Trauma dan Kebingungan Tidak Kunjung Hilang (Bagian 27)
Setelah lebih dari empat bulan, perang Rusia-Ukraina tetap belum dipahami banyak orang Ukraina. Tidak hanya kerusakan bangunan, perang juga merusak kondisi psikologis dan fisik jutaan orang.
Oleh
KRIS MADA DAN HARRY SUSILO DARI KYIV, UKRAINA
·5 menit baca
Sambil melangkah pincang karena kaki kirinya cedera, Alex menceritakan kengerian selama bertugas di Sievierodonetsk, wilayah Luhansk. Anggota wajib militer Ukraina itu keluar dari sana setelah Penguasa Darurat Militer Luhansk Sergei Gaidai mengumumkan pasukan Ukraina ditarik dari Sievierodonetsk pada 24 Juni 2022. ”Sampai sekarang saya belum percaya bisa duduk di sini, memakai baju sebersih ini,” ujarnya kala ditemui di Kyiv, Rabu (29/6/2022).
Lantaran masih berstatus anggota aktif, ia menolak identitasnya diungkap. Ia juga tidak mau difoto dengan cara apa pun. ”Saya masih bisa dipanggil lagi ke garis depan. Kalau ada foto yang tersiar, saya bisa diidentifikasi,” kata pria yang sebelum perang pernah bekerja di salah satu rumah produksi acara televisi populer di Ukraina tersebut.
Pagi itu, luka di tengah hidungnya belum kering. Di kening dan pipinya juga banyak bekas goresan. Kaki kirinya terkilir dan luka. Ia tidak mau menyebut penyebab lukanya. ”Banyak teman yang tidak bisa keluar dari sana dengan selamat. Luka ini tidak ada apa-apanya dengan kesedihan keluarga teman-teman saya,” ujarnya.
Ia bertugas di Sievierodonetsk selama dua bulan. Sebelum itu, ia bertugas di beberapa palagan lain yang tersebar di Ukraina timur dan selatan. Ia tidak ingat kapan ada waktu senyap. Suara ledakan terdengar hampir setiap menit. ”Artileri, roket, dan rudal seperti hujan dari pagi ke pagi. Kami menjadi terbiasa menduga, berapa jauh dan apa sasaran yang diledakkan Rusia,” katanya.
Sulit bagi dia dan banyak rekannya untuk tidur di tengah suara ledakan nyaris tanpa henti. Meski demikian, ia tetap berusaha memejamkan mata untuk menghilangkan perih saat mengantuk. Tidak hanya kurang tidur, ia juga kurang makan. Dibandingkan waktu berangkat, bobotnya pada akhir Juni terpangkas hampir 10 kilogram. Perutnya kempis. Sabuknya diikat kencang-kencang. ”Celana terlalu besar semua,” ungkapnya.
Makanan di garis depan tidak selalu tersedia. Gempuran nyaris tanpa henti oleh Rusia menyulitkan penyaluran aneka bahan pangan dan obat-obatan ke garis depan. Para sukarelawan organisasi kemanusiaan sampai kesulitan mencari cara mengirimkan bantuan untuk warga sipil dan pasukan Ukraina di garis depan.
Setiap anggota pasukan Ukraina diharuskan membawa bekal untuk sekurangnya dua hari. Masalahnya, Sievierodonetsk dikepung lebih dari dua bulan. Selama 120 hari tanpa jeda, Rusia menembakkan rudal, roket, artileri, mortir, dan bom udara ke kota itu.
Susah lelap
Gempuran hebat tetap berlangsung kala Alex dan rekan-rekannya mundur dari sana. Sebagian goresan di wajahnya didapat selama proses mundur itu. Karena masih cedera, ke mana-mana ia masih membawa tas berisi obat-obatan. Di dalam tas itu juga ada peralatan pertolongan pertama jika ada orang terluka. ”Saya belum bisa meninggalkan tas ini kalau keluar rumah,” katanya soal tas yang diikat di sabuk dan paha itu.
Sewaktu di garis depan, di atas tas itu selalu ada pistol dan sarung peluru cadangan untuk senapan dan pistol. Senjata dan peluru tidak lagi dibawanya.
