Menlu Rusia Sergey Lavrov melawat ke beberapa negara Asia guna mencari dukungan di tengah isolasi Rusia oleh sanksi Barat. Lavrov akan menghadiri pertemuan para menlu kelompok G20 di Bali, 7-8 Juli 2022.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·5 menit baca
HANOI, SELASA — Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov terbang ke Hanoi pada Selasa (5/7/2022) untuk kunjungan dua hari di Vietnam sebelum menuju pertemuan G20. Lavrov akan berpartisipasi dalam pertemuan para menteri luar negeri G20 pada 7-8 Juli di Bali.
Pemerintah Vietnam menyatakan, Lavrov berkunjung atas undangan Menteri Luar Negeri Vietnam Bui Thanh Son untuk menandai 10 tahun kemitraan strategis komprehensif Vietnam-Rusia. Kedua negara memiliki hubungan dekat sejak era Uni Soviet. Rusia merupakan pemasok senjata terbesar Vietnam. Perusahaan-perusahaan Rusia juga terlibat dalam beberapa proyek energi di negara itu. Perdagangan antara Vietnam dan Rusia naik 25 persen tahun lalu menjadi 7,1 miliar dollar AS.
Sejauh ini, Vietnam tidak mengecam invasi Rusia ke Ukraina. Pada April, Vietnam memberikan suara menolak resolusi untuk menangguhkan keanggotaan Rusia dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Sebelum menuju Vietnam, Lavrov bertemu dengan para pemimpin di Mongolia dalam lawatan ke Asia guna mencari dukungan di tengah isolasi Rusia oleh sanksi Barat. Lavrov bertemu Menteri Luar Negeri Mongolia Battsetseg Batmunkh dan menelepon Presiden Ukhnaagiin Khurelsukh.
Mongolia berada di antara Rusia dan China serta berupaya untuk mengelola hubungan baik dengan kedua negara tetangganya itu. Pada saat yang sama, Mongolia juga menjalin hubungan dekat dengan Amerika Serikat.
Invasi Rusia ke Ukraina telah membayangi pelaksanaan acara-acara G20 dan menimbulkan ketegangan di antara negara anggota. Ini terlihat, misalnya, dalam pernyataan Kementerian Luar Negeri Jerman, Selasa, yang menyebutkan pertemuan antara Menlu Annalena Baerbock dan Lavrov tidak akan terjadi dalam pertemuan para menlu G20 itu.
Penaklukan
Di medan perang, pasukan Rusia memfokuskan tujuan berikutnya di Provinsi Donetsk di Ukraina timur setelah mengklaim kemenangan di Provinsi Luhansk. Penaklukan kota Lysychansk pada Minggu menuntaskan penguasaan Rusia atas Luhansk yang bersama Donetsk membentuk wilayah Donbas.
Ini menandai kemenangan terbesar Rusia sejak merebut kota pelabuhan di selatan, Mariupol, pada akhir Mei. Penguasa Darurat Militer Luhansk Serhiy Gaidai mengatakan, seluruh wilayahnya sekarang secara efektif berada di tangan Rusia. ”Kami perlu memenangi perang, bukan bertempur untuk Lysychansk saja. Itu sangat menyakitkan, tetapi kami tidak akan kalah perang,” katanya.
Pasukan Ukraina yang mundur dari Lysychansk, lanjut dia, sekarang menguasai garis antara Bakhmut dan Sloviansk. Mereka bersiap menangkis kemajuan pasukan Rusia lebih lanjut.
Setelah tak bisa menguasai Kyiv dalam serangan awal, Rusia mengalihkan fokus untuk menguasai wilayah Donbas. Putin memerintahkan pasukannya untuk benar-benar beristirahat dan memulihkan kesiapan militer mereka merebut Donetsk.
