Persaingan hegemoni antara Barat dan China menyusup ke negara-negara Kepulauan Pasifik, bahkan terbawa ke forum yang semestinya netral, seperti Konferensi Kelautan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
LISABON, SENIN — Delegasi Tuvalu memutuskan keluar dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kelautan di Portugal, Senin (27/6/2022). Langkah ini merupakan protes terhadap China yang mempermasalahkan keberadaan tiga pakar dari Taiwan yang ikut serta di dalam delegasi Tuvalu. Peristiwa ini kian memperumit perebutan hegemoni Barat dan China serta hubungan China-Taiwan di kawasan Kepulauan Pasifik.
Dilansir dari Radio New Zealand, Menteri Luar Negeri Tuvalu Simon Kofe memilih langkah kontroversial itu demi menunjukkan solidaritas terhadap Taiwan. Tuvalu adalah salah satu dari 14 negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Taiwan. Semua negara di dunia umumnya menyepakati prinsip Satu China yang menyatakan Taiwan merupakan bagian dari China dengan pemerintahan otonom.
Kofe dinilai mengambil risiko karena konferensi tingkat tinggi mengenai kelautan ini sangat penting bagi Tuvalu. Negara-negara di Kepulauan Pasifik menghadapi langsung bahaya akibat krisis iklim dan pemanasan global. Ibu kota Tuvalu, Funafuti, selalu terendam rob ketika air laut pasang. Bahkan, perkiraan para ahli iklim menyebutkan, negara berpenduduk 12.000 jiwa ini akan tenggelam sepenuhnya pada akhir abad ke-21.
Sikap Tuvalu kepada Taiwan ini telah ditegaskan sejak lama. Pekan lalu, Duta Besar Tuvalu untuk Taiwan Bikenibeu Paeniu menyerahkan surat kepercayaan kepada Presiden Taiwan Tsai Ing-wen. Dilansir surat kabar Taipei Times, Paeniu dalam pidato sambutannya mengutarakan komitmen Tuvalu untuk terus membantu Taiwan di kancah internasional. ”Sebagai sahabat Taiwan, Tuvalu akan membantu mencarikan lebih banyak lagi sahabat dan mitra agar Taiwan kian aktif di tataran global,” kata Paeniu.
Terkait KTT Kelautan PBB di Portugal, Kofe tidak memberi penjelasan mengenai posisi dan fungsi tiga warga Taiwan dalam delegasinya. Kepada kantor berita nasional China, Xinhua, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian mengatakan, China sepenuhnya berhak menolak keberadaan anggota delegasi dari Taiwan tersebut. Perbuatan mereka dianggap melanggar aturan nasional dan prinsip Satu China.
”Ini sungguh merupakan taktik yang tidak terhormat dari Taiwan. Mereka menunggangi delegasi dari negara lain supaya bisa menyusup ke acara PBB yang jelas hanya diperuntukkan bagi negara-negara anggotanya,” kata Zhao.
China bersaing dengan Barat memperebutkan hegemoni di Kepulauan Pasifik. Pada akhir Mei hingga awal Juni, Menlu China Wang Yi melawat ke delapan negara di Pasifik dan berjumpa secara daring dengan dua kepala negara. Ia menawarkan berbagai perjanjian kerja sama, termasuk pakta pertahanan dengan 10 negara Pasifik. Hanya Kepulauan Solomon yang meneken pakta pertahanan, sisanya memilih bekerja sama sebatas sektor ekonomi dan perikanan.
Oleh sebab itu, mengejutkan ketika China tiba-tiba mengumumkan mengajak rapat daring para kepala negara Kepulauan Pasifik pada 13 Juli nanti. Hal ini karena pada tanggal tersebut, semua kepala negara Pasifik menghadiri pertemuan Forum Kepulauan Pasifik (PIF) di Suva, Fiji. Australia yang merupakan anggota PIF langsung menuduh China masih berusaha merebut hegemoni di kawasan ini. Meminta rapat pada hari yang sama dengan PIF justru merendahkan keberadaan forum tersebut.
Australia, walaupun merupakan anggota PIF, selama beberapa tahun terakhir berjarak dengan negara-negara Pasifik. Pemerintahan mantan Perdana Menteri Scott Morrison pada 2018-2022 tidak memberi perhatian khusus kepada wilayah ini. Baru ketika Anthony Albanese dilantik sebagai perdana menteri pada bulan lalu, Australia memasukkan kembali kawasan Pasifik ke dalam fokus politik luar negeri. Australia membentuk pakta Kemitraan Pasifik Biru (PBP) bersama Selandia Baru, Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris guna menjegal pengaruh China di kawasan.
Melihat perkembangan situasi, Fiji selaku Ketua PIF tahun 2022 memutuskan untuk tidak mengundang negara-negara mitra dalam pertemuan Juli nanti. Sejatinya PIF bermitra dengan 21 negara, antara lain AS, Jepang, Inggris, Uni Eropa, Singapura, dan China. Perdana Menteri Fiji Frank Bainimarama memaparkan, keputusan ini dibuat karena PIF ingin fokus menangani masalah internal. Forum hendak membahas mitigasi krisis iklim dan cara menghadapi persaingan hegemoni ini hanya dengan para anggota.
”Keputusan ini merupakan yang terbaik dan PIF sepenuhnya berhak tidak mengundang siapa pun di luar anggota. Sebelum setiap negara di Pasifik bisa mengumumkan sikap terkait perkembangan global, mereka harus menyelesaikan dulu perbedaan pandangan di antara mereka secara internal,” ujar peneliti Institut Asia Universitas Griffith, Tess Newton Cain, kepada media ABC Australia.