Petani Belanda Memrotes Kebijakan Pengurangan Emisi
Protes kebijakan pemerintah soal pengurangan emisi, petani Belanda turun ke jalan, Mereka menolak kebijakan yang dinilai akan mengurangi pasokan pupuk dan memangkas jumlah ternak mereka.
AMSTERDAM, SENIN - Petani Belanda marah dan memrotes rencana pemerintah terkait pengurangan emisi karbon. Kebijakan itu dinilai akan mengarah pada pengurangan pupuk dan pemangkasan jumlah ternak. Protes dilakukan dengan memblokir pusat distribusi supermarket di beberapa kota.
Akibat protes itu, Bandara Schiphol Amsterdam dan KLM menyarankan para pelancong untuk menggunakan transportasi umum saat pergi ke bandara. Hal itu karena para petani - melalui media sosial - mengatakan berencana menggunakan traktor untuk memblokir jalan.
Pada pagi, sebagaimana diberitakan oleh Kantor Berita AP, Senin (4/7/2022), arus lalu lintas di sejumlah ruas jalan tersendat. Jalur jalan raya di bagian timur dan di sekitar pelabuha feri di utara terjadi kemacetan. Namun jaringan jalan di sekitar bandara Schiphol lancar.
Meskipun mendapat dukungan luas dari beragam kelompok tani, aksi para petani itu tampaknya tidak terorganisir baik.
Baca juga:Langkah Dunia Atasi Dampak Perubahan Iklim di 2022
Protes tersebut tidak terjadi kali ini saja. Hal itu sudah berlangsung sejak sebulan lalu. Akhir Juni lalu, para petani sempat menggelar unjuk rasa di luar kediaman menteri pengawas reformasi Belanda untuk isu penanganan polusi, Christianne van der Wal.
Sempat terjadi bentrok dan sejumlah petani ditangkap. Saat itu, para pengunjuk rasa menyebarkan kotoran di jalanan. Dalam aksi protes lainnya, petani menyerang mobil polisi.
Para petani Belanda menentang kebijakan pemerintah terkait upaya pengurangan emisi karbon. Inti dari protes adalah target mengurangi senyawa nitrogen berbahaya pada tahun 2030. Kebijakan yang diluncurkan pada bulan lalu itu untuk dianggap sebagai upaya terbaru untuk mengatasi masalah di negara tersebut.
"Pengurangan emisi nitrogen oksida dari kotoran hewan ternak dan dari penggunaan amonia dalam pupuk, harus dilakukan," kata Pemerintah. Dampak dari kebijakan itu adalah, diperkirakan, jumlah ternak di Belanda akan dikurangi hinga 30 persen dari jumlah yang ada saat ini.
Baca juga:Janji Atasi Perubahan Iklim
Peternakan sapi, babi, dan hewan lain berskala besar dianggap sebagai salah satu sumber penghasil emisi di Belanda dan Eropa. Selain peternakan, konstruksi dan transportasi juga turut berkontribusi.
Pengadilan Belanda dan Eropa telah memerintahkan pemerintah Belanda untuk mengatasi persoalan emisi tersebut. Koalisi pemerintahan Belanda telah mengamanatkan pengurangan emisi nitrogen dan amonia hingga 70 persen di banyak wilayah, terutama wilayah yang berdekatan dengan kawasan lindung. Bahkan, di beberapa wilayah targetnya lebih tinggi, yaitu hingga 95 persen.
Pemerintah Belanda 'dipaksa' melakukan itu, setelah pengadilan dalam beberapa tahun terakhir mulai memblokir izin untuk proyek infrastruktur dan perumahan. Langkah itu diambil karena negara dinilai gagal memenuhi target emisi yang direncanakan.
Pemerintah telah mengalokasikan tambahan 24,3 miliar euro (25,6 miliar dolar AS) untuk membiayai reformasi pertanian, yang kemungkinan akan membuat banyak petani secara drastis mengurangi jumlah ternak mereka atau menyingkirkannya sama sekali.
Baca juga:Akibat Perubahan Iklim, Banjir Bakal Lebih Sering Landa Eropa
Target pengurangan polusi, yang harus dicapai oleh pemerintah provinsi, telah ditentang bahkan oleh anggota partai Perdana Menteri Mark Rutte sendiri dan anggota koalisinya. Pemerintah-pemerintah provinsi di Belanda telah diberi waktu selama satu tahun untuk merumuskan sejumlah rencana guna memenuhi target pengurangan emisi tersebut.
