Terbelenggu ”Lockdown” di Shanghai, Pekerja di China Menanti Ujung Mimpi Buruk
Kebijakan penguncian wilayah (”lockdown”) di Shanghai membuat nasib para pekerja terkatung-katung tanpa pekerjaan dan tempat untuk tinggal. Mereka memikul salah satu dampak kebijakan ”nol Covid” Pemerintah China.
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
AFP/HECTOR RETAMAL
Seorang perempuan, dengan memakai baju pelindung khusus, berdiri di pinggir salah satu ruas jalan di Distrik Jing'an yang tengah diberlakukan penguncian wilayah (lockdown) di Shanghai, China, Rabu (25/5/2022).
Ketika Shanghai mulai memberlakukan kebijakan pembatasan total atau penguncian wilayah (lockdown) terkait dengan pandemi Covid-19, dua bulan lalu, restoran Perancis tempat Sun Wu (22) bekerja ditutup. Akibatnya, Sun kehilangan pekerjaan, seperti banyak pekerja dari perdesaan lain yang mencari nafkah di Shanghai.
Untuk memenuhi kebutuhan, Sun membantu menyortir kiriman pemerintah bagi masyarakat yang harus menjalani penguncian wilayah. Dari pekerjaan sementara itu, ia mendapatkan upah 38 dollar AS atau sekitar Rp 550.000 sehari dan ia harus pindah dari asrama, lalu tinggal di gudang tempatnya bekerja, sesuai aturan pemerintah terkait Covid-19.
Namun, tiga minggu kemudian, Sun harus keluar dari gudang itu. Pacarnya yang bekerja di restoran yang sama sakit kista dan membutuhkan perawatan medis segera. Sebagai orang dekatnya, Sun harus turun tangan membantu. Ia mengantar sang pacar ke rumah sakit, 25 April lalu, tetapi harus membayar mahal sopir mobil pengantar ke rumah sakit. Layanan ambulans tak bisa diharapkan. Semua sedang sibuk.
Pada malam itu juga, pacarnya harus dioperasi untuk diangkat kistanya. Sun menungguinya hingga keluar dari rumah sakit pada 6 Mei, lalu membawanya ke asrama. Tetapi, Sun tidak punya tempat untuk pulang. Gudang tempat tinggalnya dulu tidak bisa ditempati lagi karena aturan Covid-19 yang ketat menuntut Sun harus menjalani isolasi terlebih dulu. Sementara asrama tidak mempunyai ruang untuk isolasi.
KOMPAS
Selasa (17/5/2022), pemerintah Kota Shanghai mengumumkan nilih kasus Covid-19 selama tiga hari berturut-turut di luar zona-zona karantina. Di kota-kota lain di China yang pernah menjalani kebijakan pembatasan atau lock down, tiga hari tanpa kasus baru Covid-19 artinya berstatus nihil Covid-19. Itu juga berarti seluruh larangan atau pembatasan mulai dilonggarkan.
Sialnya lagi, karena layanan kereta api dihentikan, Sun tak bisa pulang ke kampung halamannya di Dali yang berjarak sekitar 3.000 kilometer di barat daya Provinsi Yunan. ”Saya tidak punya pilihan lain lagi,” ujarnya.
Kebijakan ”nol-Covid” China yang tanpa kompromi itu telah memukul perekonomian. Banyak dari 25 juta penduduk Shanghai mengeluh kehilangan pekerjaan, kesulitan mencari makanan, dan mengalami tekanan mental. Bagi warga yang masih bekerja pun, dampaknya juga tak kalah parah. Mereka tidak bisa bekerja dari rumah dan gajinya pun bukan gaji tetap.
Lebih dari 290 juta orang dari wilayah perdesaan China menjadi pekerja di kota-kota besar. Mereka bekerja di pabrik, proyek bangunan, restoran, dan melakukan pekerjaan berketerampilan rendah lainnya. Sebagian besar dibayar per jam atau per hari dan tanpa kontrak tetap. Ada yang bisa mendapatkan penghasilan lebih dari Rp 15 juta dalam sebulan, tetapi sebagian hanya bisa mengantongi lebih sedikit lagi.
Tenaga kerja murah para pekerja migran membantu mengubah kota-kota, seperti Shanghai dan Shenzhen, menjadi benteng kemakmuran China. Namun, kebijakan penguncian wilayah membuat banyak orang dalam posisi genting.
AP PHOTO/CHEN SI
Seorang pekerja, dengan memakai baju pelindung khusus, berdiri di tengah ruas jalan lengang di Distrik Jing'an yang tengah diberlakukan penguncian wilayah (lockdown) di Shanghai, China, 4 April 2022.
Kenyataan ini sekaligus membuka tabir persoalan kesenjangan yang ada di masyarakat China. Selama ini Presiden China Xi Jinping kerap dikabarkan memprioritaskan ”kemakmuran bersama” seluruh rakyat. Nasib dan penderitaan para pekerja di China akibat penguncian wilayah (lockdown) ini pun menjadi viral di media sosial. Tetapi, seruan untuk membantu mereka tak banyak disuarakan.
