Penggunaan e-CNY memungkinkan Beijing secara langsung memantau transaksi di jaringan yang memakai mata uang itu. Hal itu membuka peluang data warga AS ikut terpantau oleh China.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
AFP/CHINA OUT
Pegawai bank di Hangzhou, China, menghitung yuan pada Agustus 2019. Bank of China tidak hanya menerbitkan yuan dalam bentuk fisik. Beberapa tahun terakhir, BoC juga menerbitkan yuan digital atau e-CNY.
WASHINGTON, KAMIS — Kongres Amerika Serikat mengusulkan undang-undang yang akan melarang penggunaan mata uang digital China. Larangan akan diberlakukan terhadap pelantar aplikasi digital buatan AS.
Naskah RUU itu diungkap pada Kamis (26/5/2022) sore waktu Washington atau Jumat dini hari WIB. Senator Marco Rubio, Tom Cotton, dan Mike Braun mengusulkan agar Apple dan Google melarang aplikasi yang menerima pembayaran dengan uang digital China. Mereka merujuk pada yuan digital atau e-CNY yang mulai diperkenalkan bank sentral China.
Menurut Cotton, penggunaan e-CNY memungkinkan Beijing secara langsung memantau transaksi di jaringan yang memakai mata uang itu. Hal itu membuka peluang data warga AS ikut terpantau oleh China.
Kekhawatiran serupa pernah disampaikan Center for a New American Security pada Januari 2021. Selain e-CNY, Center for a New American Security juga menuding sejumlah alat pembayaran digital China sebagai sarana untuk memata-matai pengguna. Setiap transaksi akan mengungkap data pasti pengguna dan kegiatan keuangan mereka.
Kini, Google Play milik Google dan App Store milik Apple.Inc menerima pembayaran, antara lain, dari AliPay dan WeChat Pay milik China. Pada awal 2022, AliPay dan WeChat Pay mengumumkan menerima penggunaan e-CNY.
Kedutaan Besar China di Washington mengecam RUU itu. RUU itu disebut contoh terbaru kesewenang-wenangan AS terhadap perusahaan asing. Kesewenang-wenangan selalu menggunakan alasan keamanan nasional.
Perluasan
Penggunaan uang digital resmi atau central bank digital currency (CBDC) semakin meluas. Pada Januari 2022, Federal Reserve atau bank sentral AS resmi mengumumkan mulai menelaah penggunaan CBDC. AS bergabung dengan puluhan negara lain yang sudah menggunakan atau masih mengkaji CBDC.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Petugas melayani penukaran dollar AS di tempat penukaran valuta asing PT Ayu Masagung, Jakarta Pusat, Jumat (9/11/2018). Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah menguat tipis Rp 14.632 per dollar AS dibandingkan dengan Kamis (8/11/2018) sebesar Rp 14.651 per dollar AS.
Sebelum pengumuman itu, Gubernur Federal Reserve Jerome Powell berkali-kali mengatakan bahwa kajian akan dipertimbangkan. Powell menyebut kajian itu semakin perlu dilakukan AS karena penggunaan CBDC semakin meluas di berbagai negara.
Guru Besar Ekonomi di Universitas Cornell, Eswar Prasad, meyakini kehadiran CBDC akan memicu perubahan besar. CBDC sepenuhnya dijamin oleh bank sentral dan diterbitkan dengan mekanisme layaknya uang kartal, giral, dan kuasi. Bedanya, CBDC tidak dicetak. Bank sentral menerbitkannya dalam bentuk digital.
Sejauh ini, 90 negara sudah mulai menerbitkan, menguji coba, atau di tahap mempertimbangkan CBDC. Bahama menjadi pelopor karena telah menerbitkan Sand Dollar. Sementara China mulai mewacanakan penerbitan yuan digital sejak beberapa tahun lalu. Bersama Jepang dan Swedia, China sudah mulai tahap uji coba. Sementara AS lewat pernyataan Federal Reserve pada pekan ketiga Januari 2022 mengumumkan penjajakan penggunaan CBDC.
CBDC akan membuat digitalisasi uang semakin meluas. Sebab, penerbit dan penjaminnya jelas. Masyarakat akan percaya lalu menggunakannya secara luas.
Anggota Dewan Pelaksana Bank Sentral Eropa, Fabio Panetta, menyebut bahwa penerbitan CBDC adalah keniscayaan. Sebab, CBDC memungkinkan bank sentral menjalankan salah satu fungsi pokoknya, yakni penerbitan uang. CBDC membuat bank sentral tetap relevan.
Relevansi bank sentral bisa dipertanyakan seiring kemerosotan penggunaan uang tunai. Kini, hanya 20 persen cadangan uang tunai dipakai untuk transaksi. Padahal, 15 tahun lalu, 35 persen cadangan uang tunai dipakai untuk transaksi harian. ”Kalau tren ini berlanjut, uang tunai akan kehilangan perannya dan bukan lagi menjadi pilihan utama sarana pembayaran,” ujarnya dalam pidato di hadapan pengelola bank perkeditan Italia di Roma, 10 Desember 2021.
Di beberapa negara, penggunaan uang tunai malah nyaris sulit ditemukan. China dan Swedia termasuk negara terdepan dalam penggunaan uang nontunai. Orang Swedia membayar dengan kartu dan sebagian lagi dengan dompet digital. Sementara orang China membayar dengan dompet digital yang bisa diakses sampai ke pelosok. (AFP/REUTERS)