Meski menandatangani rencana penghentian perekrutan anak-anak sebagai petempur, kelompok Houthi masih melanggar. Mereka aktif merekrut anak laki-laki, bahkan baru berusia 10 tahun, untuk diterjunkan ke medan tempur.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
Dua orang petempur anak-anak duduk di bebatuan sambil membawa senjata api di sebuah lokasi di Marib, Yaman, 30 Juli 2018.
Senjata yang tersampir di pundak serta sepucuk senapan yang terselip di pinggang membuat dua petani laki-laki dari Provinsi Amran, Yaman, membisu. Sekelompok lelaki yang kemudian memperkenalkan diri sebagai perwakilan kelompok Houthi mendatangi rumah kedua petani itu pada Mei lalu. Orang-orang itu meminta agar petani tersebut mempersiapkan anak-anak laki-laki mereka untuk ikut pelatihan ketika tahun ajaran sekolah usai. Keduanya tidak membantah.
Lima anak mereka yang berusia 11-16 tahun, akhir Mei itu, dibawa ke sebuah pusat pelatihan tidak jauh dari sekolah tempat mereka belajar. Di sana, mereka diberi tahu sebagai laki-laki pilihan yang akan ikut dalam perang suci melawan musuh yang sudah dipengaruhi negara-negara Barat. Setelah itu, mereka diajari cara memegang dan mengggunakan senjata api, termasuk cara membersihkannya. Mereka juga diajari cara bertempur, tidak hanya dengan senjata yang dipegang, tetapi juga cara menghindari sergapan musuh.
Dua petinggi kelompok Houthi secara terbuka mengakui mereka merekrut ratusan anak, mendidik mereka menjadi petempur di garis depan. Tidak hanya anak berusia belasan tahun, mereka juga mengaku merekrut anak yang baru berusia 10 tahun selama dua bulan terakhir.
Dalam pandangan mereka, tidak ada yang salah dengan praktik perekrutan tersebut. Mereka menganggap anak laki-laki yang baru berusia 10 tahun ataupun yang telah berusia belasan tahun sudah menjadi lelaki dewasa. ”Mereka bukan anak-anak. Mereka orang-orang sejati, yang harus membela bangsanya melawan Arab Saudi, agresi Amerika, dan membela keyakinannya,” kata salah satu pejabat, yang memilih menyembunyikan identitasnya.
Kamp musim panas
Berbeda dengan anak-anak di luar wilayah konflik, kamp musim panas yang didirikan kelompok Houthi digunakan untuk mendoktrin dan membalikkan dunia mereka. Kamp semacam itu banyak didirikan di sekolah atau tempat ibadah di wilayah yang dikuasai Houthi, seperti wilayah utara dan tengah Yaman, serta di ibu kota Yaman, Sanaa.
Bukti kelompok ini merekrut anak-anak untuk menjadi petempur di garis depan tergambar dari sebuah video yang diunggah petinggi Houthi, Mohammed al-Bukhaiti. Dia mengunggah rekaman video saat berkunjung ke sebuah kamp musim panas di Provinsi Dhamar. Dalam video ini, puluhan anak berseragam berdiri dalam formasi mirip militer dan menyatakan kesetiaan kepada pemimpin tertinggi gerakan itu, Abdul-Malek al-Houthi.
Mereka juga berteriak, ”Prajurit Tuhan. Kami datang”.
Dikutip dari laman NPR, Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan sebanyak 3.500 anak telah diindetifikasi sebagai petempur yang dididik oleh kelompok ini. Akan tetapi, seorang pejabat senior militer kelompok ini mengaku telah merekrut setidaknya 18.000 anak sebagai petempur di garis depan sejak konflik di Yaman meletus pada 2014.
Menurut juru bicara badan PBB yang mengurusi anak-anak, Unicef, James Elder, dikutip dari laman badan tersebut, sebanyak 10.000 anak di Yaman tewas sejak konflik terjadi. Sejumlah ahli PBB menghitung, sekitar 2.000 anak yang direkrut kelompok Houthi pada Januari 2020-Mei 2021 tewas dalam pertempuran. Menurut mereka, tidak hanya Houthi yang menggunakan petempur anak-anak, tetapi pasukan propemerintah juga melakukan tindakan yang sama, meski dalam tingkat lebih rendah.
Empat pekerja kemanusiaan dari tiga organisasi internasional yang beroperasi di wilayah kekuasaan Houthi mengatakan, selama beberapa pekan terakhir kelompok tersebut sangat agresif merekrut anak-anak. Hal itu dilakukan karena mereka kehilangan banyak anggota, terutama setelah hampir dua tahun bertempur memperebutkan kota penting, Marib.
Ketiga orang yang meminta agar namanya tidak dipublikasikan mengatakan, kelompok ini menekan keluarga-keluarga yang memiliki anak laki-laki untuk mengirimkannya ke kamp musim panas. Sebagai imbalannya, keluarga itu diiming-imingi balas jasa berupa jatah makanan dari organisasi kemanusiaan yang beroperasi di Yaman.
Seorang pekerja kemanusiaan, yang wilayah kerjanya di utara Yaman, menyaksikan anak-anak berusia 10 tahun berjaga di sebuah pos pemeriksaan di sepanjang jalan dengan AK-47 tergantung di bahu mereka. Anak-anak lainnya dikirim ke garis depan. Dia juga mengatakan, banyak petempur anak-anak ini terluka sepulang dari Marib.
Ribuan orang tewas dalam pertempuran untuk merebut Marib yang dikuasai Pemerintah Yaman. Upaya panjang Houthi untuk merebut kota itu akhirnya dihentikan di akhir 2021. Mereka kalah dalam jumlah orang dan kemampuan tempur.
Pada April lalu, petinggi Houthi menandatangani rencana aksi yang disusun PBB untuk mencegah dan mengakhiri penggunaan anak-anak sebagai petempur dalam konflik bersenjata. Tidak hanya itu, kelompok Houthi juga sepakat untuk tidak melukai atau menargetkan anak-anak, termasuk menargetkan sekolah atau rumah sakit, dalam setiap operasi mereka. Juru Bicara Sekjen PBB, Stephane Dujarric, menyatakan, kelompok Houthi berkomitmen mengidentifikasi petempur anak-anak yang ada sekarang dan membebaskan mereka dalam waktu enam bulan sejak diplomat top Houthi, Abdul Eluh Hajar, menandatangani rencana aksi itu.
Pemerintah Yaman yang diakui secara internasional dan beroperasi di pengasingan membuat komitmen serupa.
Virginia Gamba, pejabat PBB yang mengawasi anak-anak di zona perang, menyebut langkah itu positif dan menggembirakan. Namun, penerapannya jauh lebih sulit. ”Bagian tersulit perjalanan ini dimulai sekarang,” kata Gamba.
Abdel-Bari Taher, mantan ketua serikat jurnalis Yaman, mengatakan, Houthi berhasil mengeksploitasi kebiasaan setempat yang merugikan anak-anak. Memiliki atau membawa senjata adalah tradisi yang mengakar kuat di Yaman, terutama di masyarakat pedesaan dan pegunungan. ”Ini adalah sumber kebanggaan dan jenis kedewasaan bagi anak laki-laki,” katanya. (AP)