Sebagian rakyat AS geram dan menuntut ada aturan ketat tentang kepemilikan dan penggunaan senjata. Namun, mereka tak yakin Pemerintah AS mau atau mampu bertindak tegas.
Oleh
LUKI AULIA
·7 menit baca
Penembakan guru dan siswa di Sekolah Dasar Robb, Uvalde, Negara Bagian Texas, Amerika Serikat, kembali memicu perdebatan mengenai aturan kepemilikan dan penggunaan senjata api di negeri koboi itu. Dua guru dan 19 anak tewas di ujung senjata semi otomatis AR-15 milik Salvador Ramos (18), Selasa (24/5/2022). Sebagian rakyat AS geram dan menuntut agar segera ada aturan mengenai kepemilikan dan penggunaan senjata yang lebih ketat dan tegas. Namun, mereka juga tak yakin Kongres bakal mau atau mampu bertindak tegas.
Jajak pendapat yang dirilis Reuters/Ipsos, Rabu (25/5/2022), menyebutkan, 84 persen dari 940 orang setuju ada pemeriksaan latar belakang calon pembeli untuk penjualan senjata api. Sebanyak 70 persen mendukung pihak berwenang menyita senjata dari orang-orang yang berpotensi mengancam keselamatan publik. Mayoritas responden, 72 persen, pun mendukung menaikkan usia pembelian senjata dari 18 tahun menjadi 21 tahun.
Meski demikian, publik tak yakin anggota Kongres AS akan mempertegas perundang-undangan soal senjata pada tahun ini karena pembahasan selalu mentah kembali. Publik menilai kasus penembakan massal kerap terjadi karena faktor kemudahan mendapatkan senjata. Dari jajak pendapat itu juga terlihat publik AS sebenarnya ambigu jika ditanya soal penting atau tidaknya memiliki senjata. Secara umum, bagi publik AS, senjata itu bagian dari kehidupan sehari-hari.
Bagi 54 persen responden, senjata adalah cara terbaik untuk melindungi diri dari penembakan massal, sedangkan 45 persen responden menyatakan dukungan mempersenjatai guru dan staf sekolah. Sekitar 43 persen berpendapat warga negara yang taat hukum harus bisa membawa senjata di gereja, di tempat kerja, atau di toko. Namun, tetap saja 69 persen responden mendukung UU yang memungkinkan orang mendapatkan izin membawa senjata tersembunyi.
Jadi, pada intinya warga AS marah dan protes karena orang bisa semena-mena menembak orang lain. Akan tetapi, di sisi lain mereka tak mau pula penggunaan senjata dilarang sepenuhnya. Orang masih boleh memiliki dan membawa senjata ke mana-mana, tetapi harus ada aturan ketat yang mengatur soal kepemilikan dan penggunaan senjata. Kira-kira begitu keinginan mereka.
Masalahnya, kasus penembakan di lingkungan sekolah sering sekali terjadi dan semakin ngawur. Sebelum kasus di Texas, ada kasus tiga siswa ditembak dan terluka di luar sebuah SD di Washington DC. Sehari sebelumnya, tiga remaja ditembak saat mereka hendak keluar sekolah di Philadelphia. Pekan lalu, ada juga tiga penembakan di acara wisuda sekolah menengah di Michigan, Louisiana, dan Tennessee.
David Riedman, peneliti di Database Penembakan Sekolah K-12 di Pusat Pertahanan dan Keamanan Tanah Air, Sekolah Pascasarjana Angkatan Laut, AS, menyebutkan, penembakan di lingkungan sekolah di AS tahun ini mencapai rekor tertinggi. Ada 137 insiden penembakan di lingkungan sekolah sepanjang tahun 2022 saja dan 249 insiden pada tahun lalu. ”Kekerasan senjata di sekolah meningkat drastis, terutama di sekolah menengah. Ini karena siswa bisa membawa senjata dan konflik yang terjadi di anak-anak usia sekolah menengah itu sampai ke titik di mana senjata ikut bicara,” kata Riedman.
James Densley, salah satu pendiri The Violence Project yang juga melacak peristiwa penembakan massal di AS, mengatakan, penembakan massal di sekolah semakin mematikan. Ada tiga penembakan paling mematikan yang semuanya terjadi selama 10 tahun terakhir ini, yakni serangan di SD Sandy Hook pada tahun 2012 dengan 26 anak dan staf sekolah yang tewas terbunuh. Lalu penembakan tahun 2018 di SMA Marjory Stoneman Douglas di Parkland, Florida, yang merenggut nyawa 17 orang. Berikutnya penembakan di SD di Texas pekan ini.
Kebobolan
Ancaman kekerasan senjata yang mematikan ini menghantui anak-anak sekolah AS. Tak seperti di sekolah lain, siswa di AS terbiasa rutin latihan di sekolah untuk bersembunyi di ruang kelas dengan lampu dimatikan guna menghindari penembak. Pintu dipasangi barikade untuk mencegah pelaku penembakan masuk sekolah. Sejumlah sekolah tidak hanya mengunci pintu depan, tetapi juga pintu kelas supaya tak ada pelaku penembakan yang bisa masuk gedung. Di Texas, guru-guru bisa membawa senjata, tetapi harus mengikuti pelatihan terlebih dahulu.
Meningkatnya kasus penembakan di sekolah mendorong industri keamanan sekolah karena banyak sekolah yang kemudian memasang jendela dan pintu antipeluru, kunci khusus, dan detektor logam. Bahkan ada sekolah yang sampai menyewa petugas bersenjata. ”Tetapi, segala bentuk pengamanan itu ternyata tak cukup karena tetap saja kebobolan,” kata Densley.
