Mendekat ke Amerika Serikat Sekaligus Merangkul China dan Jepang
Presiden Yoon Suk Yeol bertekad membawa Korea Selatan sebagai negara poros dunia. Pada saat yang sama, Korsel lebih mendekat ke Amerika Serikat dan merangkul China.
Yoon Suk Yeol terpilih menjadi Presiden ke-13 Korea Selatan di masa sulit ketika berbagai krisis mendera kawasan dan dunia. Terlepas dari kritik publik Korsel terhadap pilihan dalam mengisi anggota kabinetnya, mantan jaksa agung ini ingin membawa Korsel tampil lebih mengemuka di panggung dunia. Pendekatannya pun sangat berbeda dengan pendahulunya.
Menarik melihat bagaimana arah dan orientasi kebijakan politik luar negeri Korsel di bawah Presiden Yoon, terutama sikapnya terkait Korea Utara, Amerika Serikat, China, dan Jepang. Adapun bagi Indonesia dan ASEAN, kejelasan masa depan New Southern Policy (NSP) Korsel masih dinanti, apakah NSP berubah atau bahkan diganti.
Saat menerima kunjungan sejumlah media dari Indonesia bersama Foreign Policy Cummunity of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation, 31 Mei 2022, Direktur Perencanaan Kebijakan, Biro Perencanaan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Korea Selatan Park Chi-young menyampaikan, visi kebijakan luar negeri pemerintahan baru Korea Selatan adalah menjadi negara poros utama atau global pivotal state yang mempromosikan nilai-nilai kebebasan, perdamaian, dan kemakmuran.
Terkait AS, seperti sudah disampaikan selama kampanye, ujar Park, Yoon akan memperkuat aliansi Korsel dengan AS. Dalam KTT Korsel-AS di Seoul, 21 Mei 2022, Presiden Yoon dan Presiden AS Joe Biden sepakat memperkuat hubungan kedua negara menjadi aliansi strategis komprehensif global.
Setiap presiden Korea Selatan harus menemukan frekuensi yang pas untuk menumbuhkan ekonomi di tengah kawasan yang secara keamanan sangat rapuh.
Komitmen tersebut ditindaklanjuti dengan kunjungan Menteri Luar Negeri Korea Selatan Park Jin ke AS untuk bertemu Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pada 12-15 Juni 2022. Kunjungan luar negeri pertama Park Jin ini secara garis besar menghasilkan kesepakatan kerja sama yang lebih konkret dalam mengembangkan aliansi strategis Korsel-AS berdasarkan momentum penguatan aliansi yang dicapai pada KTT AS-Korsel.
Park Chi-young menyatakan, di era ketika ekonomi dan keamanan tidak bisa dipisahkan, Korsel dan AS akan memperluas dan memperkuat kerja sama teknologi, di antaranya di bidang semikonduktor, cip, baterai, energi nuklir, teknologi luar angkasa, dan keamanan siber.
Berbeda
Kepala Pusat Studi ASEAN-India pada Korea National Diplomatic Academy Kementerian Luar Negeri Korea Selatan Wongi Choe menuturkan, dibandingkan dengan pendahulunya, mantan Presiden Moon Jae-in yang progresif, Yoon yang konservatif memiliki strategi dan orientasi politik berbeda.
Menurut Choe, Yoon tidak ingin Korsel terkungkung oleh isu Semenanjung Korea saja, tetapi juga perlu memperluas peran Seoul di kawasan. Peran ini tidak hanya dalam ekonomi, tetapi juga politik dan keamanan di kawasan Indo-Pasifik.
Dalam tulisannya di Foreign Affairs, Februari 2022, Yoon mencontohkan, Seoul harus bergabung dengan negara lain yang sejalan untuk secara aktif mempromosikan tata kelola Indo-Pasifik yang bebas, terbuka, dan inklusif, serta menjawab tantangan utama dunia saat ini.
Bahkan, Yoon juga menyatakan minatnya untuk bisa bergabung dengan kelompok Quad, menjanjikan untuk aktif bersama aliansi dalam isu Indo-Pasifik, memulihkan hubungan bilateral dengan Jepang, serta memulihkan kerja sama keamanan trilateral bersama AS dan Jepang.
”Korea Selatan juga berpartisipasi dalam membangun tata ekonomi yang terbuka, inklusif, dan transparan. Itu sebabnya, dalam konteks ini, partisipasi Korsel dalam kerangka kerja ekonomi Indo-Pasifik untuk kemakmuran bisa dimengerti,” tambah Park Chi-young.
Soal China, ujar Park Chi-young, Korsel menghendaki adanya hubungan masa depan yang ”sehat dan matang” yang berbasis pada saling menghormati kepentingan dan kebijakan masing-masing. Dalam konferensi virtual, Menlu Park dan Menlu China Wang Yi menekankan kedua negara harus mencari kepentingan bersama sambil tetap menghargai visi dan nilai-nilai masing-masing.
