Korea Selatan akan mendeportasi enam anak buah kapal asal Indonesia yang ditahan di Busan, Korsel. Mereka ditahan karena diduga melanggar aturan keimigrasian setelah berupaya kabur dari kapal tempat mereka bekerja.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Enam anak buah kapal asal Indonesia masih ditahan di Busan, Korea Selatan, karena diduga melanggar keimigrasian Korea Selatan. Mereka merupakan anak buah kapal penangkap ikan yang kabur dari kapal. Seorang ABK lainnya tewas dalam upaya pelarian dari kapal ke daratan.
Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan Gandi Sulistiyanto saat dihubungi di Seoul, Kamis (23/6/2022) malam, mengungkapkan rasa belasungkawa atas meninggalnya Saiful Umar (32), anak buah kapal (ABK) asal Jawa Tengah, di perairan Korea Selatan. Saiful meninggal saat berupaya kabur bersama enam rekannya dari kapal penangkap ikan Korsel.
Enam ABK yang selamat sampai saat ini masih ditahan aparat keamanan Korsel dan petugas keimigrasian. Mereka diduga melanggar aturan keimigrasian di Korsel.
”Kami sudah mengambil tindakan untuk mereka yang ditahan, juga terhadap jenazah, tetapi detailnya baru bisa kami sampaikan jika investigasi sudah selesai dilakukan. Mereka akan dideportasi,” kata Gandi.
Seperti dilansir surat kabar Joong Ang Daily, peristiwa itu terjadi pada 9 Juni 2022. Ketika itu, kapal penangkap ikan tempat tujuh ABK asal Indonesia itu terpaksa berlabuh di Geoje, Gyeongsang, Korsel. Kapal semestinya berlayar ke Rusia untuk menangkap ikan. Namun, situasi peperangan antara Rusia dan Ukraina membuat kapal tidak jadi berangkat.
Terjun dari kapal
Kantor Polisi Maritim Changwon di Busan menjelaskan, tujuh orang melompat dari kapal penangkap ikan berbobot 5.000 ton itu. Mereka mengenakan pelampung dan menyimpan semua berkas penting, seperti tanda pengenal dan paspor, ke dalam plastik yang kemudian diikat di badan.
Dikutip dari surat kabar Donga, tujuh orang itu berinisial I (25), W (21), R (32), S (32, meninggal), Y (32), T (24), dan A (22). Setelah terjun dari kapal, mereka berusaha berenang sejauh 6 kilometer ke pesisir. Enam orang ABK tak menyadari, Saiful ternyata tak kunjung sampai di pesisir.
Mereka sempat menunggu Saiful selama beberapa jam sebelum naik taksi ke sebuah hotel. Mereka diduga ingin bertemu agen yang menawarkan pekerjaan kepada mereka.
Pihak kapal tempat mereka bekerja kemudian melaporkan kehilangan anggotanya ke aparat keamanan. Penjaga Pantai Changwon menggunakan dua helikopter, satu pesawat angkatan laut, delapan kapal, personel militer, dan polisi darat untuk menemukan keberadaan kru yang hilang itu.
Saiful ditemukan pukul 08.57 oleh karyawan Kantor Polisi Penjaga Pantai Tongyeong, Gohyeon, yang sedang berpatroli di perairan dekat Dermaga Seongpo-ri, Sadeung-myeon, Geoje-si. Pada saat ditemukan, Saiful mengenakan jaket pelampung, tetapi dalam keadaan meninggal. Tak ada laporan cedera di tubuhnya.
Dalam waktu delapan jam, enam ABK asal Indonesia yang kabur berhasil ditemukan di sebuah hotel. Mereka langsung dibawa ke kantor imigrasi setempat. Agen yang mengatur perjalanan ilegal mereka juga ikut ditangkap. Mereka ditahan atas tuduhan melanggar undang-undang keimigrasian.
Asosiasi Industri Bahari Korsel melaporkan, ada 171 ABK yang mayoritas adalah orang asing terdampar di pesisir. Kapal-kapal mereka tak bisa berlayar ke Rusia karena serangan Rusia ke Ukraina.
Di Korsel, ABK asing tidak bisa seenaknya berganti kapal karena visa kerja mereka spesifik mencantumkan kapal yang mempekerjakan mereka. Mereka hanya bisa berharap, akhir Juni, keadaan sudah cukup aman untuk berlayar ke Rusia.
Tujuh ABK asal Indonesia itu sebenarnya diupah 600-800 dollar AS atau sekitar Rp 9 juta-11,8 juta per bulan. Namun, gaji itu baru bisa mereka terima ketika kapal mulai menangkap ikan. Mereka berupaya mencari pekerjaan atau kapal lain agar bisa mendapatkan upah dibandingkan dengan berdiam di kapal. Namun, upaya mereka justru membahayakan hidup mereka sendiri. (DNE)