Di dalam konsep tianxia, semua yang di bawah langit harus bekerja sama demi menciptakan keselarasan. Bisakah kerja sama itu bersifat adil?
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
China terus berkembang menjadi negara adikuasa baru. Di satu sisi, kebangkitan ini mengkhawatirkan negara-negara industri mapan, yaitu Barat, karena dinilai selain menyaingi pengaruh ekonomi mereka juga menghadirkan persaingan geopolitik baru. Di sisi lain, ini juga menginspirasi negara-negara berkembang bahwa dengan strategi yang matang, mereka juga bisa bangkit menuju level yang lebih baik. Oleh sebab itu, banyak pihak bertanya-tanya mengenai langkah yang akan diambil China dalam menentukan sikap mereka sebagai adikuasa baru ini.
Dalam falsafah China dikenal istilah tianxia yang berarti di bawah langit ataupun surga. Konfusius menjabarkannya berupa konsep bahwa berbagai unsur yang berbeda-beda, tetapi memiliki satu tujuan di bawah langit. Idealnya, tujuan itu berupa keselarasan. Apabila ditarik ke hubungan antarmanusia dan antarbangsa, wujudnya berupa pertukaran barang maupun jasa.
Pertukaran ini menjadi jembatan untuk menemukan kecocokan antara dua pihak yang berbeda. Lagi, secara ideal, ini semestinya bisa memberi kedudukan setara bagi keduanya, terlepas perbedaan latar belakang, kekayaan, maupun kekuatan fisik. Akan tetapi, pada kenyataannya prinsip tianxia rawan jatuh ke perundungan apabila pihak yang lebih kuat menekan pihak yang lemah.
Presiden China Xi Jinping pada tahun 2012 mengatakan bahwa China yang sekarang ingin terlibat aktif di dalam perkembangan dunia. China ingin menjadi pemimpin global yang bisa menyebarluaskan nilai-nilai universalnya. Negara ini menjadi penanam modal maupun mitra perdagangan terbesar di berbagai negara.
Ekonom Universitas City, Amerika Serikat, Branko Milanovic menulis di harian The Guardian pada tahun 2017 bahwa pendekatan China ini serupa dengan yang dilakukan Barat pada awal abad ke-20. Dulu, negara-negara Barat terlibat dalam megaproyek infrastruktur di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Sebut saja pembanguna Terusan Suez di Mesir dan Terusan Panama di Panama.
Di abad ke-21, pendekatan yang dilakukan oleh Barat berubah. Mereka tidak lagi membangun infrastruktur, tetapi ke hal-hal yang lunak. Beberapa di antaranya ialah pemberdayaan masyarakat, peningkatan kompetensi pemerintah setempat, dan pelatihan transparansi kepengelolaan anggaran. Menurut Milanovic, hal-hal itu walaupun positif tetap tidak berpengaruh kepada pembangunan negara miskin dan berkembang tanpa adanya pembangunan sarana dan prasarana fisik.
“Di tengah hilangnya megaproyek Barat, China masuk dan mengambil alih pembangunan sarana dan prasarana fisik ini. Terlepas pendapat negara-negara maju, negara berkembang secara faktual masih membutuhkan bantuan semacam ini,” tulis Milanovic.
Salah satu contohnya ialah megaproyek prakarsa sabuk dan jalan (BRI) untuk jalur sutera yang bersejarah. Ada 66 negara yang dilalui proyek ini. Apabila infrastruktur telah selesai, akan menghemat jarak tempuh pengiriman komoditas dan harapannya bisa mengamannya keberadaan rantai pasok global. Bisa dibilang ini perwujudan tianxia modern.
Namun, ada beberapa contoh negatif yang. Misalnya Sri Langka yang terlilit utang sehingga memberi konsesi lahan kepada perusahaan-perusahaan China. Ada pula Laos yang membayar dengan memberikan hasil sumber daya alamnya.
Howard French, wartawan The New York Times, menulis buku berjudul Everything Under the Heavens: How China’s Past Helps Shape its Push for Global Power. Ia berpendapat, pada akhirnya falsafah tianxia ini adalah untuk menjadi kekuatan geopolitik terbesar. Artinya, ujung-ujungnya adalah kekuatan di sektor pertahanan dan keamanan yang memberi China kemampuan mengoperasikan armada militernya dari pelosok mana pun.
“Pastinya kerja sama ini ingin menciptakan pasar yang terpusat kepada China demi memberi kekuatan kepada perusahaan-perusahaan dan bank-bank di sana. Memang saat ini hegemoni belum terlalu terasa karena masih ada penolakan yang kuat terhadap masuknya investasi China di banyak negara. Akan tetapi, jika kerja sama itu terwujud secara luas, ada pengembangan kekuatan militer China juga di kawasan,” kata peneliti Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional, Rudolf Yuniarto ketika dikontak di Bengkulu, Senin (30/5/2022).
Pada saat yang sama, Rudolf menuturkan agar tidak memandang enteng pula negara-negara mitra yang diajak bekerja sama. Setiap negara memiliki cara untuk menyetir kerja sama itu ke arah kepentingan mereka. Contohnya ialah Inisiatif Keamanan Global (GSI) yang ditawarkan China kepada negara-negara di Pasifik Selatan. Dari sepuluh negara sasaran, hanya Kepulauan Solomon yang membuat pakta pertahanan dengan China. Sisanya membatasi di kerja sama ekonomi, perikanan, dan kelautan.
“Mereka memainkan kondisi bahwa Pasifik Selatan dekat dengan Australia dan Selandia Baru yang pasti juga menawarkan bantuan lebih banyak agar tidak kalah penting dari China,” ujar Rudolf.
Pendapat serupa diutarakan oleh Sukmawati Bela Pertiwi, pakar hubungan internasional Universitas Binus. Setiap negara selalu berupaya meminimalisir asimetri kekuatan mereka dari negara-negara besar agar memiliki posisi tawar lebih tinggi dan tidak tergantung kepada satu pihak. Setidaknya, di panggung politik global, mereka menghindari disetir kepentingan pihak adikuasa.
Bahkan, negara-negara Asia Tenggara yang memiliki kekuatan cukup besar seperti Indonesia, Malaysia, dan Singapura bisa terang-terangan bermain dengan dua pihak yang bersaing, yaitu China dengan Amerika Serikat. Adikuasa-adikuasa baru mungkin bermunculan. Akan tetapi, negara-negara berkembang dan kecil juga terus memiliki strategi agar tidak terseret arus dan tetap dapat memenuhi kepentingan nasional mereka. Konsep tianxia ini mungkin semakin berupa pertukaran hadiah yang lebih banyak dibandingkan dengan membangun kekuatan militer kawasan.