Di Tengah Perang di Ukraina, China-Rusia Perkokoh Pengaruh di Afrika
Saat perhatian dunia tersedot pada perang di Ukraina dan di tengah hiruk pikuk Barat membantu Ukraina, China-Rusia terus memperkokoh pengaruh mereka di Afrika. Ini untuk menghadang hegemoni AS dan sekutunya di benua itu.
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·5 menit baca
Di tengah perang yang berkecamuk di Ukraina dengan dampak global yang luas, Rusia dan China terus memperkokoh kemitraan, dari Eropa hingga Afrika. Babak baru hubungan keduanya dimulai pada 4 Februari 2022, tiga pekan sebelum Rusia menginvasi Ukraina. Saat itu, di sela-sela upacara pembukaan Olimpiade Musim Dingin di Beijing, pemimpin dua negara itu mengikat kemitraannya.
Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin, seusai menggelar pertemuan bilateral pada hari pertama Olimpade itu, mengeluarkan pernyataan pers bersama. Mereka mengecam ekspansi aliansi militer Barat, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), ke Eropa timur dan hegemoni Amerika Serikat. Xi-Putin memproklamasikan ”dimulainya era baru” dan ”kemitraan tanpa batas”.
Setelah itu, Beijing lalu mengeluarkan pernyataan menghormati ”integritas teritorial” Ukraina, tetapi menolak menyamakan ”operasi militer khusus” Rusia dengan invasi. Beijing mengecam sanksi-sanksi terhadap Moskwa. China pada Mei 2022 lantas meningkatkan pembelian minyak Rusia yang tersumbat sanksi Barat hingga 55 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Kini, saat perhatian dunia tersedot pada perang di Ukraina dan hiruk pikuk Barat membantu Ukraina, China dan Rusia terus memperkokoh pengaruh mereka di Afrika. Peter Apps, kolumnis isu-isu hubungan internasional, globalisasi, dan konflik pada kantor berita Reuters, mengatakan bahwa Beijing dan Moskwa memanfaatkan strategi yang sangat berbeda untuk memperdalam kepentingan dan akses mereka di Afrika.
Pendiri dan Direktur Eksekutif Project for Study of the 21st Century (PS21) itu menguraikan, sejauh ini Kremlin telah secara dramatis meningkatkan aktivitasnya di Mali. Tentara bayaran Grup Wagner Rusia diduga terlibat dalam kekerasan terhadap warga sipil di negara Afrika Barat itu.
Lonjakan harga pangan dan bahan bakar global yang dipicu oleh perang Rusia-Ukraina telah memukul Afrika. Ketika Ketua Uni Afrika Macky Sall berkunjung ke Sochi baru-baru ini, Putin menjamin bahwa Kremlin akan menjadi solusi untuk Afrika dalam menghadapi masalah itu.
Sementara China terus melanjutkan berbagai upaya bantuan ekonomi dan dukungan diplomatik di seluruh Afrika, seperti yang telah berjalan satu dekade terakhir. Beijing memosisikan diri sebagai pembawa damai baru untuk konflik jangka panjang di Ethiopia, Sudan, Somalia, dan sekitarnya.
China juga melakukan diplomasi ofensif bulan ini. Direktur Jenderal Urusan Afrika Kementerian Luar Negeri China, Wu Peng, berkunjung ke sejumlah negara di Afrika, seperti Afrika Selatan, Malawi, Tanzania, Burkina Faso, dan Togo, awal Juni. Dia juga mengunjungi Zambia. Di negeri ini, Beijing merundingkan potensi restrukturisasi lebih dari 6 miliar dollar AS piutangnya.
Saat ini pun China menggelar Konferensi Tingkat Tinggi Perdamaian di Tanduk Afrika. KTT Perdamaian Tanduk Afrika itu digelar di Ethiopia, 20-21 Juni. Menurut Apps, telah muncul kekhawatiran yang luas di Washington dan para sekutu Barat-nya tentang kemungkinan tergerusnya pengaruh mereka di Benua Afrika. Para pejabat AS menduga Beijing ingin membuka pangkalan militer kedua di pantai Atlantik setelah pangkalan pertama di Djibouti, Samudra Hindia.
