Paus: Perang Rusia-Ukraina Bukan Perkara Hitam-Putih
Paus Fransiskus mengingatkan, perang Rusia-Ukraina tidak bisa dilihat sebagai perang antara yang jahat dan yang baik. Perang yang telah berlangsung lebih dari 100 hari itu kompleks, apalagi ada intervensi negara adidaya.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
VATIKAN, SELASA - Pemimpin Gereja Katolik Roma Paus Fransiskus menyatakan, serangan militer Rusia ke Ukraina merupakan tindakan brutal dan ganas. Akan tetapi, ia juga menyampaikan pandangan bahwa perang Rusia-Ukraina bukan perkara hitam-putih. Hal ini ditekankan karena pemahaman utuh terhadap perang menjadi vital guna mengakhiri perang dan mencari solusi bersama.
Pada pesan untuk Hari Orang Miskin Sedunia Ke-6, Selasa (14/6/2022), Paus berpandangan bahwa perang menyebabkan kemiskinan luar biasa. Dalam konteks ini, Paus kembali menyinggung perang Rusia-Ukraina.
Mengutip kantor berita Italia, ANSA, Paus berpendapat, perang di Ukraina dan perang-perang lainnya telah menyebabkan kematian serta kehancuran selama beberapa tahun terakhir. Perang Rusia-Ukraina situasinya lebih kompleks karena adanya intervensi langsung dari negara adidaya yang bermaksud memaksakan kehendaknya terhadap prinsip penentuan nasib sendiri oleh rakyat suatu bangsa.
”Adegan-adegan dari ingatan tragis sedang terulang dan lagi-lagi saling peras oleh beberapa adidaya menutupi suara kemanusiaan yang menyerukan perdamaian,” katanya.
Sebelumnya, dalam wawancara dengan La Civiltà Cattolica, Paus menyatakan bahwa serangan militer Rusia ke Ukraina brutal dan ganas. Namun, ia juga menekankan agar jangan melihat perang Rusia-Ukraina secara hitam-putih saja.
”Seseorang mungkin berkata kepada saya pada saat ini: jadi Anda pro-Putin! Tidak. Terlalu menyederhanakan dan salah untuk mengatakan hal seperti itu. Saya hanya menentang pengurangan kompleksitas menjadi perbedaan antara orang baik dan orang jahat tanpa alasan tentang akar masalah dan kepentingan yang sangat kompleks. Sementara kita menyaksikan keganasan dan kekejaman pasukan Rusia, kita tidak boleh melupakan masalah sebenarnya jika kita ingin menyelesaikan persoalan itu,” kata Paus.
Paus memberikan wawancara kepada sejumlah editor La Civiltà Cattolica di Roma, 19 Mei 2022. Hasil wawancara itu baru diunggah di laman jurnal Yesuit tersebut pada Selasa (14/6). La Civiltà Cattolica adalah jurnal Yesuit yang terbit berkala di Eropa.
Dalam wawancara itu, Paus juga memuji keberanian masyarakat Ukraina yang berjuang mempertahankan kemerdekaan tanah air mereka. Kepahlawanan mereka merupakan inspirasi bagi semua. Namun, pada akhirnya, perang membuat rakyat semakin menderita. Perang juga memunculkan eksploitasi terhadap kelompok rentan, menambah kemiskinan, dan menciptakan sistem perbudakan baru.
”Saya juga harus menambahkan bahwa kita melihat apa yang terjadi sekarang di Ukraina karena lebih dekat dengan kita dan lebih menyentuh kepekaan kita. Tapi, ada negara lain yang jauh. Mari kita pikirkan beberapa bagian Afrika, Nigeria bagian utara, Kongo bagian utara, di mana perang masih berlangsung dan tidak ada yang peduli. Pikirkan Rwanda 25 tahun yang lalu. Pikirkan Myanmar dan Rohingya. Dunia sedang berperang,” katanya.
Diberitakan pada pertengahan Maret lalu, Paus mengutarakan keinginan bertemu dengan pemimpin tertinggi Gereja Ortodoks Rusia Batrik Kirill. Batrik Kirill merupakan sahabat dan pendukung Presiden Rusia Vladimir Putin. Dalam sebuah misa per 6 Maret, Kirill mengatakan bahwa perang melawan Ukraina ini bagaikan perang suci. ”Ini adalah perjuangan yang melampaui fisik karena merupakan perjuangan spiritual,” katanya.
Pernyataan Kirill itu membuat Gereja Ortodoks Ukraina yang sejatinya cabang dari Gereja Ortodoks Rusia melepaskan diri. Kirill menanggapi bahwa ada kekuatan jahat yang hendak memecah belah umat di Rusia dan Ukraina.
Paus Fransiskus kemudian melakukan telewicara dengan Batrik Kirill. Ia meminta agar Kirill jangan terperosok menjadi ”putra altarnya Putin”. Artinya, Kirill menjadi alat bagi Putin untuk menggunakan agama sebagai pembenaran serangan ke Ukraina. ”Saudaraku, bagaimanapun juga, kita bukan pemimpin agama untuk kepentingan politik negara. Kita adalah pembimbing bagi rakyat,” katanya kepada Kirill saat itu.
Menurut rencana, Batrik Kirill dan Paus Fransiskus bertemu di Jerusalem pada Juni. Akan tetapi, rencana tersebut gagal akibat perang yang masih sengit. Mereka berdua dijadwalkan bertemu pada September di Nursultan, Kazakhstan, dalam acara pertemuan para tokoh agama internasional.
Sementara itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy melakukan telewicara untuk Dialog Shangri-La di Singapura, Sabtu (11/6). Ia menjelaskan, perang di Ukraina berdampak secara global. Dunia menghadapi krisis pangan akibat Rusia menghalangi ekspor gandum dan minyak biji bunga matahari dari Ukraina dengan cara menutup Laut Azov.
”Krisis pangan akan menimbulkan guncangan politik bagi negara-negara yang mengalaminya. Oleh sebab itu, kita harus menghentikan perang di Ukraina ini dengan segala cara,” ujar Zelenskyy dalam siaran langsung di kanal media sosial Institut Kajian Strategis Internasional (IISS).
Saat ini, Ukraina bekerja sama dengan negara-negara Baltik untuk memungkinkan mereka melakukan ekspor gandum melalui jalur darat. Polandia telah menyediakan jalur kereta. Selama perang, Ukraina mengekspor 2 juta ton gandum per bulan. Sementara kapasitas normalnya adalah 10 juta ton per bulan. Ukraina memasok sekitar 10 persen ekspor gandum dunia pada 2021.
Ia juga meminta agar sanksi ekonomi terhadap Rusia terus dilakukan sebagai salah satu cara menghentikan perang tanpa pertumpahan darah. Negara-negara lain semestinya jangan mau diancam oleh Rusia terkait penghentian jalur energi ataupun komoditas tertentu.
“Pastinya, Ukraina berjuang di tanah sendiri. Kami tidak mau menyerang wilayah Rusia karena jelas melanggar piagam PBB mengenai kemerdekaan dan kedaulatan suatu negara,” tuturnya. (AP/AFP/DNE)