Menakar Hubungan Indonesia-Australia
Australia-Indonesia adalah dua tetangga yang hubungan bilateralnya jauh dari potensi dan fakta geografisnya. Gesekan yang sudah dan akan selalu ada, jadi tantangan. Namun sejumlah capaian bisa jadi modal positif.
Menteri Menteri baru Australia, Anthony Albanese, telah menegaskan keinginannya untuk memperkuat hubungan Australia dengan Indonesia. Niat itu disampaikan tiga hari sebelum partainya, Partai Buruh, memenangi pemilu parlemen yang mengantarnya menjadi pemimpin Australia, Sabtu (21/5/2022). Albanese berjanji untuk menempatkan Indonesia sebagai prioritas dalam kunjungan diplomatik pertamanya setelah terpilih menjadi PM Australia.
Menurut The Australian dan Bloomberg saat itu, Australia ingin membangun hubungan yang lebih kuat dan erat dengan Indonesia, negara yang disebut Albanese sebagai “negara raksasa” atau “negara adikuasa” di masa depan. Dia menilai penting bagi Australia memperkuat kemitraan ekonomi, mengingat ekonomi dan pasar Indonesia yang besar dan terus bertumbuh.
Baca juga: PM Baru Australia Prioritaskan Indonesia
Realitas hubungan Indonesia-Australia saat ini pada dasarnya sangat baik, walau pernah menghadapi beberapa tantangan sehingga menimbulkan ketegangan di antara keduanya. Pengamat menilai, hubungan kedua negara pada saat ini sedang berada dalam “posisi yang baik dan intens”. Hal ini terlihat dengan adanya kesepakatan atau perjanjian di bidang ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Di bidang ekonomi dan perdagangan, ada Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia atau Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) yang diteken pada Maret 2019. Kedua negara juga memiliki kerja sama bilateral bidang pertahanan dan keamanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA), termasuk Lombok Treaty pada 2006 dan Joint Understanding on Security pada 2014.
Pengamat Australia pada Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Dafri Agussalim, mengatakan, hubungan Indonesia-Australia terbagi dalam tiga kategori, yakni politik dan keamanan, ekonomi dan perdagangan, serta sosial dan budaya. Bahkan, hubungan untuk kategori kedua dan ketiga berkembang baik pada level bilateral maupun multilateral.
Kerja sama Australia-Indonesia pada sektor ekonomi dan perdagangan bahkan semakin aktif belakangan. Tantangannya, Indonesia selalu mengalami defisit dan Australia surplus. Setidaknya merujuk data Kementerian Perdagangan dan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia konsisten defisit selama tiga tahun terakhir.
Pada Januari-Juli 2021, misalnya, neraca perdagangan Indonesia dengan Australia mengalami defisit 3,1 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Angka ini naik 45,2 persen dibanding periode yang sama pada 2020 yang mencatat defisit 2,1 miliar dollar AS. Pada Agustus, defisit mencapai 6,2 miliar dollar AS akibat banyaknya impor bahan baku dan bahan penolong.
Kerja sama Australia-Indonesia pada sektor ekonomi dan perdagangan bahkan semakin aktif belakangan. Tantangannya, Indonesia selalu mengalami defisit dan Australia surplus.
BPS mencatat, Oktober 2021, Indonesia masih mengalami defisit 595 juta dollar AS akibat impor bahan bakar mineral, biji logam, dan perak. Meskipun total neraca perdagangan Indonesia pada April 2022 mencatat surplus 7,56 miliar dollar AS, tetapi neraca perdagangan dengan Australia tetap defisit 283,5 juta dollar AS akibat impor bahan bakar mineral dan serealia.
Adanya IA-CEPA semestinya akan lebih meningkatkan hubungan bilateral bidang ekonomi-perdagangan. Kepala Pusat Studi Australia di Universitas Nasional, Harry Darmawan, mengatakan, IA-CEPA adalah level tertinggi kerja sama bilateral bidang ekonomi era Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri (PM) Australia (13 Mei 2018-23 Mei 2022) Scott Morrison dari Partai Liberal. Namun pemanfaatan skema itu masih terkendala pandemi Covid-19.
Harry mengatakan, baik IA-CEPA maupun CDA setelah munculnya pakta keamanan trilateral AUKUS (Australia, Inggris, dan AS) terjadi pada masa Jokowi dan Morisson. “Hubungan intensif dan berkarakter kekeluargaan yang diperlihatkan keduanya dapat dinilai sebagai karakteristik yang unik,” kata Harry.
Disebut unik karena selama ini kebijakan luar negeri pemerintahan Partai Liberal cenderung dikenal lebih dekat dengan Barat, terutama sekutu besarnya AS dan Inggris. Di satu sisi, pemerintahan Morrison sangat menyadari bahwa Australia sampai kapan pun takkan bisa mengabaikan Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan, yang berbatasan dengan Australia.
