Koalisi partai pimpinan Presiden Emmanuel Macron kehilangan dominasi parlemen. Oleh karena itu, Macron perlu membentuk aliansi baru dengan melibatkan rival-rivalnya.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PARIS, SENIN — Koalisi Bersama partai pendukung Presiden Perancis Emmanuel Macron kehilangan dominasi di parlemen Perancis. Hal itu bakal menyulitkan Macron dalam sikap politiknya, termasuk dalam hal perang Ukraina-Rusia, jika tidak bisa membangun koalisi efektif.
Perancis menggelar pemilihan umum parlemen putaran kedua, Minggu (19/6/2022). Dari 577 kursi di Majelis Nasional, merujuk laporan Kementerian Dalam Negeri Perancis, Senin (20/6/2022), Macron bersama koalisinya mendapatkan 245 kursi. Sementara untuk mendominasi parlemen, sedikitnya butuh 289 kursi.
Sementara itu, koalisi sayap kiri yang baru dibentuk di bawah pimpinan Jean-Luc Melenchon mendapatkan 135 kursi. Koalisi sayap kanan di bawah pimpinan Marine Le Pen, rival pemilu Presiden Macron, mendapatkan 90 lebih kursi, jumlah yang tidak diprediksi banyak pihak di Perancis. Macron bersama koalisinya masih memiliki kursi terbanyak di parlemen, tetapi tidak lagi dominan.
Jean-Luc Melenchon yang memimpin koalisi sayap kiri, NUPES, menyebut hasil pemilu itu merupakan hasil dari kegagalan Presiden Macron. Koalisinya menyerukan banyak kepentingan Macron terancam batal. Salah satunya adalah usulan untuk menaikkan masa pensiun di Perancis. ”Kekalahan dari partai pendukung Presiden sudah final dan tidak akan ada mayoritas lagi dalam parlemen,” kata Jean-Luc Melenchon kepada para pendukungnya.
Marine Le Pen, pemimpin sayap kanan Le Republican, menilai, hasil pemilu parlemen itu merupakan hasil bersejarah. Sebab, partainya bakal mengirim jumlah anggota terbanyak dalam sejarah pemilu parlemen.
”Kelompok ini akan menjadi yang terbesar dalam sejarah keluarga politik kami. Kami akan berubah menjadi oposisi yang kuat,” kata Le Pen di hadapan pendukungnya di Perancis utara, Henin-Beaumont.
Melihat situasi itu, Perdana Menteri Perancis Elisabeth Borne menilai, hasil rendah yang didapatkan Koalisi Bersama merupakan ancaman bagi Perancis mengingat berbagai tantangan yang akan dihadapi. ”Mulai besok kami akan bekerja keras untuk membangun mayoritas yang efektif bekerja,” tambah Borne.
Di situasi itu, pemerintahan Macron harus mengambil sikap beraliansi dengan koalisi sayap kanan atau sayap kiri, atau tetap menjalani pemerintahan dengan sedikit dukungan dari parlemen. Hal itu tentunya akan merugikan Macron mengingat banyak kebijakan perundang-undangan yang harus dibuat ke depan.
Juru bicara Pemerintah Perancis, Olivia Gregoire, mengungkapkan, dalam parlemen saat ini terdapat anggota yang moderat, baik di sayap kanan maupun sayap kiri. ”Ada juga sosialis moderat yang mungkin akan berada di pihak kami dalam membuat undang-undang,” katanya.
Perang Rusia-Ukraina
Hilangnya dominasi koalisi pimpinan Macron dan menguatnya partai Le Pen di parlemen akan memberikan dinamika baru pada kebijakan domestik dan luar negeri Perancis, termasuk pada urusan perang Ukraina-Rusia.
Perancis adalah salah satu negara Eropa yang mengambil kebijakan mengirim bantuan senjata ke Ukraina. Mengutip laman stasiun televisi Pemerintah Perancis, France24.com, Pemerintah Perancis pada pertengahan April menyatakan telah mengirimkan lebih dari 100 juta euro peralatan militer ke Ukraina. Seminggu kemudian, Macron menjanjikan lebih banyak bantuan, termasuk rudal anti-tank Milan dan Howitzer.
Pada pemilihan presiden April lalu, Le Pen, yang menjadi kandidat presiden beberapa kali, menyatakan, langkah politik luar negeri akan bersifat tertutup jika terpilih. Di antaranya adalah bahwa Perancis akan menarik diri dari NATO, menarik diri dari politik Uni Eropa, serta memperketat imigrasi dan memberi hak lebih kepada warga Perancis dibanding warga negara lain.
Le Pen juga disinyalir dekat dengan Rusia. Selain beberapa kali berkunjung dan bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, Le Pen dituding menerima dukungan dana dari Rusia ketika berkampanye pada pemilu Presiden Prancis 2017. ”Ini akan memperumit reformasi di Perancis, semuanya akan jauh lebih sulit untuk diatur,” kata profesor hukum dari Universitas Sorbonne, Dominique Rousseau, di Paris. (AFP)