Yang lebih mengherankan lagi sebenarnya adalah penggunaan senapan semi-otomatis militer yang dibawa Ramos sampai masuk ke kelas-kelas. Senjata AR-15, seperti senjata semi-otomatis lainnya, bisa menembakkan banyak peluru sekali tekan. AR-15 yang merupakan sepupu dari M-16 ini digunakan militer AS sejak Perang Vietnam. Berbeda dengan senapan serbu militer yang otomatis yang tak boleh dimiliki warga sipil, senjata semi-otomatis masih bisa dimiliki warga sipil, seperti AR-15 ini. Padahal, AR-15 menembakkan peluru berkecepatan tinggi yang mampu melaju hingga tiga kali lipat kecepatan putaran pistol hingga sangat mematikan. Ramos menggunakan AR-15 kelas atas dari pabrikan Daniel Defense. Jenis senjata itu yang sering digunakan dalam penembakan massal.
Pembelian AR-15 relatif mudah tergantung negara bagian tempat tinggal. Calon pembeli bisa dengan mudah masuk ke toko senjata dan menunjukkan kartu identitas untuk membeli senjata asalkan mereka lulus pemeriksaan latar belakang dari pemerintah federal. Proses pemeriksaan itu akan memeriksa catatan kriminal pembeli atau melihat data apakah mereka pernah dimasukkan ke rumah sakit jiwa.
Namun, yang kerap terjadi, pemeriksaan latar belakang seperti ini tidak dilakukan. Ramos secara legal membeli dua AR-15 dan 375 peluru sehari setelah menginjak usia 18 tahun, 16 Mei lalu. Asosiasi Senjata Nasional (NRA) tetap berkeyakinan senapan perlu untuk latihan sasaran kepentingan rekreasi dan alat pertahanan di rumah. Namun, para kritikus menilai daya mematikan senjata semacam itu semestinya tidak boleh ada di tangan warga sipil.
Senjata AR-15 ini populer di AS karena bisa disesuaikan sesuai kebutuhan pemilik. Bisa ditambah jangkauan tembakannya dan bisa ditambah kapasitas amunisinya. Belum lagi bisa ditambah aksesori-aksesori lainnya. Biro Alkohol, Tembakau, Senjata Api, dan Bahan Peledak AS tidak memiliki data seberapa banyak senjata serbu yang ada di AS, tetapi menurut Yayasan Olahraga Menembak Nasional AS terdapat sedikitnya 16 juta senapan yang dijual ke publik AS pada 2018. Senjata serbu pernah dilarang pada 1994 pada era Presiden Bill Clinton. Larangan kemudian dicabut pada 2004 karena ada tekanan kuat dari NRA. Sejak itu, upaya Kongres untuk memperbarui larangan gagal terus.
Presiden AS Joe Biden kembali mendorong perlunya ada aturan keamanan senjata yang baru. Namun, aturan baru itu diyakini tak akan bisa lolos dari Kongres. Kepala UNICEF Catherine Russell mengecam epidemi kekerasan senjata di AS dan menyamakannya dengan serangan-serangan ke sekolah di Afghanistan, Ukraina, dan Afrika Barat. Ia menyalahkan para pemimpin di AS yang diam saja dan tak berbuat apa-apa menangani masalah ini.
Lepas tanggung jawab
Sejak tahun 2005, Protection of Lawful Commerce in Arms Act (PLCAA) memberikan kekebalan yang hampir menyeluruh bagi para pembuat senjata dan penjual dari tanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan dengan produk mereka. Undang-undang itu disahkan setelah tuntutan hukum oleh beberapa kota yang meminta pertanggungjawaban perusahaan atas kekerasan senjata.
Akan tetapi, di dalam PLCAA ada beberapa ketentuan yang memungkinkan perusahaan untuk digugat, termasuk klaim perusahaan yang sengaja melanggar UU terkait pemasaran produk terkait dengan penembakan. Mahkamah Negara Bagian Connecticut pada 2019 menyebutkan UU federal mengizinkan gugatan beberapa keluarga korban penembakan tahun 2012 di SD Sandy Hook. Keluarga menuntut perusahaan Remington karena melanggar UU pemasaran negara bagian dengan dugaan mempromosikan senapan Bushmaster untuk penggunaan kejahatan. Remington, yang dua kali mengajukan kebangkrutan selama kasus itu, kemudian setuju membayar keluarga korban sebesar 73 juta dollar AS.
Pada Juli lalu, Gubernur New York menandatangani UU yang memungkinkan penjual, produsen, dan distributor senjata api dituntut oleh negara bagian, kota, atau individu karena menimbulkan gangguan publik. Pada Selasa lalu, beberapa jam setelah penembakan di sekolah di Texas, para senator California menyetujui UU yang akan memungkinkan warga negara untuk menuntut siapa pun yang memproduksi, mendistribusikan, mengangkut, mengimpor, atau menjual senjata serbu dan senjata-senjata api lainnya yang tidak dapat dilacak.
Upaya menjegal pengekangan senjata ini menghadapi perlawanan dari para pendukung hak kepemilikan dan penggunaan senjata yang juga menggunakan jalan pengadilan. Argumen para pendukung senjata itu, pelarangan atau pembatasan senjata melanggar hak konstitusional rakyat untuk memiliki senjata. Perdebatan sengit antara dua kubu ini akan terus berlanjut dan Kongres AS tetap akan sulit sepakat membatasi senjata, sedangkan penembakan massal dan kekerasan senjata dikhawatirkan akan terus terjadi dan semakin mematikan. (REUTERS/AFP/AP)