“Kita dapat menelaah, Australia dan Indonesia sama-sama memahami bahwa dua negara terbesar di kawasan ini memiliki tanggung jawab yang lebih besar dari sekedar membangun hubungan bilateral yang harmonis. Australia-Indonesia bertanggung jawab terhadap stabilitas kawasan, baik itu di Asia Tenggara maupun Oceania Pasifik,” kata Harry.
Baca juga: Australia Lantik PM Sebelum Penghitungan Suara Selesai
Jika Albanese kini menempatkan Indonesia sebagai prioritas kebijakan luar negeri Australia, itu bukanlah hal baru. Sesungguhnya hampir semua pemerintahan, baik Partai Buruh maupun Partai Liberal, dalam 3-4 dekade terakhir menempatkan Indonesia sebagai negara penting bagi Australia. Hal itu juga telah ditunjukkan Morrison.
Memang benar, Partai Buruh banyak meninggalkan warisan positif dalam hubungan Australia-Indonesia. Dimulai ketika kemerdekaan Indonesia. Saat itu, Serikat Buruh, organisasi binaan Partai Buruh, memberi dukungan. Australia juga menjadi wakil resmi Indonesia dalam Komisi Tiga Negara, yang dibentuk untuk menyelesaikan sengketa antara Belanda dan Indonesia pada era itu.
Australia di bawah PM Bob Hawke (1983-1991) dan PM Paul Keating (1991-1996) sangat dekat dengan Presiden Soeharto. Bahkan Soeharto disapa sebagai uncle, sapaan hubungan harmonis antara Indonesia-Australia.
Australia di bawah PM Bob Hawke (1983-1991) dan PM Paul Keating (1991-1996) sangat dekat dengan Presiden Soeharto. Bahkan Soeharto disapa sebagai uncle, sapaan hubungan harmonis antara Indonesia-Australia. Kedekatan ini terulang pada masa PM Kevin Rudd (2007-2010, Juni-September 2013) dan PM Julia Gillard (2010-Juni 2013) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Indonesia bahkan dimasukkan dalam ‘Buku Putih’ mereka (Rudd dan Gillard), sebagai negara yang akan maju dan menjadi sahabat terdekat Australia,” ujar Harry.
Pengamat hubungan internasional Universitas Padjadjaran Bandung, Teuku Rezasyah, mengatakan, hubungan Australia-Indonesia di era Hawke dan Keating paling mesra, baik di level kenegaraan maupun di tingkat pribadi. “Kedekatan Australia-Indonesia bahkan bersifat berlapis-lapis,” kata Teuku. Kerja sama seperti itu menurut Teuku perlu terus dipertahankan dan dilanjutkan oleh Albanese.
Harry dan Teuku sepandangan bahwa Albanese kini mendapatkan “kemudahan” dalam warisan yang ditinggalkan Morisson. Apalagi Albanese, yang disapa Albo, sebelumnya pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri pada masa Rudd. “Ini tentu memberikan pelajaran bagi Albo untuk bagaimana menciptakan hubungan yang harmonis, efektif, dan objektif dengan Indonesia,” kata Harry.
Baca juga: Morrison-Albanese Berebut Suara Pemilih
Hal yang menarik, hubungan ekonomi dan perdagangan Indonesia-Australia cenderung tidak terganggu oleh meningkatnya tensi hubungan politik dan keamanan yang terjadi di antara keduanya. “Kecenderungan yang sama juga terlihat dalam hubungan sosial dan budaya,” kata Dafri.
Canberra misalnya, secara konsisten adalah pemberi beasiswa terbesar bagi pelajar/mahasiswa Indonesia yang ingin belajar di Australia. Beasiswa selalu meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah maupun besaran dananya. Australia juga adalah negara yang paling banyak membantu ketika Indonesia menghadapi bencana, termasuk di Aceh, Yogyakarta, dan Lombok.
Di level regional, Australia adalah partner yang baik di bidang ekonomi, politik dan keamanan. Misal di ASEAN+3 dan ASEAN Regional Forum. Di level multilateral, Australia sering menunjukan dirinya sebagai "sahabat sejati dan sangat baik" bagi Indonesia. Misalnya dalam kasus pembebasan Irian Jaya pada 1960-an dan awal masuknya Indonesia ke Timor Timur.
Tantangan, tentu saja ada. Pada masa lalu misalnya, hubungan kedua negara selalu dihadapkan pada sejumlah isu yang tidak jarang menimbulkan ketegangan. Ini terutama berkaitan dengan munculnya isu-isu politik keamanan yang cenderung sangat sensitif dan mudah tersulut oleh isu-isu terkait, baik yang terjadi di Australia, Indonesia, maupun di kawasan.
Publik masih ingat beberapa kasus yang menandai naik turunnya tensi hubungan Indonesia-Australia. Misalnya, misal kasus Timor Timur (Timor Leste), spionase di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hukuman mati terhadap warga negara Australia dalam kasus Bali Nine. “Fenomena ini terjadi sejak lama dan terjadi baik di era kepemimpinan Partai Buruh maupun Partai Liberal Australia,” kata Dafri.