Di Donetsk saat ini sebagian kota besar masih dikuasai Ukraina. Pasukan Ukraina, Selasa, membuat garis pertahanan baru. Ukraina bertekad mempertahankan Donetsk sekuat tenaga. ”Ini akan menjadi kemenangan terakhir bagi Rusia di wilayah Ukraina,” kata Oleksiy Arestovych, Penasihat Presiden Ukraina, dalam rekaman video.
Selain mempertahankan Donetsk, Ukraina berharap untuk melancarkan serangan balasan di selatan negara itu. ”Dengan mengambil kota-kota di timur, berarti 60 persen pasukan Rusia sekarang terkonsentrasi di timur dan sulit bagi mereka untuk diarahkan ke selatan. Dan, tidak ada lagi kekuatan yang bisa didatangkan dari Rusia. Mereka membayar mahal untuk Sievierodonetsk dan Lysychansk,” ujar Arestovych.
Zelenskyy, Senin, mengatakan, meskipun pasukan ditarik dari Lysychansk, mereka akan terus berjuang. ”Angkatan Bersenjata Ukraina merespons, melawan, dan menghancurkan potensi ofensif penjajah hari demi hari. Ini tugas yang sulit. Butuh waktu dan upaya manusia super, tapi kita tidak punya alternatif,” katanya.
Harapan serangan balik Ukraina sebagain terletak pada penerimaan senjata tambahan dari Barat, termasuk roket yang dapat menetralisasi keunggulan daya tembak Rusia dan mampu menyerang jauh di belakang garis depan. Ini tergantung seberapa cepat pasokan datang. ”Di Barat, tidak ada cukup senjata untuk dipasok. Bagaimanapun ini konflik terbesar sejak 1945. Lebih banyak senjata harus diproduksi. Dan dengan kecepatan sedemikian rupa sehingga saat musim gugur, akan ada satu set senjata yang sangat besar,” ujar Gaidai.
Susah payah
Beberapa ahli militer berpendapat, kemenangan yang diperjuangkan dengan susah payah hanya membawa sedikit keuntungan strategis bagi Rusia. ”Saya pikir ini kemenangan taktis bagi Rusia, tetapi dengan biaya sangat besar,” kata Neil Melvin dari lembaga kajian The Royal United Services Institute yang berbasis di London.
Dia membandingkan pertempuran itu dengan pertempuran besar untuk mendapatkan sedikit keuntungan teritorial yang menjadi ciri Perang Dunia I. ”Butuh waktu 60 hari untuk kemajuan yang sangat lambat. Saya pikir Rusia memang menyatakan menang, tetapi pertempuran kunci belum datang,” ujarnya.
Melvin mengatakan, pertempuran yang menentukan untuk Ukraina kemungkinan akan terjadi bukan di timur tempat Rusia meningkatkan serangan utamanya, melainkan di selatan tempat Ukraina telah memulai serangan balasan untuk merebut kembali wilayah itu.
”Di sinilah kita melihat Ukraina membuat kemajuan di sekitar Kherson. Ada serangan balik dimulai di sana, dan saya pikir kemungkinan besar kita akan melihat momentum ayunan balik Ukraina ketika mereka mencoba melakukan serangan balasan skala besar untuk mendorong Rusia kembali," kata Melvin.
Banyak korban jatuh di kedua pihak dalam memperebutkan Luhansk, terutama selama pengepungan kota kembar Lysychansk dan Sievierodonetsk. Kedua kota itu kini ditinggalkan dalam reruntuhan akibat pengeboman tanpa henti oleh pasukan Rusia.
”Kota itu kini tidak ada lagi,” kata Nina, ibu muda yang mengungsi dari Lysychansk dan berlindung di pusat kota Dnipro.
”Praktis terhapus dari muka bumi. Tidak ada pusat distribusi bantuan kemanusiaan, sudah rusak. Bangunan untuk pusat penampungan juga tidak ada lagi. Sama seperti kebanyakan rumah kami,” tuturnya. (REUTERS)