Kondisi kesehatan Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang ditengarai menurun, membuat transisi kepemimpinan menjadi keniscayaan. Beberapa nama calon mencuat, salah satunya adalah Hussein Al Sheikh.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
Di tengah masalah eksternal terutama dengan Israel, seperti masalah di Masjid Al Aqsa, pengusiran warga Palestina dari rumah mereka, dan pembangunan pemukiman warga Yahudi yang makin memanas, persoalan transisi kepemimpinan di Palestina kini tengah mendapat sorotan luas. Kondisi kesehatan dan fisik Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang dikabarkan kurang baik, memunculkan tanda tanya besar siapa yang akan menjadi pengganti Abbas. Mahmoud Abbas telah memimpin Palestina sejak wafatnya Yasser Arafat, tahun 2004.
Memanasnya suasana di internal Palestina tidak terlepas dari keputusan Abbas menunjuk Hussein AL Sheikh sebagai Sekretaris Jenderal Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada akhir Mei kemarin. Sementara, menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga PLO, pejabat Sekjen Komite Eksekutif PLO dipilih melalui pemilihan.
Penunjukkan Sheikh secara langsung membuat spekulasi berkembang bahwa Abbas tengah mempersiapkan penggantinya untuk jabatan puncak. Ia tidak hanya menyiapkan pengganti untuk memimpin PLO, namun juga untuk menjadi Presiden Palestina. Apalagi pada saat yang sama, penundaan pemilihan umum Palestina belakangan diketahui diusulkan oleh AL Sheikh.
Abbas sendiri, telah berkuasa lebih dari 20 tahun, juga dikritik karena tidak mengadakan pemilihan sejak berkuasa. Dia dinilai telah mengabaikan keinginan rakyat Palestina.
Diana Buttu, seorang pengacara Palestina yang pernah menjadi penasihat Otoritas Palestina mengatakan, pilihan untuk tidak mengadakan pemilihan umum adalah karena Abbas percaya bahwa masa depan rakyat Palestina terikat padanya sebagai individu. Dia juga dikelilingi oleh loyalis yang tidak akan menentangnya selama memimpin Palestina.
Sheikh, yang baru berusia 61 tahun ini menolak mengatakan apakah dia ingin menggantikan Abbas atau tidak. Dia mengatakan, orang yang akan memimpin Palestina selama beberapa tahun ke depan harus dipilih oleh rakyat, melalui pemilihan dan bukan melalui penunjukkan langsung. Akan tetapi, tantangannya saat ini, menurut dia adalah pemilihan seperti itu hanya bisa dilaksanakan bila Israel mengizinkan proses pemungutan suara di Yerussalem Timur yang dikuasainya.
“Presiden Palestina tidak dapat ditunjuk, atau berkuasa dengan paksa, atau datang karena kepentingan regional atau internasional, atau tiba dengan tank Israel,” katanya.
Kedekatan dengan Israel
Dibanding dengan beberapa nama yang disebut-sebut sebagai pesaingnya dalam memperebutkan posisi puncak di Palestina, Al Sheikh memiliki keuntungan politik, yaitu kedekatannya dengan otoritas Israel.
Sejak tahun 2007, anggota faksi Fatah ini telah memikul tanggung jawab sebagai Otoritas Umum Urusan Sipil Palestina. Melalui lembaga yang dipimpinnya itulah warga Palestina harus mendaftar jika mereka ingin memasuki wilayah Israel, baik untuk bekerja, kunjungan keluarga atau untuk mendapatkan layanan kesehatan. Selain itu, urusan ekspor impor hingga mendapatkan kartu identitas, juga menjadi bagian tanggung jawab Al Sheikh sebagai kepala otoritas.
“Jika Anda membutuhkan sesuatu, apapun itu, di wilayah Palestina, dia adalah orang yang Anda tuju,” kata Tahani Mustafa, analis Palestina di lembaga Internasional Crisis Group.
Posisinya sebagai pemimpin otoritas yang menghubungkan Palestina dan Israel membuatnya sering bertemu dengan pejabat senior Israel dibanding warga Palestina lainnya.
Mantan penasihat COGAT (lembaga koordinasi militer bentukan pemerintah Israel di wilayah pendudukan Palestina), Michael Milshtein, mengatakan, para pejabat Israel memandang Al Sheikh sebagai pihak yang enak untuk diajak bekerja sama. Dia dianggap sangat bersahabat dengan Israel.
“Tetapi kebanyakan orang Palestina tidak dapat benar-benar menerima gambaran seperti ini tentang seorang pemimpin Palestina yang sebenarnya adalah orang yang melayani kepentingan Israel,” kata Milshtein.
Sheikh menolak dengan tegas bahwa dia adalah boneka Israel di Pemerintah Palestina. “Saya bukan perwakilan Israel di wilayah Palestina. Kami melakukan koordinasi karena ini adalah awal dari solusi politik untuk mengakhiri pendudukan,” katanya.
Dia mengatakan, sebagai orang yang bertanggung jawab untuk berurusan dengan otoritas Israel, terutama untuk masalah izin dan administrasi, tidak ada pilihan baginya selain bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat Palestina.
Dalam pandangannya, tidak akan mudah bagi pemimpin Palestina yang baru karena persoalan semakin kompleks, mulai dari pemerintah Israel yang lebih konservatif dan nasionalis, persoalan pemukiman yang semakin meluas dan membuat warga Palestina terusir dari tanahnya sendiri hingga Amerika Serikat, Eropa atau bahkan dunia internasional yang tidak berdaya untuk menghentikan tindakan Israel.
“Kepemimpinan Palestina berada di ambang membuat keputusan besar dan sulit. Kami tidak memiliki mitra di Israel. Mereka tidak menginginkan solusi dua negara. Mereka tidak mau bernegosiasi,” kata Al Sheikh. (AP)