"Great Resistance", Perang Urat Saraf Perusahaan dengan Karyawan
Pandemi Covid-19 dianggap telah bisa ditangani di negara-negara maju. Akan tetapi, banyak korporasi kembali ke pola kerja konvensional setelah selama ini berinovasi dengan model jarak jauh.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 mengubah secara besar-besaran pola kerja karyawan kerah putih di negara-negara Barat. Ada semacam hikmah dari protokol kesehatan menjaga jarak fisik karena karyawan harus bekerja dari rumah. Bagi sejumlah besar karyawan ini, mereka menemukan bekerja dari jarak jauh ternyata lebih produktif dan membahagiakan. Sekarang, setelah pandemi dianggap berhasil ditangani, karyawan enggan kembali masuk kantor.
Pekan lalu, surat elektronik pemimpin perusahaan Tesla Elon Musk bocor ke media arus utama di Amerika Serikat. “Semua karyawan Tesla wajib masuk kantor minimal 40 jam setiap pekan. Jika menolak, lebih baik Anda mengundurkan diri,” tulis Musk di surel yang dialamatkan kepada semua pegawai perusahaan mobil listrik tersebut.
Musk menambahkan bahwa ia menyadari tidak semua perusahaan mewajibkan karyawan masuk kantor. Akan tetapi, menurut dia, perusahaan-perusahaan itu selama pandemi terbukti tidak bisa menghasilkan produk bermutu. Kinerja mereka ia anggap biasa-biasa saja.
Kritik datang bertubi-tubi dan mengatakan bahwa Musk memiliki pandangan kolot terkait dunia kerja. Sebenarnya, tidak hanya Tesla yang meminta karyawannya kembali bekerja di kantor dari pukul 09.00 hingga 17.00. Apple, Goldman Sachs, dan JP Morgan termasuk perusahaan yang sejak April sudah menyuruh agar seluruh staf kembali bekerja secara konvensional.
Permintaan tersebut membingungkan masyarakat. Mereka menganggap para direktur ini tidak pandai membaca situasi. Selama pandemi, negara-negara Barat menghadapi fenomena Great Resignation, yaitu ketika karyawan beramai-ramai mengundurkan diri. Alasannya karena mereka menemukan bahwa pekerjaan mereka selama ini tidak memberi kebahagiaan.
Para pekerja, terutama kerah putih, berpendapat bahwa sebuah pekerjaan harus memiliki dua nilai atau setidaknya salah satu dari kedua nilai tersebut. Pertama, bekerja harus bisa memberi kebahagiaan dan mewujudkan aktualisasi diri setiap individu. Kedua, jika pekerjaan tidak memberi kepuasan batin, setidaknya bisa memberi gaji besar dan peningkatan kesejahteraan. (Kompas, 28 Desember 2021).
Per Oktober 2021, Departemen Ketenagakerjaan Amerika Serikat menghitung ada 24 juta karyawan yang mengundurkan diri dari tempat kerja mereka. Rentang usianya adalah 25-40 tahun. Padahal, di saat yang sama ada 10 juta lowongan pekerjaan.
Great Resignation kemudian melahirkan fenomena Great Negotiation, yaitu ketika perusahaan harus bisa membenahi diri. Karyawan tidak ingin sekadar dibayar mahal, tetapi harus ada nilai tambah dari perusahaan tersebut yang menurut calon karyawan layak memeras keringat mereka. Kali ini, calon karyawan memiliki kekuatan lebih dalam hal negosiasi gaji, jam kerja, maupun cara kerja.
Bagi perusahaan yang tidak bisa mengikuti Great Negotiation ini akhirnya memunculkan fenomena Great Resistance. Ini adalah kondisi ketika perusahaan ngotot tidak mau mengubah sistem kerja mereka, sementara di saat yang sama para tenaga kerja juga bersikukuh tidak mau kembali ke sistem yang lama. Akibatnya, terjadi perang urat saraf di dunia kerja.
