China menunjukkan sikap menghangat terhadap Australia. Akan tetapi, Australia belum berminat untuk mempererat hubungan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
CANBERRA, SELASA — Pemerintahan Australia di bawah Perdana Menteri Anthony Albanese yang baru dilantik mengatakan, hubungan bilateral antara Australia dan China tidak serta-merta menghangat setelah sedemikian banyak peristiwa terjadi dalam dua tahun belakangan. Australia bersikukuh mereka tetap menjalankan nilai-nilai yang mereka anut.
”China-lah pihak yang sudah banyak berubah. Australia sendiri sejak dulu tetap menjalankan prinsip-prinsip politik dan kemanusiaan yang kita percayai,” kata Albanese di Canberra, Senin (23/5/2022), sebelum berangkat ke Tokyo, Jepang, untuk bertemu dengan para kepala negara anggota Pakta Pertahanan Quadrilateral (Quad).
Pada hari yang sama, Perdana Menteri China Li Keqiang melakukan jumpa pers dan memberi ucapan selamat atas terpilihnya Albanese, politisi dari Partai Buruh yang beraliran kiri-tengah. Dalam pemilu, Albanese mengalahkan petahana Scott Morrison dari Partai Liberal yang berhaluan konservatif.
”China siap membangun hubungan yang baru dengan Australia sebagai mitra strategis. Kita mengupayakan untuk maju bersama dan selalu mengedepankan win-win solution,” kata Li, dikutip oleh kantor berita nasional China, Xinhua.
Hubungan kedua negara memburuk setidaknya dalam dua tahun terakhir. China marah kepada Australia karena Canberra menuduh virus SARS-CoV-2 penyebab pandemi Covid-19 berasal dari kebocoran laboratorium di Wuhan. Australia getol meminta penyelidikan terbuka mengenai asal-usul virus ini.
Sikap Canberra ditanggapi Beijing dengan memberi kenaikan tarif untuk berbagai komoditas yang diimpor dari Australia. China juga mengembargo sejumlah produk dari Australia, seperti anggur, gandum, dan batubara.
Australia membalas dengan membatalkan proyek Inisiatif Sabuk dan Rel di Negara Bagian Victoria. Adapun Beijing menahan dua warga Australia keturunan China, Yang Hengjun dan Cheng Lei, yang bekerja sebagai koresponden di China, atas tuduhan mata-mata di bawah suruhan Canberra.
Keputusan Canberra itu dijelaskan lebih lanjut oleh Wakil Perdana Menteri Australia Richard Marles dalam wawancara dengan ABC News, Selasa (24/5/2022). ”Kami sangat mempermasalahkan metode politik luar negeri China, terutama intrusi kapal-kapal militer ataupun kapal nelayan mereka ke wilayah perairan negara lain,” tuturnya.
Ia mencontohkan keluhan berbagai negara terkait Laut China Selatan dan maraknya kapal-kapal China yang menangkap ikan di sana. Selain itu, ada kapal militer dan kapal pemantau untuk mencari titik-titik penambangan di tengah samudra.
Kekhawatiran terbaru Australia ialah pakta pertahanan China dengan Kepulauan Solomon yang baru ditandatangani pada April lalu. Kepulauan Solomon berjanji bahwa mereka tidak akan membangun pangkalan militer China di wilayah kekuasaan mereka. Akan tetapi, di dalam pakta disebutkan bahwa China boleh mengirim kapal-kapal militer mereka untuk berlayar di perairan milik Honiara yang jaraknya 2.000 kilometer dari Australia.
Menteri Luar Negeri China Wang Yi akan mengunjungi Honiara pada pekan ini. Beredar kabar bahwa China juga menawarkan kerja sama dengan negara-negara Pasifik lain, yaitu Vanuatu, Tonga, Samoa, dan Kiribati. Jika hal ini terwujud, Australia semakin khawatir hegemoni China menguat di wilayah tetangga mereka.
Quad menghadang
Isu China menjadi topik utama rapat Quad di Tokyo yang dihadiri Albanese, Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, dan Perdana Menteri India Narendra Modi. Sehari sebelumnya, Biden mengutarakan bahwa AS pasti akan mengirim bantuan persenjataan kepada Taiwan apabila Beijing menyerang.
”Ini soal demokrasi melawan pemerintahan yang otoriter. Kami tidak akan diam saja,” ujarnya.
Kishida menuturkan pendapat serupa. Menurut dia, sudah saatnya Quad lebih saksama mendengar kemauan negara-negara tetangga di wilayah Indo-Pasifik. Adanya kecenderungan mereka beralih ke China ini menandakan ada ketidakpuasan dalam hubungan kerja sama dengan para anggota Quad.
Aliansi ini menyetujui adanya sistem data terpadu dan terbuka untuk memantau peredaran kapal-kapal China di wilayah Indo-Pasifik. Hal ini akan memudahkan pelacakan intrusi nelayan ilegal ataupun spionase yang dilakukan oleh kapal-kapal militer. (AFP)