Keputusan Politik vs Logika Ekonomi
Di saat perang Ukraina-Rusia berkobar, setiap negara memiliki dilemanya masing-masing. Keputusan politik dan logika ekonomi acapkali berbenturan. Lantas bagaimana sintesanya?
Perang Ukraina-Rusia memunculkan dilema di sejumlah negara. Pada satu sisi, negara harus mengeluarkan keputusan politik atas situasi di Eropa timur itu. Pada sisi lain, logika ekonomi nasional harus menjadi jangkar. Ada kalanya keduanya berjalan seiring. Namun, ada kalanya, bertentangan.
Sejak invasi Rusia ke Ukraina dimulai hampir empat bulan lalu, Eropa menghujani Rusia dengan berbagai sanksi. Ekonomi Rusia mulai goyah ditambah biaya perang yang tidak sedikit dan mencekik. Di tengah rasa sesak itu, China hadir sebagai sahabat dengan meningkatkan pembelian minyak.
Kedua negara saat ini menjadi sorotan Barat karena aksi saling dukung dalam berbagai situasi. Meski demikian, China tetap merekomendasikan Rusia untuk berdialog dengan Ukraina.
Baca juga : Dilema Sanksi Ekonomi Rusia
Presiden China Xi Jinping menelepon Presiden Rusia Vladimir Putin pada Rabu (15/6/2022). Dalam kesempatan itu, Xi mengatakan pada Putin bahwa China mendukung dan memperkuat koordinasi strategis dengan Rusia terkait isu kedaulatan dan keamanan. Percakapan di saluran telepon itu merupakan yang kedua sejak Rusia menyerang Ukraina pada 24 Februari 2022.
China melihat negara-negara Barat, Uni Eropa (UE), dan Amerika Serikat (AS), menghujani Moskwa dengan berbagai sanksi, mulai dari larangan impor termasuk gas dan minyak. Sanksi ini bertujuan mencekik perekonomian Rusia.
Harapannya, ekonomi yang sulit akan membuat pendanaan operasi militer Rusia di Ukraina menjadi tersendat. Targetnya, Rusia bisa dikalahkan di Ukraina.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Rusia Anton Siluanov, saat memberikan wawancara kepada Reuters pada Mei, mengatakan, setidaknya Rusia membutuhkan stimulus perang mencapai 8 triliun rubel atau sekitar Rp 1.769 triliun. ”Uang, sumber daya yang besar diperlukan untuk operasi khusus,” ujar Siluanov.
Sejak serangan ke Ukraina yang disusul hujan sanksi, Rusia mengalami inflasi. Inflasi mendekati 18 persen. Tak hanya itu, pasar ekspor perusahaan-perusahaan produksi minyak dan gas Rusia juga mulai terkikis. Sejumlah negara Eropa yang selama ini menjadi pelanggan mulai mengurangi volume impor lantaran sanksi UE.
Baca juga : Sanksi untuk Rusia : Dari Kucing Sampai Tchaikovsky
Berkurangnya ekspor energi ini dipercepat dengan langkah Rusia sendiri yang menghentikan atau mengurangi secara drastis pasokan energinya untuk beberapa negara Eropa. Ini merupakan kebijakan Kremlin yang didasarkan atas dinamika terkait perang Rusia-Ukraina.
Putin segera mengonsolidasikan kebijakan ekonominya. Salah satunya adalah dengan mencari pasar-pasar ekspor baru dan meningkatkan kerja sama dengan pasar lama. China adalah mitra dagang terbesar Rusia dengan pangsa pasar mencapai 14 persen dari total ekspor Rusia pada 2021. Lagi pula, China tidak termasuk negara yang ikut-ikutan Barat menerapkan sanksi kepada Rusia.
Baca juga: Rusia Mencari Investasi Baru di St.Petersburg
Dengan demikian, hubungan dagang kedua negara terus berlanjut selama perang Rusia- Ukraina. Bahkan, di sektor energi, volumenya meningkat. Apalagi, Rusia memberikan insentif berupa diskon dari harga pasar. Keberlanjutan ekspor energi vital bagi Rusia karena itu adalah salah satu tulang punggung perekonomiannya.
Alhasil, catatan menunjukkan, impor minyak mentah China dari Rusia pada Mei 2022 melonjak 55 persen dari tahun sebelumnya. Catatan rekor baru ini menggusur Arab Saudi sebagai pemasok utama minyak mentah ke China. Sebelumnya, ekspor minyak mentah Arab Saudi ke China mencapai 7,82 ton. Jumlah itu digeser Rusia yang ekspor minyaknya ke China mencapai 8,42 juta ton.
Data dari Administrasi Umum Kepabeanan China ini sejalan dengan peningkatan pembelian minyak mentah perusahaan penyulingan di China. Di antaranya adalah badan usaha milik negara, seperti Sinopec dan Zhenhua Oil yang mendapatkan diskon besar-besaran. Pasokan minyak dari Rusia ke China dikirim melalui pipa Siberia Timur ke Samudra Pasifik dan melalui kapal tanker.
Diskon pembelian minyak Rusia juga berlaku untuk negara lain. India jadi negara setelah China yang meningkatkan impor minyak Rusia. Menurut laporan minyak global terbaru Badan Energi Internasional, India telah berada di urutan kedua di belakang China sebagai importir minyak mentah Rusia dalam dua bulan terakhir.