Universitas Chicago melalui Institut Becker Friedman pada Juli 2021 menerbitkan makalah. Mereka meneliti karyawan di perusahaan-perusahaan teknologi di Asia. Pada kurun Maret-Agustus 2020 ada penurunan produktivitas sebanyak 19 persen karena mereka bekerja dari rumah. Akan tetapi, makalah itu menjelaskan ini kemungkinan berhubungan dengan perusahaan maupun karyawan masih gagap beradaptasi dengan gaya bekerja baru serta stres akibat pembatasan sosial berskala besar.
Universitas tersebut kemudian melakukan survey terhadap 30.000 karyawan di AS di periode Maret 2020 hingga Maret 2021. Terungkap bahwa para responden lebih produktif ketika mereka bekerja dari rumah atau bekerja jarak jauh. Mereka bisa mengatur waktu sendiri dan bisa lebih fokus memikirkan ide-ide yang hendak mereka diskusikan.
“Memang secara klinis otak manusia lebih aktif ketika bertemu secara langsung. Hal ini karena kita juga membaca gerak-gerik tubuh, melakukan kontak mata, dan terpengaruh atmosfer di dalam ruangan pertemuan,” tutur guru besar klinis manajemen dan operasional Universitas Michigan Jeff DeGraff kepada media NBC.
Namun, DeGraff menjelaskan bahwa perasaan diskusi yang intens itu belum tentu berhubungan langsung dengan produktivitas pekerjaan. Memang, di kantor karyawan tidak terdistraksi oleh hal-hal seperti harus mengasuh anak atau pekerjaan rumah tangga, tetapi para karyawan selama pandemi telah belajar dan beradaptasi mengenai pola kerja yang cocok bagi mereka.
Perusahaan teknologi Apple misalnya, mengeluarkan aturan bahwa karyawan akan bekerja secara hibrida. Jadwal piket masuk kantor dan bekerja jarak jauh diatur oleh perusahaan. Tanggapan para karyawan justru negatif. Terkumpul sebanyak 3.000 tanda tangan untuk petisi karyawan Apple meminta agar perusahaan membebaskan mereka memilih mau bekerja dari kantor, sepenuhnya dari rumah, maupun hibrida.
“Kami bukan murid taman kanak-kanak yang jadwalnya harus diatur-atur,” demikian kutipan petisi tersebut.
Salah satu karyawan yang masuk ke dalam kelompok Great Resistance ialah Amy Faust Liggayu (32). Kepada media MarketWatch ia menuturkan sama sekali tidak berminat untuk kembali ke pola kerja kantoran. Sebelum pandemi, Liggayu harus mengeluarkan biaya 20 dollar AS setiap hari untuk transportasi ke kantor. Ini belum ditambah biaya makan siang, kopi, dan jajan.
Pulang kantor pukul 17.00, Liggayu membutuhkan waktu satu setengah jam untuk tiba di rumah. Menurut dia, awalnya kagok bekerja dari rumah pada awal pandemi Covid-19 karena ia memiliki anak balita. Akan tetapi, dalam sepekan ia bisa mengatur irama pekerjaan dan mengasuh anak.
Perusahaannya kemudian meminta karyawan kembali ke kantor, tetapi Liggayu menolak. Selama beberapa hari mereka saling bersikeras dengan persyaratan masing-masing. Akhirnya, Liggayu memilih keluar dan mencari pekerjaan baru. Ia mendapat pekerjaan dari perusahaan yang mengizinkannya bekerja total dari rumah. Bahkan, gaji di kantor baru ini lebih besar dari yang lama.
Kepala Bagian Personalia Cimpress and Vista Paul McKinley mengungkapkan, perusahaannya memberi kebebasan bagi karyawan untuk memilih cara kerja yang sesuai. Justru, selama pandemi, lamaran kerja yang masuk meningkat hingga 300 persen.
“Karyawan sekarang menginginkan aksesibilitas. Perusahaan dan karyawan sama-sama harus membangun kepercayaan sebagai mitra kerja, bukan relasi atasan dan bawahan saja,” katanya kepada majalah Fortune.