“Untuk mengatasi munculnya ketegangan politik dan keamanan, Canberra dan Jakarta harus terus meningkatkan rasa saling percaya dan saling memahami dengan cara melakukan dialog, kerja sama, dan kontak yang terus-menerus, baik di level negara (pemerintah dengan pemerintah) maupun masyarakat (warga dengan warga), termasuk di kalangan generasi muda,” kata Dafri.
Baca juga: Rakyat Australia Tentukan Pemimpin Pemerintahan
Di bidang keamanan, Indonesia merupakan wilayah penyangga bagi Australia terhadap ancaman dari utara. Ancaman ini merujuk aspek keamanan tradisional alias militer maupun ancaman non-tradisional seperti mengalirnya migran ilegal, pengungsi, serta bentuk kejahatan transnasional lainnya.
“Pemerintah Albanese secara terus terang menyatakan itu. Pernyataan itu saya kira erat kaitannya dengan dinamika geopolitik dan keamanan kawasan,” kata Dafri.
Australia tampaknya semakin sadar betapa pentingnya Indonesia untuk menjaga stabilitas dan keamanan kawasan, khususnya dalam kerangka membendung pengaruh/hegemoni China di kawasan yang dianggap ancaman bagi kepentingan ekonomi, politik, dan keamanan Australia. Australia membutuhkan peran Indonesia dalam Indo-Pasifik, menerima dan memahami pembangunan kekuatan militer Australia termasuk kehadiran AUKUS yang baru dibentuk dengan Inggris dan AS.
Indonesia juga dilihat sebagai "pintu" masuk bagi Australia untuk bekerja sama lebih erat dengan negara-negara Asia Tenggara, terutama negara-negara ASEAN. Dapat dikatakan usaha itu serta usaha mewujudkan inisiatif Indo-Pasifik dan pembangunan kekuatan militer kawasan guna membendung perluasan pengaruh China, tidak akan berhasil tanpa dukungan dan keikutsertaan Indonesia di dalamnya.
Usaha itu serta usaha mewujudkan inisiatif Indo-Pasifik dan pembangunan kekuatan militer kawasan guna membendung perluasan pengaruh China, tidak akan berhasil tanpa dukungan dan keikutsertaan Indonesia di dalamnya.
Menurut Harry, Australia-Indonesia juga harus mampu menjadi penyeimbang dunia di tengah tarik-menarik pengaruh antara AS dan China. Apabila Australia-Indonesia dapat mengambil peran tersebut, maka interaksi global akan memiliki pilihan obyektif, selain harus ikut dalam kubu AS atau China.
“Pada sisi lain, harus dimengerti bahwa peningkatan hubungan Australia-Indonesia bukan hanya merupakan tanggung jawab kedua pemerintahan saja. Hubungan strategis dan potensial ini merupakan tanggung jawab banyak pihak termasuk pengusaha dan masyarakat umum,” kata Harry.
Pada titik ini diplomasi publik merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menjaga hubungan dalam posisi yang stabil di berbagai sisi. “Butuh peran aktif dari publik kedua negara dalam memberikan gambaran yang tepat dan bijak mengenai karakter Australia dan Indonesia, sehingga program kerja sama bilateral dapat diakselerasikan dengan tepat sasaran,” kata Harry.
Australia merupakan negara yang lebih modern dari Indonesia. Oleh karena itu, kata Harry, siapapun pemimpin Australia, Indonesia harus meningkatkan kualitas diri untuk bisa membangun hubungan bilateral yang seimbang dan setara.
Diperlukan pusat studi dan kajian Australia yang lebih mendalam di Indonesia. Saat ini, satu-satunya pusat studi Australia di Indonesia ada di Universitas Nasional Jakarta. Sedangkan Australia memiliki banyak pusat studi Indonesia terutama di perguruan tinggi top yang dimiliki. “Sangat wajar apabila mereka lebih paham terhadap kita, dibandingkan kita dalam memahami mereka,” kata Harry.
Baca juga: Janji Kampanye Pemilu Australia
Hal itu, menurut Harry, memerlukan realisasi yang segera dan berkelanjutan. Sementara itu,Australia kini bahkan telah membuka perguruan tinggi di Indonesia, yakni Monash University di Bumi Serpong Damai (BSD). Kemungkinan besar akan ada lagi kampus-kampus Australia lainnya yang hadir di Indonesia. Lalu, bagaimana dengan Indonesia sendiri?
Pada tataran aplikasi, pelaksanaan kerja sama memerlukan perhatian dan pandangan yang sama, tidak saja dari pemerintah tapi juga dari legislatif serta pemangku kepentingan terkait lainnya. Apabila tataran pelaksanaan tidak berjalan dalam satu jalur yang disepakati, sangat mungkin kerja sama yang telah disepakati hanya berupa kesepakatan yang miskin implementasi nyata.