Setelah sepekan keluar dari Sievierodonetsk pun, ia belum bisa tidur lelap. Sudah berhari-hari hanya memejamkan mata dan tetap bisa mendengar suara di sekelilingnya. Pikirannya juga terus bekerja. Salah satu yang dipikirkannya, kapan perang selesai dan ia bisa bekerja lagi di rumah produksi acara televisi.
Musim panas dan malam yang singkat ikut menyulitkan dia tidur. Kini di Ukraina, langit baru gelap selepas pukul 22.00 dan mulai terang selepas pukul 03.30. Dengan begitu banyak cahaya ditambah pikiran yang tidak kunjung tenang, sulit untuk terlelap.
Langit Ukraina lebih lama gelap selama musim dingin. ”Tetapi, kami tidak tahu bedanya malam dan siang selama di tempat perlindungan. Kami hanya melihat jam,” kata Vitaly Lavrenko (36), warga kota Sumy, Provinsi Sumy.
Meski sejak kecil tahu ada tempat perlindungan, Lavrenko belum pernah sekali pun masuk ke sana. Ia tidak merasa perlu masuk ke sana. ”Saya tidak tahu dan tidak ingat kapan ruangan itu dibersihkan. Saya hanya tahu, ruangan itu bisa dipakai untuk berlindung walau tidak tersedia makanan dan obat-obatan,” ujar manajer perusahaan pemasok kebutuhan bioskop itu.
Pada awal Maret 2022, ia dan sejumlah tetangganya masuk ruang bawah tanah rumah susun dekat tempatnya tinggal. Selama masih di bawah Uni Soviet, Ukraina membangun banyak tempat perlindungan bawah tanah. Sebagian ruangan itu dijadikan gudang. Meski demikian, fungsi utamanya sebagai tempat berlindung dari serangan udara tetap dipertahankan.
Lavrenko pun bingung dengan serangan Rusia ke Ukraina karena kedua negara pernah sama-sama di bawah Uni Soviet. ”Kami pernah berbagi sejarah yang sama, masih memakai bahasa yang sama. Sebagian orang Ukraina punya kerabat di Rusia dan sebaliknya,” ujarnya.
Sehari-hari, ia dan banyak orang Ukraina bertutur dengan bahasa Rusia dan Ukraina. Bahkan, kadang ada percampuran bahasa itu dalam percakapan sehari-hari. ”Mungkin hanya anak-anak kelahiran 20 tahun terakhir yang tidak bisa bahasa Rusia. Kami masih memakainya dalam percakapan sehari-hari,” tutur Lavrenko.
Ia tahu Rusia dan Ukraina punya banyak tank dan kendaraan lapis baja. Tempat tinggalnya tidak sampai 100 kilometer dari Kursk yang pernah menjadi lokasi perang tank terbesar sepanjang sejarah. Walakin, ia tidak pernah bermimpi akan melihat tank di jalan raya dan dalam kondisi perang. ”Saya melihat tank-tank Rusia berjalan pelan di dekat rumah. Saya menatapnya dengan bingung dan tidak percaya,” ujarnya.
Bagi dia, perang abad ke-21 seharusnya dilakukan secara elektronik, dalam bentuk peretasan jaringan komputer. Perang dengan senjata dan menyebabkan kehancuran tidak pernah diduganya akan terjadi. ”Ini abad ke-21, seharusnya tidak ada orang mengerahkan tank, menembakkan rudal, menjatuhkan bom,” ujarnya.
Ia tidak tahu apa yang terjadi pada kakek-neneknya jika mereka masih hidup. ”Mereka tahunya dulu kami bersama Rusia menghadapi Jerman dan Italia. Sekarang, Jerman dan Italia membantu kami menghadapi Rusia. Kakek-nenek saya bisa meninggal karena serangan jantung kalau mereka masih hidup sekarang,” katanya.
Di tempat perlindungan, ia memang menemui beberapa orang berusia di atas 90 tahun. Mereka juga bercerita soal Uni Soviet dan upaya Rusia-Ukraina pada negara yang runtuh pada 1991 itu. Mereka, menurut Lavrenko, kebingungan dengan perang yang sekarang terjadi.
”Puluhan tahun mereka hidup dengan ingatan kerja sama Rusia-Ukraina melawan Nazi. Sebagian dari mereka terlibat dalam perang itu. Mereka juga mengingat masa-masa Ukraina-Rusia bersama membangun Uni Soviet. Sekarang, mereka harus mengungsi gara-gara Rusia menyerang Ukraina,” ujarnya.