Baca juga : Korea Selatan Dukung Konsep Indo Pasifik ASEAN
Ketika ditanya bagaimana Korsel mengelola hubungan yang bakal kian erat dengan AS sementara di saat yang sama merangkul China, Park Chi-young menjawab, ada ruang dalam politik luar negeri untuk menjalani keduanya. Namun, ia tidak menjelaskan lebih detail. ”Keputusan apa pun harus berbasis kepentingan dan keamanan nasional. Mungkin ini akan menjadi Korean way,” ujarnya.
Terkait Korea Utara, pendekatan Presiden Yoon dan Presiden Moon sangat jauh berbeda. Bagi Moon, prioritas tertinggi kebijakan luar negerinya adalah mengupayakan perdamaian dengan Pyongyang. Pendiriannya dalam perdamaian antar-Korea berakar jauh dari pendahulunya yang progresif, yakni mendiang Presiden Kim Dae-jung dan Presiden Roh Moon-hyun, yang mengedepankan pemulihan hubungan dibanding konfrontasi.
Untuk itu, pemerintahan Moon berupaya mempertahankan keseimbangan hubungan strategis dengan China dan AS. Ia percaya kerja sama dengan China, yang memiliki pengaruh terhadap Pyongyang, penting, selain karena ketergantungan ekonomi Korut kepada China.
Meski Korsel menjalin aliansi militer dengan AS, pemerintahan Moon tetap menjaga jarak yang sama, baik dengan Washington maupun Beijing. Moon berusaha mendapatkan dukungan dari AS soal Korea Utara, tetapi hubungan Korsel-AS secara umum melemah. Hubungan Korsel dengan Jepang yang juga aliansi AS di Asia Timur benar-benar merenggang akibat faktor kesejarahan.
”Presiden Yoon ingin mengubah itu semua. Tidak mau hanya fokus dengan dialog hubungan antar-Korea, ia ingin memperkuat hubungannya dengan AS, memulihkan hubungannya dengan Jepang, serta merespons tegas setiap ancaman nuklir dan rudal dari Korea Utara,” kata Choe.
Peneliti politik internasional di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nanto Sriyanto, berpendapat, arah politik luar negeri Korea Selatan tidak bisa dilepaskan dari situasi geopolitik dan geoekonomi di Semenanjung Korea. Di tengah keinginan untuk membangkitkan perekonomiannya, Korsel juga tetap menanggung beban faktor keamanan. Meski aktivitas ekonomi Korsel dengan China dominan, aliansinya dengan AS juga perlu dijaga.
”Setiap presiden Korea Selatan harus menemukan frekuensi yang pas untuk menumbuhkan ekonomi di tengah kawasan yang secara keamanan sangat rapuh,” ujar Nanto.
ASEAN
Menurut Choe, mengingat pandangan strategis dan orientasi politiknya, tak terbantahkan lagi bahwa Yoon dan tim kebijakan luar negerinya tetap menjadikan ASEAN sebagai prioritas. Terlebih, profil Asia Tenggara terus meningkat dan perannya menjadi sangat penting dalam lanskap geostrategis Indo-Pasifik.
Dengan begitu, pemerintahan Yoon akan memperluas lingkup kerja samanya dengan ASEAN termasuk dalam bidang politik dan keamanan.
Baca juga : ASEAN Fokus Penting New Southern Policy
Direktur Asia Tenggara Divisi I di Biro Urusan ASEAN dan Asia Tenggara Kementerian Luar Negeri Korea Selatan Yoosil Hwang mengatakan, ASEAN selalu menjadi sahabat bagi Korea Selatan. Itu sebabnya, untuk memperkuat kerja samanya dengan ASEAN, Korsel meluncurkan New Southern Policy (NSP) pada 2017. Hwang menginformasikan, di bawah Presiden Yoon, kebijakan NSP kemungkinan sedikit berubah, tetapi elemen kuncinya tetap sama.
Sementara terhadap Indonesia, menurut Hwang, Korea Selatan menilai Indonesia merupakan mitra yang solid di kawasan dan mitra kunci dalam hubungan dengan ASEAN. Indonesia menjadi satu dari hanya empat negara yang menjadi mitra strategis spesial bagi Korea Selatan. Kerja sama pertahanan dan keamanan yang erat, salah satunya dalam proyek bersama pengembangan jet tempur, menjadi bukti saling percaya dan kemitraan yang kuat kedua negara.
Baca juga : KF-21 Proyek Pengubah Permainan
Sementara, menurut Nanto, diplomasi di era Presiden Joko Widodo lebih membumi. Daat inilah hubungan bilateral yang lebih mendalam perlu dikedepankan, termasuk pemahaman tentang Korsel di level akar rumput. Sebab, selama ini pemahaman publik Indonesia tentang Korsel masih superfisial.
Yang tak kalah penting, ujar Nanto, adalah bagaimana kedua negara memanfaatkan posisinya sebagai kekuatan menengah (middle power) untuk meredakan ketegangan di kawasan, baik di Semenanjung Korea maupun Indo-Pasifik, tanpa mengikuti narasi AS ataupun China.