Panglima Komando Afrika Pentagon Jenderal Stephen Townsend, saat berbicara di Komisi Angkatan Bersenjata DPR AS, Maret lalu, mengatakan, Guinea Ekuatorial adalah tempat yang paling mungkin untuk pangkalan kedua China di Afrika. AS kemungkinan segera mengambil langkah yang masih dirahasiakan guna mencegah ambisi China itu.
Militer AS, kata Townsend, telah meningkatkan pelatihan di Afrika beberapa tahun terakhir. Sebuah latihan militer bertajuk ”African Lion” telah digelar di beberapa negara, yakni Maroko, Tunisia, Senegal, dan Ghana.
Rumit
Latihan militer AS di Senegal terjadi ketika pemimpin negara itu melobi agar sanksi Barat terhadap Moskwa dicabut. Ini menjadi pengingat betapa rumitnya geopolitik Afrika, dengan negara-negara terlibat entah dengan Barat dan musuh potensialnya.
Kenya, misalnya, tetap menjadi sekutu Barat yang solid dan satu-satunya negara Afrika yang menghadiri KTT Ukraina yang dipimpin AS di Ramstein, Jerman, April lalu. Namun, Kenya juga menjadi tuan rumah bersama KTT Tanduk Afrika yang dimotori China.
Menurut Apps, KTT itu menunjukkan meningkatnya ambisi secara signifikan pada keterlibatan diplomatik China di Afrika, melampaui retorika tradisionalnya soal ”non-intervensi” untuk memosisikan diri sebagai negosiator. Pada Februari lalu, Beijing menunjuk diplomat senior Xue Bing sebagai utusan ke Tanduk Afrika dan aktif mengunjungi ibu kota negara-negara di kawasan.
Beijing jelas merasa perlu untuk terlibat lebih dalam di kawasan itu. Di sana China memiliki investasi besar-besaran, termasuk jalur kereta api dari Ethiopia ke Djibouti. Juga memiliki investasi pelabuhan dan energi di Sudan.
China adalah penyuplai senjata ke beberapa negara di kawasan Afrika timur. Pesawat nirawak China, Chengdu Pterodactyl I atau dikenal sebagai Wing Loong, telah digunakan Uni Emirat Arab dalam membantu Ethiopia menghadapi pemberontakan di Tigray. Kelompok pegiat kemanusiaan mengatakan, keterlibatan itu memicu pelanggaran HAM.
China juga pendukung rezim militer Sudan. Washington dan sekutu Barat-nya mengatakan, pengaruh Moskwa ataupun Beijing tidak baik untuk Afrika dan rakyatnya. Di Mali, PBB telah melaporkan peningkatan dramatis kematian setelah kedatangan pasukan ”penasihat” Rusia tahun ini yang mengisi kekosongan pasca-penarikan pasukan Perancis.
Jejak Rusia di Afrika jauh lebih kecil dari China. Namun, Mali telah menjadi kisah sukses besar bagi Kremlin tahun ini. Moskwa diyakini juga meningkatkan pengaruhnya di wilayah Sahel. Krisis kemanusiaan dan ekonomi terkait konflik Mali memburuk akibat terganggunya pasokan pangan dari Rusia dan Ukraina. Dua negara itu pemasok terbesar pangan ke Afrika.
Negara-negara Barat dan Ukraina menuding blokade Rusia atas Pelabuhan Odesa dan serangan Rusia terhadap infrastruktur Ukraina sebagai penyebab terhentinya ekspor pangan dari Ukraina. Namun, Rusia berupaya mengalihkan persoalan itu sebagai dampak sanksi Barat, bukan karena ”operasi militer khusus” terhadap Ukraina.
Lonjakan harga pangan saat ini menyebabkan beberapa debitornya makin terperosok lebih dalam ke jurang kesulitan finansial yang sebelumnya sudah dibebani dampak pandemi Covid-19. Zambia, negara yang kerap dilihat sebagai salah satu korban jerat utang, berjuang keras mencicil utangnya.
Seperti halnya Sri Lanka di sisi lain Samudra Hindia, negosiasi utang Zambia diawasi ketat oleh pihak lain. Ini menjadi preseden tentang bagaimana China akan terdorong untuk menyelamatkan banyak negara lain yang berutang besar kepadanya. Di sinilah ruang bagi China untuk bermanuver semakin lebar. (REUTERS/AFP)