Tanpa tujuan
Karena tak punya tempat untuk pulang, Sun setiap hari mengayuh sepedanya keliling Shanghai melewati gedung-gedung perkantoran yang megah hanya untuk mencari tempat memasang tenda kecil yang ia beli untuk bepergian. Pada malam pertama, setelah mengantar pacarnya kembali ke asrama, Sun menemukan ”tempat tidur” di sepetak tanah kosong di dekat halte kereta bawah tanah.
Di malam kedua, ia tidur di taman. Hari-hari berikutnya, ia tidur di pusat perbelanjaan yang tutup, dan setelah itu di bawah jembatan penyeberangan. Di tempat mana pun, ia selalu diusir aparat keamanan. Untuk makan, ia masih beruntung karena ada makanan dari pacarnya. Keduanya hanya bisa bersua lewat celah-celah di dinding kompleks.
Ketika bersepeda, Sun melihat ratusan pekerja juga menjadi tunawisma. Jika tidak tidur di jalanan, banyak pekerja juga terjebak di asrama yang penuh sesak atau harus tidur di pabrik atau lokasi proyek bangunan tempat mereka bekerja.
AFP/HECTOR RETAMAL
Seorang pekerja beristirahat di atas mesin forklif selama penguncian wilayah di Shanghai, China, Jumat (27/5/2022).
”Pekerja diperlakukan seperti barang murah dan sekali pakai,” kata pakar politik dan tenaga kerja China di Universitas Toronto, Diana Fu.
Pada waktu hujan deras di malam ketujuh, Sun harus tidur di jalanan. Ia sempat menelepon polisi untuk meminta bantuan. Tetapi, bantuan tak datang.
Kepolisian Shanghai, pemerintah Shanghai, dan Kementerian Urusan Sipil China tidak menanggapi permintaan konfirmasi kantor berita Reuters mengenai kasus-kasus seperti yang dialami Sun. Pada akhir April lalu, pemerintah Shanghai hanya mengatakan, pihak perusahaan akan diminta untuk menangani para pekerjanya.
Merasa putus asa, Sun lalu menumpahkan kegalauan dan persoalannya di media sosial. ”Saya sudah tidur di taman, alun-alun, memberi makan kucing liar yang tidak punya tempat tinggal seperti saya. Saya hanya ingin mencari tempat bisa tinggal dan makan,” tulis Sun dalam unggahannya di media sosial Weibo, 12 Mei lalu.
AFP/HECTOR RETAMAL
Seorang pekerja jasa pengantar barang, dengan memakai baju pelindung khusus, beristirahat di atas sepeda motornya di Distrik Jing'an yang tengah diberlakukan penguncian wilayah di Shanghai, China, Rabu (25/5/2022).
Unggahan Sun itu lalu tersebar luas dan memicu kemarahan kepada pemerintah. Warga marah karena tidak ada mekanisme bantuan bagi para pekerja. Masalah ini berasal dari hukou atau sistem pendaftaran tempat tinggal China yang dirancang pada tahun 1950-an. Tanpa hukou di kota-kota tempat mereka bekerja, para pekerja sering kali tidak diberi akses pendidikan, perawatan kesehatan, dan layanan lain.
Tak banyak kemudahan
Banyak janji reformasi diberikan para pembuat kebijakan. Akan tetapi, hanya beberapa kota kecil saja yang memberi para pekerja kemudahan dalam mendapatkan pekerjaan. Pembuat kebijakan dituding lebih peduli pada pengangguran kaum muda perkotaan. Tak semua pekerja memang kehilangan pekerjaan karena penguncian wilayah. Namun, penderitaan para pekerja itu sama saja karena mereka kehilangan sebagian atau bahkan seluruh pendapatan mereka.
Jika dilihat dari data tingkat pengangguran, tingkat pengangguran untuk pekerja migran 6,6 persen. Hanya sedikit lebih tinggi daripada tingkat pengangguran secara keseluruhan. Sebaliknya, tingkat pengangguran kaum muda perkotaan melonjak hingga 18,2 persen. Ini rekor tertinggi. Penyebabnya, perekrutan perusahan anjlok gara-gara pandemi Covid-19 dan ketatnya peraturan pada pendidikan swasta, teknologi, dan sektor lain.
”Pekerja migran tidak menjadi perhatian Partai Komunis China saat ini,” kata analis di Institut Mercator untuk Studi China, Valaria Tan.
Sehari setelah unggahan Sun menjadi viral di Weibo, Sun ditelepon petugas polisi dan dikirim ke pusat karantina pemerintah. Di tempat itu, Sun tinggal di dalam tenda yang lebih besar dan harus berbagi tempat dengan pekerja migran lain.
Sebagian besar wilayah Shanghai masih dalam penguncian sampai sekarang. Layanan kereta mulai beroperasi kembali. Sun akhirnya membawa pulang pacarnya ke kampung halamannya di Taizhou, Provinsi Zhejiang (sekitar 370 kilometer selatan Shanghai), Kamis lalu. Tetapi, keduanya harus dikarantina lagi di tempat itu selama dua minggu sambil menunggu Shanghai kembali normal, entah sampai kapan.
”Semoga mimpi buruk ini segera berakhir,” kata Sun. (REUTERS)