Belanda, pengekspor pertanian terbesar kedua di dunia, disebut sebagai salah satu penghasil gas rumah kaca terbesar di Eropa (terutama nitrogen), di mana sebagian besar penyebabnya disebut berasal dari kotoran ternak dan pupuk. Tetapi para petani mengatakan bahwa mereka menjadi sasaran yang tidak adil, apabila dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh bisnis dan industri besar. Para petani bertekad menolak rencana apa pun untuk mengurangi atau menutup sektor pertanian di Belanda.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Belanda selama ini adalah negara pengekspor komoditi terbesar kedua di dunia. Jumlah ekspor pun naik dari waktu ke waktu.
Data dari kantor statistik Belanda dan organisasi penelitian, menyebut bahwa ekspor pertanian Belanda naik 4,6 persen pada 2019 dari tahun sebelumnya, dan merupakan sebuah rekor baru dengan angka 94,5 miliar euro (105,2 miliar dolar AS).
Baca juga:Banjir Bandang di Eropa, Buah Getir Pemanasan Global
Upaya pengurangan emisi di Belanda telah dilakukan sejak tahun 2020. Saat itu, sebagai wujud upaya itu adalah pemerintah menetapkan batas kecepatan nasional 100 kilometer per jam.
Di negara yang terkenal dengan ladang tulipnya yang berwarna-warni, produk hortikultura seperti bunga segar, umbi dan tanaman menjadi sektor pertanian dengan nilai tertinggi, yaitu sebesar 9,5 miliar euro.
Kenaikan harga menyumbang sekitar dua pertiga dari kenaikan capaian tersebut. Sedangkan pertumbuhan volume penjualan mencapai sepertiga lainnya, kata Biro Pusat Statistik dan Riset Ekonomi Wageningen.
Ekspor daging berada di urutan kedua, dengan bobot 8,8 miliar euro, dibantu oleh melonjaknya harga daging babi yang dijual ke China. Kenaikan ini dipicu oleh wabah demam babi Afrika di beberapa bagian Asia. Penjualan daging babi ke China naik dari 117 juta euro pada 2018 menjadi sekitar 377 juta euro pada 2019, menurut penelitian tersebut.
Tetangga timur Belanda, Jerman, tetap menjadi pasar ekspor teratas, menyumbang 25 persen dari semua penjualan, diikuti oleh Belgia dan Inggris.
Baca juga:Perubahan Iklim Menjadi Krisis Iklim
Kembali ke Batu Bara
Protes petani Belanda tersebut semakin intensif saat pemerintah mulai kembali menggunakan batu bara untuk pembangkit listrik. Batu bara selama ini disebut sebagai salah satu penyumbang emisi cukup tinggi, sehingga mulai banyak ditinggalkan oleh negara-negara di Eropa.
Namun, krisis energi sebagai dampak perang Rusia-Ukraina, telah memaksa sejumlah negara kembali ke batu bara, termasuk Belanda. Pada minggu ketiga Juni 2022, Belanda telah mengaktifkan fase "peringatan dini" dari rencana penanganan krisis energi. Mereka mencabut pembatasan produksi pembangkit listrik tenaga batu bara, guna mengurangi ketergantungan gas dari Rusia, sebagai dampak perang Rusia-Ukraina.
Konflik Ukraina telah mendorong beberapa negara Eropa untuk mencari alternatif minyak dan gas Rusia. Belanda, yang mengimpor sebanyak 15 persen gasnya dari Rusia, sudah membeli LNG dan mengurangi konsumsi gas, tetapi masih menghadapi kekurangan untuk musim dingin ini.
"Dengan langkah-langkah ini, lebih sedikit uang yang akan mengalir ke peti perang Putin," kata Menteri Energi Belanda Rob Jetten. Kementerian ekonomi Jerman telah mengambil tindakan serupa untuk mencabut batas produksi energi dari batu bara.
Sebelumnya, penghapusan pembatasan produksi energi berbahan bakar batu bara oleh Belanda diharapkan dapat menghemat penggunaan gas sebesar 2 miliar meter kubik (bcm) per tahun. Negara tersebut telah membatasi produksi pada 35 persen kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara, untuk membatasi emisi karbon dioksida. Jetten mengatakan Belanda masih akan berusaha memenuhi tujuan iklim (pengurangan emisi) pada tahun 2030. (REUTERS/AP/AFP)
Baca juga:Demi Kemurahan Alam bagi Rakyatnya, Wali Kota di Meksiko Menikahi Buaya