Masih Ada 10.000 Warga Sipil Terjebak Perang di Sievierodonetsk
Pertempuran masih berkecamuk di kota industri utama Sievierodonetsk di Provinsi Luhansk, wilayah Donbas, Ukraina timur, dengan sekitar 10.000 warga sipil terjebak perang.
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·5 menit baca
KYIV, JUMAT — Pertempuran masih berkecamuk di kota industri utama Sievierodonetsk di Provinsi Luhansk, wilayah Donbas, Ukraina timur. Laporan terbaru, Kamis (16/6/2022), menyebutkan bahwa masih ada sekitar 10.000 warga sipil yang terjebak perang di kota itu dengan 500 orang di antaranya bersembunyi di bungker perlindungan bom di area pabrik kimia Azot yang terkepung.
Situasi semakin tidak menentu karena jembatan terakhir yang menjadi akses utama ke Sievierodonetsk telah dihancurkan rudal pasukan Rusia, beberapa hari lalu. Hal itu tidak saja menyulitkan proses evakuasi yang direncanakan Kyiv, tetapi juga menghambat distribusi makanan oleh misi bantuan kepada warga yang terjebak perang selama berminggu-minggu.
Gubernur Luhansk Sergey Gaiday melalui aplikasi pesan Telegram mengatakan, ”Dari sekitar 100.000 jiwa penduduk kota itu, masih ada sekitar 10.000 orang yang tersisa di sana.” Ia menyebutkan, tentara Kyiv terus berusaha ”menahan musuh sebanyak mungkin” Laporan itu mengejutkan karena sebelumnya dia menyebutkan hanya 500-800 warga sipil yang terjebak di pabrik kimia Azot.
Pertempuran antara Rusia dan Ukraina di Ukraina timur difokuskan di kota industri utama Sievierodonetsk yang sama-sama dinilai sebagai kunci kemenangan perang. Namun, Rusia tampaknya hampir mengonsolidasikan kendalinya atas kota itu setelah berminggu-minggu terlibat pertempuran sengit karena perlawanan yang tangguh dari Ukraina.
Pasukan Moskwa telah menghancurkan setidaknya tiga jembatan yang menjadi akses utama dari dan ke Sieverodonetsk. Tiga jembatan itu menghubungkannya dengan kota Lysychansk yang berada di sebelah barat. Kota kembar itu dipisahkan oleh Sungai Siverskyi Donets.
Setelah tiga jembatan hancur, selain mengisolasi para tentara dan kombatan Ukraina di benteng pertahanan terakhir di pabrik kimia Azot, sekitar 10.000 warga sipil juga terjebak. Mereka diliputi rasa khawatir yang tinggi. Menurut US Institute of War, penghancuran jembatan untuk melemahkan pasukan Ukraina.
Moskwa, Rabu, mengklaim telah menyiapkan koridor kemanusiaan untuk mengevakuasi warga sipil dari Azot. Namun, pasukan Ukraina yang juga bermaksud mengevakuasi warganya ternyata berhasil menggagalkan rencana evakuasi paksa oleh Rusia itu. Wartawan yang memantau dari Lysychansk melihat asap hitam mengepul dari pabrik kimia Sievierodonetsk dan daerah lain di kota itu.
Pasukan Ukraina menggunakan dataran tinggi untuk menembak pasukan Rusia di seberang sungai. ”Ini menakutkan, sangat menakutkan,” kata warga pensiunan di Lysychansk, Valentina (83). ”Kenapa mereka tidak bisa mencapai kesepakatan. Demi Tuhan, hanya dengan berjabat tangan.”
Di markas Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Brussel, Belgia, Menteri Pertahanan Ukraina Oleksiy Reznikov dan para menteri pertahanan dari sekitar 50 negara Kelompok Kontak Pertahanan Ukraina meminta peningkatan senjata dan amunisi. ”Ukraina benar-benar dalam situasi yang sangat kritis, mendesak untuk ditambah,” kata Sekjen NATO Jens Stoltenberg.
”Kami benar-benar fokus pada apa yang diyakini para pemimpin bahwa kebutuhannya saat ini ada dalam pertarungan ini,” kata Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin. ”Saya pikir komunitas internasional telah melakukan pekerjaan yang cukup baik untuk menyediakannya. Namun, itu tidak pernah cukup,” ujarnya menambahkan.
Wakil Menteri Pertahanan Ukraina Hanna Malyar, Kamis (16/6/2022), mengatakan, tujuan strategis Rusia dalam perang di Ukraina adalah penghancuran total negara dan bangsa Ukraina. Dia mengatakan, situasi tetap sulit bagi pasukan Ukraina. Fokus utama Rusia sekarang adalah membangun kendali penuh atas Donbas yang meliputi Luhansk dan Donetsk, di Ukraina timur.
”Tujuan strategis, militer-politik dan ekonomi-militer utama Rusia sehubungan dengan negara kita tetap penghancuran total negara Ukraina dan bangsa (Ukraina), serta penghancuran fondasi militer dan ekonomi negara kita,” kata Malyar.
Sementara itu, ratusan warga Georgia, termasuk anggota parlemennya, telah mengangkat senjata untuk pergi ke Ukraina. Mereka berperang dalam unit sukarelawan, seperti Asing Ukraina dan Legiun Georgia, yang diintegrasikan ke dalam militer Ukraina. Antusiasme mereka untuk berperang tidak mengejutkan, mengingat sejarah panjang dan kesulitan Georgia dalam tekanan Rusia di masa lain.
Georgia Aleko Elisashvili, seorang anggota parlemen di Georgia, tidak ragu-ragu untuk bergegas bergabung dalam pertempuran di Irpin, Ukraina. Bagi pria berusia 44 tahun itu, perang di Ukraina lebih dari sekadar membela satu negara melawan agresi Rusia.
”Kami berjuang bersama Ukraina melawan musuh bersama kami (Presiden Rusia Vladimir Putin), seorang imperialisme,” kata Elisashvili. ”Kemungkinan Rusia menyerang Georgia lagi sangat tinggi. Itu sebabnya lebih penting bagi kami bahwa Rusia dikalahkan di Ukraina, itulah mengapa begitu banyak orang Georgia sekarang bertempur di sana.”
Dalam sejarahnya, Georgia dua kali diserang Soviet, yakni pada tahun 1801 dan 1921. Terakhir kali pasukan Moskwa menyerang wilayahnya pada Agustus 2008. Perang lima hari pada 2008 itu menewaskan 700 orang yang berakhir dengan gencatan senjata yang dimediasi Uni Eropa. Namun, dua wilayah separatis di Abkhazia dan Ossetia Selatan diakui sebagai negara oleh Moskwa.
Di sisi lain, China telah menegaskan sikapnya untuk mendukung Rusia dalam invasi ke Ukraina. China menyatakan mendukung kedaulatan dan keamanan Rusia. Pernyataan ini langsung memicu peringatan dari Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa China keliru memberikan dukungan kepada Rusia dan berada pada sisi sejarah yang salah. Dukungan disampaikan Presiden China Xi Jinping ketika berbicara per telepon dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, Rabu (15/6/2022).
China sebelumnya menolak untuk mengecam invasi Rusia itu. Beijing dituduh memberikan perlindungan diplomatik untuk Rusia dengan mengkritik sanksi Barat dan penjualan senjata ke Kyiv. Putin menegaskan, dia tidak terisolasi secara internasional. Itu adalah pembicaraan via telepon yang kedua antara Xi dan Putin. Tampaknya Xi juga membutuhkan dukungan Rusia dalam hal menghadapi Taiwan. (AFP/REUTERS/AP)