subbotina, rekan Skochilenko, mengatakan, temannya sangat terpengaruh oleh perang yang saat ini terjadi dan membumihanguskan banyak kota di Ukraina. Skochilenko, kata Subbotina, memiliki kawan dekat yang kini masih berada di Kyiv dan berlindung di stasiun kereta bawah tanah. Dari kawannya itulah Skochilenko mendapat gambaran situasi dan kengerian akibat perang.
Tidak sekadar mendengar kabar dari kawan dekatnya, Skochilenko juga pernah tinggal selama beberapa waktu di Ukraina pada tahun 2020. Di negara itu, Skochilenko menularkan kemampuannya berakting dan membuat film kepada anak-anak muda Ukraina.
”Dia memiliki kekhawatiran bagaimana konflik itu akan memengaruhi mantan anak didiknya. Dia benar-benar takut hidup anak-anak ini dalam bahaya karena perang, bom jatuh pada mereka, dan dia tidak bisa tinggal diam,” kata Subbotina.
Seperti halnya Skochilenko, Sergei Besov, seorang seniman, juga tak bisa tinggal diam. Karya-karyanya yang mencerminkan sikapnya yang menentang perang atau situasi politik di Rusia sudah sering kali digunakan dalam berbagai demonstrasi.
Baca juga : Kisah Patah Hati Kaum Ibu dan Anak-anak Ukraina
Saat Presiden Rusia Vladimir Putin berupaya mengamendemen konstitusi agar memiliki peluang untuk berkuasa lebih lama, Besov menggunakan mesin cetak lamanya yang besar dengan tinta merah menyala untuk memproduksi poster yang bertuliskan ”Menentang”.
Proyeknya, Partisan Press, mulai membuat sejumlah poster yang berisi pesan antiperang. Poster ”Tidak untuk Perang” yang proses pembuatannya direkam dan diunggah ke media sosial sangat populer di platform Instagram. Poster-poster yang mengadopsi pesannya pun banyak digunakan para aktivis antiperang saat berdemonstrasi di Lapangan Merah. ”Setelah beberapa orang yang menggunakannya ditangkap, polisi pasti akan mendatangi kami,” ujar Besov.
Polisi memang muncul di tempat Besov berkegiatan. Namun, mereka tidak berhasil menangkap dia. Namun, dua staf yang mencetak poster tersebut dituduh melawan pemerintah karena poster itu digunakan dalam demonstrasi antiperang. Selama lebih dari tiga bulan mereka bertanya-tanya apakah kasus ini akan diteruskan ke meja hijau atau sebaliknya.
Tindakan mengganti label harga dengan pesan protes atau menempel poster berisi perang antiperang di dinding apartemen tempat tinggal adalah bagian dari upaya meningkatkan kesadaran bahwa perang memberi dampak buruk dan merusak. Tidak hanya kerugian material, dampak psikologis berupa trauma berkepanjangan sangat mungkin terjadi pada orang-orang dan terutama anak-anak yang menyaksikan peperangan di depan mata.
Baca juga : Keindahan Sirna di Mata Anak-anak Muda Ukraina (Bagian 16)
Tidak semua rakyat Rusia menyetujui keputusan Kremlin dan Presiden Putin untuk menginvasi Ukraina, yang disebut operasi militer khusus untuk pembebasan wilayah Luhansk dan Donetsk yang dikuasai kelompok separatis pro-Rusia sejak 2014, pasca-aneksasi Semenanjung Crimea.
Akan tetapi, di bawah undang-undang media yang baru, yang disahkan tak lama setelah invasi Rusia ke Ukraina dimulai, berbagai ”suara yang berbeda” dengan kebijakan Kremlin mendapat tekanan. Mereka dibungkam.
Pada hari-hari awal invasi di musim dingin pada Februari, pihak berwenang bergerak cepat untuk menghentikan demonstrasi, menangkap orang-orang yang ikut serta dalam barisan. Orang-orang yang memegang spanduk atau poster kosong pun ikut ditahan. Apalagi yang berbicara dengan suara lantang.
Kremlin berupaya mengelola berita yang keluar dari media. Media yang digawangi penerima Nobel Perdamaian, Dmitry Muratov, Novaya Gazeta, juga terkena getahnya dan terpaksa menghentikan operasional hingga perang di Ukraina berakhir. Muratov dan redaksi menerima peringatan dari Roskomnadzor, regulator komunikasi Rusia, tentang substansi agresi Rusia di Ukraina yang ditayangkan di media cetak dan daring Novaya Gazeta.
Muratov mengatakan, keputusan itu sulit, tetapi harus diambil. ”Tidak ada pilihan lain. Bagi kami, dan saya tahu, bagi Anda, ini keputusan yang buruk dan sulit,” tulis Muratov dalam situs Novaya Gazeta.
Kegiatan atau tindakan yang dilakukan Muratov, Novaya Gazeta, dan Skochilenko adalah tindakan yang dalam pandangan parlemen dan Pemerintah Rusia bertentangan serta meremehkan militer. Pemerintah Rusia menggunakan berbagai aturan bahwa menulis dan menyebarluaskan informasi tentang perang yang bertentangan dengan pemerintah adalah bagian dari penyebaran informasi palsu.
Situasi itu membuat Anastasia merasa bersalah karena tidak bisa berbuat lebih banyak untuk menentang perang yang kejam. Karena menilai dirinya tidak mampu berbuat lebih dalam menghentikan perang, Anastasia sempat terpikir untuk menjual semua harta miliknya dan pindah ke luar negeri, meninggalkan Rusia.
”Ini negara saya, mengapa saya harus pergi? Saya mengerti saya harus tinggal dan menciptakan sesuatu untuk membantu dari sini,” katanya.
Lihat juga : Potret Anak Pengungsi Korban Perang di Ukraina
Besov berhenti mencetak poster yang berisi pesan ”Tidak untuk Perang”. Namun, dia memilih menggunakan frasa lain yang tersurat untuk mengirim pesan antiperang. Dia menganggap penting untuk terus berbicara.
Skochilenko menghadapi hukuman 10 tahun penjara atas tuduhan menyebarkan informasi palsu tentang tentara Rusia. ”Sangat mengejutkan bagi kami bahwa mereka (pemerintah) mengkriminalisasi para penentang perang dengan hukuman yang mengerikan, 5-10 tahun. Sementara di negara ini hukuman yang lebih pendek dijatuhkan untuk pembunuhan,” kata Subbotina. (AP)