Perancis Aktifkan Pembangkit Batubara untuk Amankan Cadangan Energi
Ancaman ketersediaan gas menyusul meletusnya perang Ukraina-Rusia memaksa Perancis mengaktifkan kembali pembangkit listrik tenaga batubara yang telah ditutup.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
PARIS, SENIN — Dampak perang Ukraina-Rusia terus dirasakan masyarakat global. Perancis mengumumkan tengah mempertimbangkan dibukanya kembali pembangkit listrik tenaga batubara Saint-Avold yang telah ditutup. Hal itu dilakukan menyusul terus naiknya harga energi global pasca-meletusnya perang Ukraina-Rusia.
Rusia telah memangkas—dalam beberapa kasus bahkan telah menghentikan—pasokan gas ke sejumlah negara anggota Uni Eropa (UE) sebagai balasan atas sanksi yang dijatuhkan kepada Rusia terkait serangan negara itu ke Ukraina sejak 24 Februari 2022. Sistem energi Eropa dalam status waspada dalam beberapa bulan terakhir.
Level kesiagaan Eropa terkait cadangan gas saat ini tinggi. Negara-negara Eropa tengah menyiapkan langkah-langkah darurat untuk memastikan ketersediaan gas bagi warga mereka. Hal yang sama dilakukan Perancis. Negeri ini berupaya mengamankan cadangan ketersediaan gas, termasuk dalam menghadapi musim dingin, pada awal musim gugur.
Pada Minggu (26/6/2022), Perancis mengumumkan sedang mempertimbangkan untuk membuka kembali pembangkit listrik tenaga batubara yang baru saja ditutup. Kementerian Transisi Energi mengatakan, pihaknya sedang mempertimbangkan untuk membuka kembali pembangkit listrik tenaga batubara di Saint-Avold, Perancis timur, pada musim dingin mendatang.
”Kami tetap membuka kemungkinan untuk dapat mengaktifkan kembali stasiun (pembangkit listrik tenaga batubara) Saint-Avold selama beberapa jam jika kami membutuhkannya pada musim dingin mendatang,” demikian pernyataan Kementerian Transisi Energi Perancis.
Menurut pernyataan tersebut, Perancis memproduksi kurang dari 1 persen listriknya melalui pembangkit listrik tenaga batubara. Selain itu disebutkan pula tidak ada batubara Rusia yang akan digunakan, tambah pernyataan itu.
Selama ini sebagian besar produksi listrik Perancis berasal dari tenaga nuklir, yakni 67 persen, pada tahun 2020. Pada tahun yang sama, batubara hanya menyumbang 0,3 persen. Sebelumnya Presiden Perancis Emmanuel Macron telah berkomitmen untuk mengurangi penggunaan energi batubara dan akhirnya menutup semua pembangkit listrik tenaga batubara Perancis.
Dengan keputusan terbaru itu, Kementerian Transisi Energi menegaskan, langkah pengaktifan kembali pembangkit listrik tenaga batubara ini tidak mengubah kebijakan Presiden Macron. Pembangkit listrik tenaga batubara Saint-Avold ditutup pada 31 Maret 2022. Itu adalah satu-satunya pembangkit listrik tenaga batubara yang masih beroperasi di Perancis yang berlokasi di Cordemais, Perancis barat.
Selain Perancis, negara-negara Eropa lainnya, seperti Austria, Jerman, dan Belanda, juga telah mengumumkan bahwa mereka akan menggunakan lebih banyak batubara untuk kebutuhan energi mereka. Perang Ukraina-Rusia telah membuat harga energi global melonjak dan meningkatkan ancaman kekurangan pasokan jika pasokan gas dari Rusia terputus. Raksasa energi Rusia, Gazprom, telah menghentikan pengiriman ke sejumlah negara Eropa, termasuk Polandia, Bulgaria, Finlandia, dan Belanda.
Namun, di sisi lain pergeseran kembali ke bahan bakar fosil telah menimbulkan kekhawatiran Komisi Eropa dan para pegiat lingkungan. Mereka khawatir Uni Eropa akan kehilangan targetnya untuk mengurangi sumber energi yang mencemari dan khawatir pada konsekuensi yang berpotensi membawa bencana bagi iklim.
Produksi obat terlarang
Bukan hanya berdampak pada keamanan stok energi di Eropa, perang Ukraina-Rusia dikhawatirkan juga bisa memicu meningkatnya produksi produksi obat-obatan terlarang. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa perang di Ukraina dinilai dapat meningkatkan produksi obat-obatan terlarang. Selain terkait perang di Ukraina, masa depan pasar opium juga bergantung pada nasib Afghanistan yang dilanda krisis.
Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan atau United Nations Office of Drugs and Crime (UNODC) dalam laporan tahunannya menyebutkan bahwa berdasarkan pengalaman sebelumnya dari Timur Tengah dan Asia Tenggara, zona konflik dapat menjadi ”magnet” bagi produksi obat-obatan sintetis yang dapat diproduksi di mana saja.
”Efek ini mungkin lebih besar ketika daerah konflik berada di dekat pasar konsumen yang besar,” demikian pernyataan UNODC.
UNODC mengatakan, jumlah laboratorium amfetamin, yang dibongkar di Ukraina, naik dari 17 pada 2019 menjadi 79 pada 2020. Itu merupakan jumlah tertinggi laboratorium ditutup yang dilaporkan di negara mana pun pada tahun 2020.
Kapasitas Ukraina untuk memproduksi obat-obatan sintetis dapat tumbuh seiring perang berlanjut, tambah UNODC. ”Anda tidak memiliki polisi yang berkeliling dan menghentikan laboratorium di zona konflik,” kata Angela Me, pakar pada UNODC.
Laporan itu juga mencatat bahwa konflik dapat mengubah dan mengganggu rute perdagangan narkoba. Ini terlihat dari indikasi bahwa perdagangan di Ukraina telah menurun sejak awal 2022.
Namun, situasi di Afghanistan, penghasil 86 persen opium dunia pada tahun 2021, akan memperluas pasar opium. Dikatakan, krisis kemanusiaan negara itu dapat mendorong penanaman opium ilegal meski otoritas Taliban yang saat ini menguasai Afghanistan telah melarang praktik itu pada April lalu.
”Perubahan produksi opium di Afghanistan akan berimplikasi pada pasar opium di hampir semua wilayah di dunia,” kata PBB.
Menurut laporan PBB, sebanyak 284 juta orang diperkirakan menggunakan narkoba pada tahun 2021 atau satu dari setiap 18 orang di seluruh dunia berusia antara 15 dan 64 tahun. Angka itu 26 persen lebih tinggi daripada pengguna tahun 2010.
Adapun produksi kokain naik ke rekor baru pada tahun 2020 sebesar 1.982 ton. Meskipun sebagian besar konsumen narkoba adalah laki-laki, Me mengatakan, perempuan banyak menggunakan stimulan jenis amfetamin.
Laporan UNODC didasarkan pada informasi yang dikumpulkan dari negara-negara anggota, sumbernya sendiri, dan menganalisis laporan institusional, media, dan materi sumber terbuka. (AP/AFP)