Baca juga: Di Tengah Perang di Ukraina China-Rusia Perkokoh Pengaruh di Afrika
Upaya China meningkatkan impor minyak mentah Rusia pertama-tama karena alasan pragmatis. Ketika harga minyak dunia melambung dan krisis energi di depan mata, siapa tidak diuntungkan dengan adanya diskon. China melalui langkahnya itu juga menunjukkan kekuatan ekonominya sekaligus perlawanannya terhadap hegemoni negara Barat di dunia.
Langkah serupa juga pernah dilakukan China terhadap Iran. Di tengah sanksi AS terhadap Iran, China pernah mengimpor 260.312 ton minyak mentah dari Iran. Data terakhir dari Administrasi Umum Bea Cukai China menunjukkan, impor minyak mentah dari Iran ke China mencapai 520.000 ton.
Peningkatan kerja sama tersebut ditempuh karena menguntungkan kedua belah pihak. Tidak saja dalam aspek pragmatisme ekonomi tetapi juga dalam perspektif politik internasional.
Secara tidak resmi, impor minyak Iran oleh China bertahan di atas rata-rata 500.000 barel per hari antara Agustus dan Oktober. China berhitung, mengimpor minyak mentah dengan harga murah dari negara-negara sasaran sanksi lebih menguntungkan ketimbang risiko yang harus diterima dari AS. Pangsa impor dari Iran terhadap total impor minyak mentah China sebesar 6 persen.
Artinya, peningkatan kerja sama tersebut ditempuh karena menguntungkan kedua belah pihak. Tidak saja dalam aspek pragmatisme ekonomi tetapi juga dalam perspektif politik internasional.
Juru Bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyatakan, sanksi Barat ke Rusia tidak efektif. Rusia menemukan jalan keluarnya sendiri dan bahkan menyebut sanksi-sanksi yang diberikan tersebut justru memperpanjang operasi militer ke Ukraina.
Bahkan, sanksi itu justru menjadi bumerang bagi negara-negara Eropa. Sebab, Eropa bergantung pada pasokan energi dari Rusia selama ini. Dari total impor gas alam Eropa, Rusia memasok 40 persennya. Sementara dari total impor minyak mentah Eropa, Rusia memasok 27 persen.
Baca juga: Ekonomi Rusia Andalkan Angin Siberia
Secara politik, UE sejauh ini telah menggelontorkan enam paket sanksi kepada Rusia. Pada paket sanksi terakhir, UE menetapkan akan memutus impor energi dari Rusia secara bertahap. Meski demikian, skema pengecualian masih diberikan kepada beberapa negara tertentu yang tingkat ketergantungannya tinggi terhadap energi dari Rusia.
Namun, dari aspek ekonomi, kebijakan ini membuat Eropa kelimpungan sendiri. Apalagi Rusia telah mengurangi pasokan ke Eropa dalam volume yang lebih drastis daripada rencana UE. Sejumlah perusahaan energi di Eropa sudah mulai kekurangan pasokan.
Beberapa bulan lagi musim dingin tiba. Tanpa energi yang cukup, Eropa akan ”kedinginan”.
Di Italia, misalnya, perusahaan raksasa energi, Eni, sudah kekurangan pasokan selama beberapa hari terakhir. Perusahaan itu hanya akan menerima setengah dari 63 juta meter kubik yang diminta dari Rusia. Italia pun mengumumkan ancaman kelangkaan gas jika Rusia tidak bisa mengirimkan suplai gas secara normal.
Kekurangan pasokan energi sontak meroketkan inflasi di Eropa. Perekonomian Eropa, termasuk sektor riil dan masyarakat, mengalami persoalan serius. Apalagi, beberapa bulan lagi musim dingin tiba. Tanpa energi yang cukup, Eropa akan ”kedinginan”.
Perang Ukraina-Rusia mengangkat ”pertempuran lain” yang dihadapi China, Eropa, dan negara-negara lainnya. Dalam hal China, penghitungan ekonomi sejalan dengan keputusan politik negara itu. Kebetulan secara tradisional China dekat dengan Rusia dan makin bersitegang dengan AS.
Dalam hal Eropa, keputusan politik bertentangan dengan logika ekonominya. Eropa yang selama ini menjalin kerja sama ekonomi dengan Rusia tiba-tiba harus berbelok arah karena mengekor AS, adidaya yang selama ini disebut-sebut sebagai ”majikan” Eropa.
AS sendiri menghadapi dilemanya sendiri yang tak kalah pelik. Sementara bagi negara-negara lain, tak mudah mengartikulasikannya. Logika ekonomi mudah dijabarkan. Namun, keputusan politik menghadapi tantangan. Sebab, kebijakan luar negeri AS, mau tak mau, jadi pertimbangan.
Hal yang pasti, ketika perang Rusia-Ukraina masih bereskalasi, keputusan politik dan logika ekonomi akan terus menjadi dilema bagi semua negara. Tapi, seperti yang sudah-sudah, politik akan selalu keluar sebagai juara.
Apa mau dikata, tatanan politik dan ekonomi dunia didominasi AS. Bagi negara-negara kecil-menengah, kebijakan politik yang bertentangan dengan Washington bisa-bisa menuai persoalan, baik politik maupun ekonomi.
Namun, dunia sedang berubah. Perang Ukraina-Rusia menjadi pemicu perubahan politik dan ekonomi internasional. Sulit membayangkan dunia akan kembali seperti sebelum 24 Februari 2022. Dunia tampaknya akan terpolarisasi lagi. Seperti apa bentuknya, masih serba spekulasi.
Hal yang pasti, ketika perang Rusia-Ukraina masih bereskalasi, keputusan politik dan logika ekonomi akan terus menjadi dilema bagi semua negara. Tapi, seperti yang sudah-sudah, politik akan selalu keluar sebagai juara. (REUTERS/AP)